26. Yang tidak diceritakan

22 4 1
                                    

Tidur tak menjanjikan hilang,
Bangun tak mendapatkan tenang.
~Daneen

Selamat membaca~

▪︎ ▪︎ ▪︎

Sudah terhitung hampir 10 menit, aku berdiam diri di kedai kopi favorit Nessi, coffeein namanya. Telapak tanganku meraba cangkir yang cappucino di dalamnya mulai mendingin.

Dulu saja, Nessi selalu berbicara kalau dia tidak suka menunggu. Apa pun itu, menunggu itu menyakitkan, katanya. Kalau paham akan menyakitkan, mengapa dia melakukannya pada orang lain?

Mengetuk meja, melihat pengunjung lain beranjak dari duduknya, mengamati jalanan yang lengang. Rasa-rasanya sudah kulakukan berulang kali. Namun, Nessi tak kunjung datang.

"Wait bentar. Gue otw." Begitu pesan yang dikirimnya delapan menit yang lalu.

Akhir tahun membawa hujan datang lebih sering. Dari jendela yang mulai mengenai percikan gerimis di luar, terlihat awan menghitam di langit.

Tidak lama, terdengar pintu didorong dari luar, langkah kaki beradu dengan lantai, lamat-lamat kian mendekat, terlalu grasah-grusuh. Nessi datang dengan hijab yang sedikit berantakan dan pakaian tertumpahi gerimis tipis.

"Sorry gue telat hehe." Tangannya sibuk membenahi kain yang menutupi kepalanya. "Tadi kelupaan isi bensin segala." Nessi selalu pandai melempar kesalahan.

Aku diam saja, terlalu malas menanggapi. Kemudian, gadis dengan pashmina salem itu memesan macchiato latte. Aku mengangkat alis. Heran, mengingatnya yang doyan kopi. Tumben? Biasanya pesan espresso.

Apa pembicaraan ini akan serius?

Seperti yang sudah-sudah, Nessi tersenyum lebih lebar saat pelayan itu memberi password wi-fi.

Menyadari tingkahku, Nessi tiba-tiba menyelutuk, "Udah jangan ngambek, ah. Gue bela-belain izin sama bokap untuk ke sini lho. Padahal gue masih ada kerjaan."

Lah, kan Anda anak pemilik perusahaan, gimana sih?

"Ada apa?" tanyaku sambil menatap matanya yang entah kenapa enggan menatap mataku.

"Eh? Kopi lo udah dingin banget, ya? Apa gue selama itu?" sela Nessi.

Ck! Aku menatapnya lelah. Dia berusaha mengalihkan pembicaraan dengan pertanyaan retoris? Nggak mempan.

"Di bagian mana, yang 'nggak tahan lagi'?" tanyaku cepat, "yang Nessi gagal lamaran itu?"

Dia menatapku kesal. "Itu kan udah lama. Tau ah, males gue." Aku membuatnya ingat kembali, padahal mungkin dia hampir lupa. "Ya, ngapain juga, ngelanjutin dengan orang yang belum bisa ngelupain masa lalunya."

Singkat tapi menusuk tepat di hatiku.

Tidak sepertiku, Nessi tidak tertutup. Dia cukup terbuka untuk mengenal laki-laki. Ketika hubungan itu gagal, tidak mungkin dia tidak patah hati.

Aku berdeham. Ini aneh, tidak biasanya Nessi menatapku dengan gelisah. 

"Neen?" panggilnya seraya menatapku ragu.

"Hm?"

"Gue harus ngomong dari mana, ya?" Gadis ribet itu menggaruk ujung hidungnya. "Semuanya. Oke, gue harus cerita semuanya."

"Kenapa deh?" tanyaku keheranan.

Nessi membuang napas. "Oke. Lo yakin mau dengerin gue?"

Tidak ada yang perlu kujawab. Sia-sia saja, kan, menunggunya di sini? "Jadi, si Abim—" Ucapannya terhenti karena muka dongkolku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 19, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DaneenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang