17. Mengamati

13 5 0
                                    

Selamat Membaca~


▪▪▪


Jika Papa tidak memberitahuku alasannya, biar aku cari tahu sendiri. Ini memang terkesan keras kepala. Namun, tidak apa-apa. Bukankah setiap pertanyaan harus mendapatkan sebuah jawaban?

Mencari tahu tentang Rifqi?

Ah, bukan.

Maksudku, lebih ke arah mengamati tingkah lakunya. Di mana bagian 'tidak baik' dari dirinya.

Tadi malam, aku sempat tidak bisa tidur. Rasanya mata ini enggan terpejam. Dalam sesaknya gejolak batin, pikiranku semakin kalut. Perasaan ini kacau balau. Persis seperti tunas bangsa yang bimbang akan arah mana kehidupan pasca lulus sekolah menengah pertama. Membingungkan. Andaipun tugas cerahnya sinar dewi malam mengembalikan keadaan hati, maka malam itu ia gagal menjalankan tugasnya.

Setelah sampai di sekolah saja, kondisi masih sama. Aku tertatih ke kelas. Dengan gulana sebab semalam terlalu lelah meresapi sesak dalam dada.

Aku mendapati ransel Nessi di atas kursi sedang tak ada tanda-tanda kemunculan batang hidung sang penghuni. Entahlah di mana dia pergi.

Aku membenamkan wajah. Bertemu dengan gelap kini menjadi teman sejati sebab hanya ini yang dapat kudekap dengan erat. Meski kutahu bertahan dalam gelap sama dengan memudarkan harap.

"Daneen!"

Aku familiar dengan suara itu. Sempat melupakan hadirnya. Sepertinya benar, jarak akan menjadi musuh menakutkan dalam sebuah hubungan. Kudapati wajah tenang Vani dengan senyum angunnya.

Aku mendongak. "Eum, ... ya?"

Vani malah melepas napas panjangnya. Aku tahu dan sadar akan hal itu. Dia pasti mengetahui raut lelahku, wajah kusut hilang motivasi, dan setengah lingkaran hitam di bawah mataku. Dia cemberut.

"Are you okay?"

Aku tersenyum tipis. "I'm not okay and ... yeah, that's okay."

Vani tersenyum tulus. Ah, terkadang aku berpikir bahwa dia jauh lebih cantik dariku. Apalagi hatinya yang penuh perhatian di mana terpancar ke wajahnya yang teduh.

"Aku salut, loh. Banyak orang yang bilang okay padahal lagi not okay. Dan kamu menerima diri kamu dengan mempersilahkan perasaan yang lagi kamh rasain."

Aku tersenyum walau tahu bahwa hatiku tak ikut melebarkan ketentraman senyuman itu, tapi bukan karena mood-ku sedang tidak baik, aku ikut menebarkan energi demikian, bukan?

"Ngomong-ngomong, di mana Nessi?"

"Katanya bosen, mau ngadem di taman samping kolam ikan. Nggak tahu tuh, tumben banget." Vani mengambil alih tempat duduk Nessi. Ya, lumayan lama kami tidak berada di posisi ini.

"Mau nyusulin?" Aku tahu Vani Ananda si gadis paling peka.

Setelah mengangguk antusias, aku berdiri. Namun, Vani mencegatku dengan ucapannya yang cukup mengejutkanku.

Vani menyipitkan matanya. "Loh, itu apa, Daneen?" Dia menunjuk kursiku yang tertempel sticky note berwarna kuning.

Oh, aku baru menyadarinya. Bukankah saat sampai ke kelas aku langsung merebahkan kepala di atas meja? Aku menduduki kertas misterius kedua itu.

DaneenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang