Meminta izin sama saja meminta persetujuan.
Lebih baik tanyakan, jika masih memiliki kesopanan.
~Daneen▪▪▪
Selamat membaca~
Seketika kelas sunyi lantaran mendengar hentakan hak sepatu dengan lantai yang arah jalannya mengarah ke kelasku. Padahal setelah ini, belajar fisika. Ibu Dea juga bukan termasuk jajaran guru killer. Entah dorongan dari mana, seisi kelas tiba-tiba diam. Mungkin menduga-duga ada guru yang datang karena keributan tadi, pikirku.
Salah satu siswa yang duduk di pojok, menyingkap tirai gorden. Menatap Ibu Dea lah yang sedang berjalan.
"Woy, itu Ibu Dea," ucapnya.
Helaan napas lega menjadi jawaban dari ketakutan seisi kelas.
Menyadari sesuatu, jantungku berdegup kencang. Berfirasat akan ada hal yang tidak diduga akan terjadi. Biasanya setelah mempelajari dan latihan pada bab baru akan ada latihan lagi atau mungkin-langsung-ulangan dadakan. Seharusnya aku tidak perlu mengakhawatirkan itu. Selepas pulang dari taman kemarin, aku berinisiatif mengulangi pelajaran fisika.
Mungkin beruntung bagiku, tetapi tidak bagi yang lain. Aku tahu, ulangan mendadak merupakan momen yang berpotensi meledakkan kepala serta mendebarkan jantung. Meskipun berefek positif seperti bisa mendorong kita lebih menajamkan ingatan.
Entahlah, akan ada latihan atau ulangan dadakan. Tak ada yang tahu pasti.
Ibu Dea masuk dengan anggun nya. Debaran jantungku semakin menghantam dada seakan siap melonjat keluar. Aku juga tidak menyangka sebegitu deg-deg an hebat, persis seperti akan memandu presentasi di depan kelas.
Selain membawa tas dan beberapa buku tebal, Ibu Dea membawa kantung transparan yang sudah ku hafal betul. Biasanya membungkusi hasil print, makalah, dan kumpulan kertas ulangan. Apa benar akan ada ulangan dadakan? Huft... aku harus tenang dan meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja.
Ibu Dea berdiri dari duduknya. Tersenyum singkat sambil memeluk kantung transparan tadi.
"Hari ini kita ulangan, ya," tukasnya.
Boom!
Hancurlah sudah kesunyian di kelas. Semua saling sahut-menyahut memberi penolakan. Bagaikan jangkrik yang superberisik di tengah keheningan malam.
"Minggu depan aja, Bu."
"Kok dadakan, Bu?"
"Bu nggak usah dong, hari ini latihan lagi aja."
"Ibu Dea cantik deh."
Aku yakin seratus persen tidak bisa dibantah. Walaupun ku tahu Ibu Dea itu sangat baik dan lihai mengasihani anak didiknya, tetap saja mustahil. Lihat lembar ulangan yang sudah siap mencoret daftar bahagia siswa hari ini-khusus untuk murid yang tidak belajar.
"Aduh, jangan dong, Bu," tolak seseorang yang duduk di sampingku. Mengikuti siswa yang protes.
Aku menoleh padanya, dia menyengir dengan raut wajah yang belum bisa menutupi ketegangan.
"Aduh gimana nih?! Auto remedial deh," rutuk Nessi.
Aku hanya diam. Dino yang duduk di depannya berbalik, menatap Nessi.
"Pasti," Dino menyahuti, lalu kembali menatap ke depan. Sudah pasrah duluan dengan keadaan.
"Sudah, sudah!" Ibu Dea menyeru.
Aku yakin beliau seperti menimbang keadaan yang cocok dijadikan solusi. Karena tidak tega, ia memberi waktu dua puluh menit untuk mengulas dan membaca dengan cermat. Walaupun ulangan tetap dilaksanakan, setidaknya aku bisa membaca lagi. Seperti yang pernah Dino katakan, "Ketemu duit lima ribu rupiah di jalan tuh ya diambil, nggak boleh disia-siain."
KAMU SEDANG MEMBACA
Daneen
Teen FictionAntara terpaksa, cinta, dan praduga. "Kamu semestinya seperti itu, Arumi. Kamu harus sadar di dunia ini bukan cuma tentang hidupmu. Bukan hanya tentang sudut pandang kamu." Berusaha meyakinkan Papa lebih keras lagi atau memang Papa yang tidak pernah...