Apakah jarak mampu memisahkan?
Apakah persahabatan yang terjalin lama, akan berakhir dengan nelangsa?
~Daneen▪▪▪
Selamat Membaca~
Aku memeriksa kembali buku-buku serta alat tulis yang akan dibawa. Memasukkan flashdisk yang memang dibutuhkan untuk presentasi kelompok. Disebut sial atau memang takdir, bisa berkelompok lagi dengan Nessi dan Dino yang terus berdebat, sedangkan Nuri hanya bisa melihatku tanpa bisa membantu apa-apa. Di sisi lain, aku bahagia. Seenggaknya dengan melihat keceriaan mereka, kebahagiaan pun menjalar ke hatiku.
Ngomong-ngomong tentang soal semalam, aku masih penasaran dengan siapa papa menelpon. Dan pembahasan apa yang dibicarakan. Namun, aku segan menanyakannya lebih jauh.
Aku turun ke bawah untuk sarapan dengan papa. Papa juga tidak banyak bicara, terus fokus kepada makanannya.
"Pa," sapaku.
Papa menoleh sekilas. "Hm," gumamnya.
"Tadi malam aku teleponan sama Kak Mei, Kak Mei titip salam ke papa," kataku.
Papa hanya mengangguk sambil mengecek tas kerjanya. Aku mengunyah roti dengan perasaan berkecamuk. Kenapa sikap papa yang manis berubah lebih dingin hari ini? Atau mungkin karena ... kemarin malam? Tidak tahu juga.
Meskipun aku tidak banyak bicara, aku pemikir ulung. Apapun, aku pikirkan. Pikiran yang ada di dalam benak lebih banyak dibandingkan kalimat yang terlontarkan. Mungkin diumpamakan, kalimat yang diucapkan berbanding dengan yang dipikirkan, satu banding seratus. Ah bukan, satu banding seribu, mungkin.
Beginilah hidupku. Bukannya tidak mensyukuri. Banyak yang tidak tahu, ada beban yang kupendam sendirian.
Aku bingung harus bercerita dengan siapa. Dulu ada Vani yang menjadi pendengar baik. Namun kini, aku yang banyak mendengar ocehan Nessi. Aku juga jarang curhat dengan sahabat. Karena, dalam pikiranku, sahabatku pasti memiliki masalah yang lain. Jadi, tidak ingin membebani.
Kata orang-orang, menjadi anak tunggal itu bahagia. Lebih spesial, lebih diperhatikan, dan lebih dimanjakan. Namun, satu hal yang tak orang-orang tahu. Aku- termasuk anak tunggal lainnya - merasa kesepian.
Dengan bertemu Kak Mei, aku merasa pikiran dan pertanyaan-pertanyaan yang bersarang di dalam bisa keluar dengan lebih tenang. Kak Mei menceritakan hal baru dengan sudut pandangnya yang membuatku mempelajari hal baru.
Suatu ketika, aku pernah ke Mall bersama papa dan melihat banyak anak kecil yang berjalan linglung, lantaran belum lancar berjalan, sambil menggenggam tangan orang tuanya. Hatiku tersenyum miris, menatapnya dengan nanar. Merasa senang sekaligus sedih dalam satu waktu. Bagaimana sih rasanya punya adik? Apa mereka menggemaskan? Namun, Nessi pernah bilang, punya adik itu menjengkelkan.
"Arumi," panggil papa, membuyarkan lamunanku.
"Ha? I-iya, Pa," balasku.
Papa menjinjing tas kerjanya meninggalkanku sendirian di dapur. Di meja makan, sudah tidak ada piring kotor. Piringnya sedang dicuci. Ah, pasti Bi Inem sudah datang. Aku bahkan tidak menyadarinya.
"Kenapa masih di sana? Nanti terlambat," ucapnya, membuatku cepat-cepat menyampirkan tas di kedua bahu.
Papa tidak suka orang yang lamban. Apalagi datang terlambat.
"Bi, Daneen berangkat dulu, ya. Assalamu'alaikum," pamitku.
Aku langsung menghambur keluar tidak menunggu jawaban dari Bi Inem.
▪▪▪
Sampai di perjalanan pun, tidak ada yang memulai pembicaraan. Kesunyian mendominasi mobil ini. Hanya ada keributan knalpot motor yang melaju, tak menyetel musik, serta beberapa klakson yang saling bersahut-sahutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daneen
Teen FictionAntara terpaksa, cinta, dan praduga. "Kamu semestinya seperti itu, Arumi. Kamu harus sadar di dunia ini bukan cuma tentang hidupmu. Bukan hanya tentang sudut pandang kamu." Berusaha meyakinkan Papa lebih keras lagi atau memang Papa yang tidak pernah...