21. Dekap damai

13 5 0
                                    

Maaf ya, lama nggak update.
Sejauh ini, kalian lebih suka sama Rifqi atau Abim? Alasannya?

▪▪▪

Selamat membaca~

▪▪▪

"Loh, iya, lupa. Daneen, nggak pa-pa, kan, lo mampir ke rumah Abim dulu?"

Aku mengerjap, bingung dengan situasi ini.

Nessi tersenyum. "Tenang. Tenang. Rumah gue di sebelah, kok. Dia juga bukan penjahat. Santai aja, okay?" Dia terkekeh. "Tapi, kita anterin cowok sok ganteng ini dulu." Tak ada niatan Nessi untuk memelankan suaranya.

Suara dari kursi samping kemudi menyahut, "Gue masih di sini, by the way."

Nessi hanya mengendik, lalu membuka sabuk pengaman. Dia turun dan juga mengajakku.

Abim juga turun, bapak sopir itu menawarkan bantuan untuk membantunya sampai rumah, tapi dia menolak. Katanya, bisa sendiri.

"Nah, kalau gini kan, nggak tahu harus ngomong apaan," ujar Nessi tepat setelah menutup pintu mobil. Intinya, tidak usah berharap dirinya akan hidup tanpa mengomel. Aku duga, satu keahlian yang tak bisa dilakukannya: diam.

"Diem aja udah." Aku tahu, Abim lelah. Atau mungkin juga muak. Muak dengan ucapan yang keluar dari mulut sepupunya.

Sepupu? Menyadari hal tersebut baru hari ini, setelah sekian lama berteman dengannya, membuatku tercenung. Ini kebetulan tak sadar atau memang ditutupi?

Gadis cerewet itu merapat ke arah Abim. Menampilkan perbedaan tinggi yang kontras. "Harusnya lo berterima kasih ke gue tahu nggak, sih?!" Sekeras apa pun usaha Nessi untuk mengecilkan volume suaranya, tetap saja indera pendengaranku dapat mendengar.

Saudara sepupu berbeda gender itu berbalik badan, menatapku yang berdiri di belakang mereka. Aku mengerjap pura-pura bingung, lalu menunduk menatap sepatuku yang seharusnya jam segini sudah bertengger santai di rak sepatu rumahku.

Nessi mendorong gerbang rumah yang kira-kira tingginya sama denganku. Tak ada bunyi decit engsel memekakkan telinga, barangkali rumah ini sangat terjaga. Kemudian, terlihat jelas rumah bergaya vintage modern yang dominan berwarna cokelat dan putih. Tanaman-tanaman hijau segar membuat tempat berlindung ini terasa hidup.

Ada dua kursi berwarna tosca menambah kesan damai, tidak seperti rumahku yang luas, tapi terlihat seperti tak berpenghuni. Terlihat dari jendela loteng, ada anak gadis mengintip kemudian hilang. Bukan sesuatu horor, tapi aku yakin gadis—entah siapa itu —lari tergopoh turun ke bawah.

"Ayo, Daneen!" Nessi menarikku masuk.

Aku memasuki rumah dengan perasaan tak nyaman, serasa asing. Sementara Abim memasuki pintu kamar terbuka setengah di samping tangga. Seperti omelannya sejak awal sebelum sampai, Nessi tidak ingin menjelaskan kejadian—yang bahkan belum diketahui kronologinya dengan jelas —mengejutkan tadi. Menghindari pertanyaan dari ... eum ... bunda? Seingatku mereka sering menyebut seperti itu.

Gadis yang memilih bungkam ini berdiri bersamaku menghadap lemari pajangan. "Hm ... lo mau duduk nggak?" Akhirnya, Nessi mengeluarkan suaranya untuk pertanyaan yang membuatku semakin canggung berada di sini.

"Nggak deh. Makasih." Aku menampilkan senyum kikuk.

Nessi manggut-manggut. "Ya, juga sih. Nggak enak dengan bunda."

DaneenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang