Lantunan ayat-ayat Al-Qur'an terus menggema memenuhi seisi ruangan. Mendoakan mendiang keluarga calon menantu sang tuan rumah yang berpulang secara tragis.
Duka masih menyelimuti walau hari ini adalah hari terakhir tahlilan tepatnya hari ke empat puluh. Nada-gadis yang kini sebatang kara tanpa orang tua dan adik-adiknya masih selalu meneteskan air mata dikala membacakan bait demi bait doa untuk almarhumah.
Sungguh gadis itu mencoba untuk tegar dan ikhlas tapi apa daya saat hati dan mata tak kuasa menahan gejolak kesedihan. Air mata selalu hadir bahkan menjadi teman setianya seminggu terakhir.
Nada mendongak kala seseorang menyodorkan secangkir teh yang masih mengepul panas.
"Minumlah biar badanmu hangat." Ujar Edward seraya duduk disisi Nada. Gadis itu menerimanya sembari tersenyum tipis sebagai ucapan terimakasih.
Sepeninggal keluarganya gadis yang pada dasarnya tak banyak bicara itu semakin pendiam. Tak akan membuka suara jika tak dimulai. Seringkali hanya senyuman super tipis sebagai tanggapan pada lawan bicaranya.
Nada seperti kehilangan semangat hidup. Tak ada gairah. Begitu menurut Edward. Berbagai upaya sudah coba ia lakukan. Mulai dari selalu mengajaknya bicara ataupun menawari pergi keluar sekedar mencari udara segar yang langsung mendapat gelengan penolakan. Bahkan terbersit dalam otaknya untuk membawa gadisnya ke psikiater untuk melakukan konseling karena bagaimanapun trauma atas kematian keluarga begitu membekas.
Bukan menganggap Nada gila. Tidak sama sekali. Edward hanya ingin melakukan yang terbaik untuk gadisnya. Ia mulai frustasi saat tak bisa berbuat apa-apa melihat kesedihan itu terus nampak. Terlebih Nada semakin tertutup. Tak pernah menceritakan apalagi meluapkan kesedihannya. Terakhir kali menangis meraung-raung adalah saat seluruh anggota keluarganya dinyatakan tak selamat.
Setelah itu tak pernah lagi Nada menangis didepannya. Tapi Edward tahu betul jika gadisnya selalu menangis ketika sendirian terlihat dari matanya yang seringkali sembab.
Egonya sedikit terluka mendapati sikap Nada yang mencoba tegar menahan kesedihan dihadapannya. Edward merasa seperti orang asing bagi calon istrinya sendiri. Tak tahukah gadis itu jika ia akan senang sekali dan dianggap jika gadis itu membagi sedikit keluh kesah dan bertumpu padanya.
"Masuk yuk orang-orang pada mau pamitan pulang." Ajak Edward. Acara tahlilan sudah selesai satu jam yang lalu dan saat itu pula gadisnya menghilang dari kerumunan. Selalu seperti itu. Menyendiri bertumpu dagu memeluk kaki di balkon kamarnya. Miris. Sangat.
"Besok nggak akan ada lagi yang doain Mama dan Adik-adikku." Edward menatap Nada yang mendongak menatap rintikan hujan digelapnya malam.
"Masih ada kamu dan Mas yang nggak akan putus doain mereka Nada." Entah sudah berapa kali pria itu mengingatkan bahwa Nada tidak sendirian. Ada dirinya yang akan selalu mendampingi. Mereka akan selalu bergandengan tangan melewati suka dan duka.
"Ayo kebawah tamu-tamu mau pada pulangkan." Nada bangkit dari kursi. Seperti sebelumnya gadis itu selalu menghindar jika Edward menyinggung mengenai keberadannya.
Entah apa yang salah sampai Nada tak mengindahkan kepedulian Edward. Dengan jelas sikapnya menunjukkan bahwa gadis itu tak menyambut baik keberadaannya. Dan Edward bukan manusia dengan stok kesabaran seluas samudera. Jelas-jelas hal tersebut sangat melukai. Mungkin kemarin-kemarin ia masih bisa sabar. Tapi tidak untuk sekarang dan selanjutnya. Ia sudah tak tahan.
Mungkin ia bisa mengerti jika gadis itu semakin pendiam karena masih berduka. Tapi tidak dengan cara mengabaikan setiap kepeduliannya kan. Ia seperti pengemis yang selalu meminta perhatian dan pengakuan Nada atas dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pra-Nada
RomantikInsyira Nada dan Edward Pranadipa dua makhluk Tuhan yang seharusnya tidak pernah bersua karena perbedaan yang terlalu mencolok dalam segala hal. Hidup mereka bagai bumi dan langit dengan beribu jarak tak kasat mata. Tapi mereka bisa apa jika semesta...