23. Sandiwara bodoh

25 3 0
                                    

Baca part ini sambil dengar lagu;
🎵Nadin Amizah - Sebuah tarian yang tak kunjung selesai

Selamat membaca~

▪▪▪

Ada banyak cerita sengaja disimpan jadi rahasia.
~Daneen


Aku berniat mengambil charger laptop yang tertinggal di bawah. Setelah menuruni tangga, aku mencarinya di ruang keluarga dan hasilnya nihil. Langkah kakiku membawaku ke ruang tamu. Aku mendapatinya di sofa.

Kutatap piring bundar menopang kue bolu cokelat. Apa Papa yang menyiapkannya?

"Eh, Arumi?" Senyum berseri-seri terbit di wajah Papa. Tarikan di bibirnya kali ini tampak berbeda. Sudah lama sekali rasanya tidak menatap senyum itu.

"Ini kue buat siapa, Pa?" tanyaku langsung.

Papa menaruh piring putih kecil di atas meja. "Untuk tamu spesial." Jawaban itu terkesan misterius. Penuh tanda tanya, kan? "Kamu siap-siap, ya. Jangan lupa pakai hijab." Papa mengusap rambutku.

Aku yakin, Papa pasti melihat kebingungan dari wajahku. "Aku, Pa? Ada apa?"

Papa duduk di sofa dan tersenyum. Lagi-lagi senyum yang sama. "Sudah pakai hijabnya, gih."

Aku hanya mengangguk ragu lalu kembali ke kamar. Tak lupa men-charger laptopku. Kemudian turun dengan mengenakan hijab.

Aku mendengar Papa tengah bercengkerama dengan suara berat laki-laki juga. Aku semakin penasaran. Apalagi ada tawa Papa yang sempat mampir di telingaku.

"Arumi!" Papa memanggilku dengan keras.

"Iya," jawabku. Aku semakin mempercepat langkah menuju ruang tamu.

Aku melihat Papa dan Abimanyu duduk berhadapan. Aku memilih duduk di sofa kecil.

Setelah aku sampai di sini, malah tidak ada yang berbicara.

"Arumi, tanyakan kabar teman sekolah kamu ini." Papa terkekeh menatap Abim yang mengangguk singkat.

Aku mengerjap kemudian diam saja tidak berniat bertanya. Aneh, bukan? Mengapa Papa bisa terlihat begitu akrab dengannya?

Papa mencibir lalu Abim menjawab, "Kabar baik, Om, Rumi."

Papa manggut-manggut lalu menepuk pundak Abimanyu. "Bisa aja kamu ini. Seperti ini nih, calon mantu Papa."

Papa apa-apaan, sih? Menyinggung hal itu segala.

Menyadari keenggananku ikut mengalir dalam percakapan, Papa akhirnya bersuara. "Abim sudah mengucapkan niat awal datang ke sini dan Papa menerimanya dengan tangan terbuka."

Maksudnya? Niat? Jangan bilang ....

"Papa sudah menjodohkan kamu dengannya." Mataku membeliak. Eh, gimana? Apa aku tidak salah dengar? Dijodohkan?

"Sudah lama, sebenarnya. Papanya dan Papa kenal baik. Papanya sering bercerita bahwa anaknya cerdas. Papa pernah mengunjunginya dan Papa langsung tertarik, jujur saja. Abim itu tampan, baik, sopan, dan pintar. Saat mendengar dia akan dimasukkan ke sekolah yang kebetulan sama seperti kamu, Papa pikir mungkin akan ada waktu yang tepat." Papa tak melepas tatapannya padaku. Ada rasa terkejut, tidak terima, dan sulit dicerna ketika mendapat informasi banyak secara gamblang. Kutelan ludah susah payah.

DaneenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang