Apa aku benar merasakan cinta?
Yang terlalu sulit untuk dijelaskan lewat kata.
Mengubah reaksiku ketika bertemu ataupun berbicara kepadanya.
Karena mungkin, ini tentang rasa bukan logika.
~Daneen▪▪▪
Selamat Membaca~
Aku yang panik saat itu, meletakkan kembali buku fisika yang baru saja ku ambil. Meskipun begitu, aku dapat mendengar suara salah satu dari mereka.
"Yang itu," ujar siswa itu dingin. Dengan name tag Raden.
Aku menatap mereka. Tepat setelah berbicara seperti itu, laki-laki dengan seragam kusut yang sengaja membuka dua kancing bagian paling atas tampak mendengkus. Ah tidak, dia menyeringai.
"Eh bilangin ke cowok lo itu, jangan jadi orang yang narik perhatian guru. Gue nggak suka lihatnya!" pinta lelaki menggunakan seragam yang kusut itu.
Cowok? Siapa maksudnya? Tunggu, maksudnya cowok lo itu ... pacar? Dasar, asal menuduh saja.
Aku tidak bisa meneruskan langkah supaya bisa keluar dari perpustakaan, sebab mereka semua berdiri berderet menghadangku.
"Iya bener banget tuh, Fly," kata Oki. Kalau siswa ini jelas aku tahu. Anak Ips yang namanya sering disebut karena langganan terlambat ketika upacara bendera berlangsung.
Di samping Oki, terdapat dua siswa. Ada yang menatapku dengan wajah ramah namanya Andre dan Sajid yang tak berhenti melirikku dengan ekspresi yang sangat menyebalkan. Sajid tersenyum jahil sambil menaik-turunkan kedua alisnya, membuatku langsung menunduk.
"Woy cewek! Dengerin, ya. Wajib! Eh, nggak deng. Nggak dengerin juga nggak apa-apa, sih. Ya udah Sunnah, deh. Lo nggak akan dosa kalau nggak dengerin gue ngomong. Dan ... nggak bakal dapat pahala juga sih dengerin orang yang penuh dosa ini." Andre mengelus dadanya dramatis.
Dia kenapa, sih? Sedang stand up comedy?Tidak lucu sekali. Dan, apa yang harus aku dengarkan kalau dia sibuk membenarkan ucapannya!
Siswa dengan gaya pongahnya—yang berseru bahwa dia tidak suka dengan cowok yang lebih diperhatikan guru — tampak berdecak. Dia menyesal telah membiarkan Andre yang bersuara.
"Nggak jelas lo!" hardiknya.
Andre menatapnya dengan malas. "Ya maaf, Rafly."
Siswa yang baru aku tahu namanya Rafly, mengabaikan Andre. "Ingat! Sampein ke cowok lo itu," ucapnya ketus.
Ketika baru saja aku hendak menyanggah anggapannya dengan berucap bahwa aku tidak memiliki pacar, kalah cepat dengan seseorang yang baru saja memasuki perpustakaan.
"Lo cepetan masuk. Guru mau datang ke kelas," peringatnya.
Itu suara ... Rifqi.
Suaranya terdengar tak ingin dibantah. Membuat lidahku seketika kelu. Mulutku terkatup, kaku untuk bersuara. Dan apa dia mendengar semua dari awal. Jangan-jangan, Rifqi lebih tahu jawaban dari ucapan Rafly tadi? Seperti, siapa cowok yang dimaksud.
Aduh, mengapa salah tingkah seperti ini memperkeruh pikiranku? Jelas-jelas aku mendengar suara pintu yang terbuka sebagai tanda bahwa dia baru saja masuk bukan sedari tadi berkunjung ke perpustakaan.
Dari kelima laki-laki ini hanya satu yang memberiku jalan dengan cara menyingkir. Sajid. Dia bahkan tersenyum singkat. Satu hal yang begitu melekat pada dirinya, Sajid sangat pandai menjalankan aksi modus kepada perempuan.
Aku melewati Rifqi yang tampaknya memang membiarkanku berjalan mendahulukannya.
"Ck, boleh lah cantik juga." Itu ucapan samar yang aku dengar dari dalam perpustakaan. Aku yakin itu pasti ucapan Sajid.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daneen
Teen FictionAntara terpaksa, cinta, dan praduga. "Kamu semestinya seperti itu, Arumi. Kamu harus sadar di dunia ini bukan cuma tentang hidupmu. Bukan hanya tentang sudut pandang kamu." Berusaha meyakinkan Papa lebih keras lagi atau memang Papa yang tidak pernah...