"Daneen! Bangun!" Suara nyaring Nessi menyadarkanku dari alam mimpi.
Aku mendongak setelah lama menelungkupkan kepala di atas meja. Kedua tangan yang menyangga kepalaku, serasa pegal sepanjang lengan.
Kuregangkan otot-otot tangan. Tangan kananku menyentuh leher yang pegal setengah mati. Aku baru sadar hampir setengah jam, tidur dalam keadaan kepala teleng. Sedikit menyesal, tidur dalam keadaan seperti ini hanya berakhir pegal-pegal.
Peluh bercucuran di pelipisku membuat hijab yang kukenakan sedikit basah. Class Meeting yang membosankan. Tak ada perlombaan berhasil menarik perhatianku.
"Bisa-bisanya ketiduran," gerutunya, tak habis pikir, "lihat tanding futsal di lapangan, yuk!"
Aku mengerjap di depannya. Nessi langsung menarik tangan kiriku dan aku menahan diri sekuat tenaga. Biarkan aku mengumpul nyawaku sepenuhnya terlebih dahulu.
"Ayolah, Daneeeen. Cepat cepat cepat!"
Kuusap wajah dengan kasar. Muka bantal yang sangat kentara. Setidaknya, aku harus membasuh muka supaya terlihat segar.
"Cepetan, ya. Bodo amat! Gue tunggu di kafetaria."
Tanpa rasa tega, Nessi meninggalkanku sendirian di kelas. Sepi sekali. Aku bergegas ke toilet dan membasuh muka.
Jangan heran, mengapa Nessi menungguku di sana, padahal lapangan adalah tempat tujuan utama. Sebab Kafetaria tidak jauh dari lapangan.
Setelah itu, aku mencarinya di kafetaria yang penuh sesak orang-orang yang berisik, saling teriak-teriak. Sayangnya, Nessi tidak berbicara padaku, dia akan menunggu di mana. Jadi, celingak-celinguk seperti orang dungu.
"Daneen! Gue di sini." Nessi yang punya kebiasaan berteriak tanpa melihat situasi.
Aku menghampiri Nessi yang mengantre untuk membeli es krim. Nessi pernah berkata, "Kayaknya es krim identik dengan anak kecil. Padahal mah, nggak juga. Es krim itu pelarian paling menyenangkan."
Ya, aku tidak tahu juga. Mengapa dia bisa berpikiran seperti itu.
Es krim cokelat sudah digenggam erat olehnya. Mengambil uang di saku dengan drama kesulitan mengambilnya.
"Ini uangnya, Mbak Dini. Kembaliannya ambil aja, hitung-hitung perayaan ngelepas stress habis ujian hehe." Nessi menyodorkan uang dengan nominal lebih dari yang seharusnya.
Tentu saja Mbak Dini berterima kasih berkali-kali.
Kami berdua berjalan santai menuju lapangan yang penuh sorak sorai penonton. Lebih dominan teriakan cempreng perempuan.
Kami ikut menonton di tepi. Tidak ada yang menyenangkan. Nessi masih santai menggigit es krimnya. Dalam keadaan berdiri lagi. Aku sudah mengingatkannya untuk duduk, tapi malah ditolak mentah-mentah, takut bajunya kotor, katanya.
Awalnya pertandingan tampak biasa saja. Skor masih tetap 2-0 tanpa ada perubahan. Hingga bola melambung tinggi sehabis ditendang regu sebelah kiri dari hadapanku, membuat kesalahan fatal.
Bugh!
Wadah es krim cokelat Nessi melanting jauh, terbang di udara dan mendarat di selokan tepat di belakang tempat kami berdiri. Yang lebih mengejutkan lagi, es krim itu sempat berpelukan dengan pakaian olahraga Nessi. Bajunya kotor! Menghindari duduk lesehan malah kotor karena tendangan bola. Lihatlah sekarang, noda cokelat itu menempel.
"Iih! Siapa sih yang tendang? Baju gue, Ya Allah! Es krim gue jauh lebih naas," jerit Nessi, sekeras yang bisa dia keluarkan. Anehnya, tanpa merasa canggung diperhatikan banyak orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daneen
Teen FictionAntara terpaksa, cinta, dan praduga. "Kamu semestinya seperti itu, Arumi. Kamu harus sadar di dunia ini bukan cuma tentang hidupmu. Bukan hanya tentang sudut pandang kamu." Berusaha meyakinkan Papa lebih keras lagi atau memang Papa yang tidak pernah...