Kejadian itu tak terlupakan.
Terus tersimpan didalam ingatan.
Memang, dia melakukan hal kebaikan.
Namun, semua ucapan dan tingkahnya menyebalkan.
~Daneen▪▪▪
Selamat membaca~
Langkahku terasa ringan ketika hendak menuju gerbang sekolah yang mulai sepi. Di parkiran, motor dan mobil masih berjejeran menandakan belum semuanya murid SHS meninggalkan sekolah. Aku menunduk dan berjalan dengan pelan melewati pagar. Matahari siang yang sangat terik menyambutku, terpaan angin membelai khimar.
Aku tengah berdiri di depan gerbang tanpa tujuan. Memandangi jalanan di depan yang lumayan padat. Alisku nyaris tertaut ketika melihat sosok wanita dengan pakaian seragam SHS beserta hijab yang menutupi rambutnya di seberang jalan. Supaya terlihat lebih jelas, aku memicingkan mata.
Meskipun wajah gadis itu tidak terlihat jelas dari tempatku berdiri, aku bisa mengenalnya. Dia, Nessi. Tengah berderap menuju mobil hitam.
Mobil sedang melesat dengan kecepatan tinggi, menutupi mobil hitam. Sekejap itu, Nessi tidak terlihat lagi. Karena kesal, tanpa sadar aku berdecak.
Itu, kan Nessi. Seharusnya dia sudah pulang. Tadi saja, dia meninggalkan kelas dengan tergesa.
"Hai," sapa seseorang dengan suara khasnya mengagetkanku.
Mataku membelalak ketika memandangi seseorang yang baru saja menyapaku. Huft, mungkin terkesan berlebihan. Namun sungguh, dia membuatku terkejut sekaligus bingung. Refleks, aku bergeser ke samping kiri untuk menjaga jarak. Terdengar helaan napas dari Abim.
"Yah, nggak dijawab," keluhnya sedikit menyinggungku.
Mataku mengerjap beberapa kali. Lalu, kembali menatap mobil hitam itu yang belum berpindah tempat. Meskipun degup jantungku berdegup dengan kencang karena terkejut, aku bertingkah seolah tidak perduli dan menganggapnya angin lalu saja.
"Belum pulang, ya, Rumi?" tanya Abim, memulai obrolan.
Aku mengernyit ketika mendengar caranya memanggil namaku. Rumi? Apa-apaan lagi. Seenaknya saja memanggil nama orang. Memangnya dia siapa? Tiba-tiba mengajak kenalan terus bertingkah dengan santai layaknya teman lama. Baru saja kenal, sudah begitu. Dan satu lagi, sudah jelas aku masih berada di sekitaran sekolah, belum sampai di rumah. Itu artinya, belum pulang, kan?
"Rumi?" tanyaku sembari menatapnya dengan raut tidak bersahabat.
Dia menatapku dan tersenyum simpul. Kemudian menjawab," Iya, Rumi. Habisnya, lo kelihatan nggak suka kalau gue panggil Arumi."
Aku kembali menatap kendaraan yang berlalu-lalang. Tidak ada pembicaraan diantara kami. Dia diam, aku pun begitu. Kelihatannya, lelaki di sebelahku ini pandai membaca situasi. Lihat, sedari tadi dia hanya diam karena sungkan denganku yang meladeninya dengan sikap acuh tak acuh.
Ku tolehkan kepala, menghadap kearahnya. Dia tengah memandang lurus kearah jalanan dengan tatapan kosong. Aku tahu, dia tengah menatapku dari ekor matanya. Abim membalas tatapanku dan tersenyum tulus. Setelah itu, pergi meninggalkanku begitu saja.
▪▪▪
Aku tengah berada di kamar tidur. Berbaring di kasur dan menatap langit-langit kamar. Semasa kecil, aku termasuk anak yang sedikit cerewet. Segala keluh kesah dengan sudi ku ceritakan kepada Papa. Dari alasan lengan boneka yang sobek, mengungkapkan kembali film kartun yang sudah ditonton, dan menceritakan bagaimana cerdiknya seekor kancil yang ada dalam bacaanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daneen
Teen FictionAntara terpaksa, cinta, dan praduga. "Kamu semestinya seperti itu, Arumi. Kamu harus sadar di dunia ini bukan cuma tentang hidupmu. Bukan hanya tentang sudut pandang kamu." Berusaha meyakinkan Papa lebih keras lagi atau memang Papa yang tidak pernah...