"Nada." Panggil Edward lembut kala gadis itu hanya menatap horor dirinya. Semenakutkan itukah ajakan menikahnya.
Gila! Seumur-umur ia tak pernah membayangkan akan melamar seseorang dan mendapatkan reaksi seperti ini. Seharusnya perempuan itu menangis bahagia walau cara melamarnya jauh dari kata romantis atau bisa dibilang vulgar dengan adegan yang dilakukan sebelumnya.
Edward semkin mengeratkan belitan tangannya pada pinggang Nada kala gadis itu mendorong tubuhnya menyuruh menjauh.
"Lepas Pak. Saya nggak nyaman." Ujar Nada sedikit gugup. Entahlah dengan apa yang Edward lakukan padanya barusan membuat jantungnya berdegup kencang. Bahkan kini tangannya basah oleh keringat.
"Kamu harus terbiasa." Dengan kurang ajar Edward menunduk lalu mencium puncak kepala gadis itu yang wangi walau tertutup jilbab.
Shampo mahal memang beda.
"Tolong lepaskan. Kita bukan muhrim Pak." Tanpa bisa ditahan air mata Nada mengalir. Ia kesal sekali pada dirinya yang hanya bisa diam saat Edward melecehkannya.
"Saya akan lepaskan kamu. Tapi kita harus bicara." Nada tak menolak atau mengiyakan. Percuma saja karena ia yakin Edward akan melakukan apapun yng menjadi kehendaknya. Pria itu egois.
Sebelum benar-benar melepaskan dekapannya, Edward menghapus lelehan air mata dipipi Nada. Ia merasa seperti bajingan karena membuat seorang perempuan ketakutan. Lihatlah bahkan tangan kecil itu gemetar walau coba disembunyikan.
Ya Tuhan apa yang aku lakukan.
Nafsu sialan!
"Duduk." Edward menggiring Nada untuk duduk. Mencoba berbicara selembut mungkin, tak ingin membuat gadis itu semakin ketakutan.
Nada duduk disudut paling ujung kursi begitupun dengan Edward. Pria itu mencoba menjaga jarak. Menahan keinginanan untuk selelau bersentuhan walau berat sekali.
"Nada." Panggil Edward kala Nada tak jua menatapnya. Pandangan gadis itu terus lurus kedepan.
"Nada." Panggil Edward kedua kali saat Nada masih bergeming. Tingkahnya sedikit banyak membuat pria itu mulai frustasi.
Edward telah salah langkah. Dan itu berakibat sangat fatal. Tapi apa daya saat keinginan menyentuh gadis itu begitu kuat. Bahkan sialnya saat ini ia tak merasa bersalah sama sekali telah mencium tanpa izin.
Fuck you Ed!
"Mungkin akan terdengar aneh dan membingungkan dengan perkataan yang akan saya katakan sekarang ini. Tapi tolong beri saya kesempatan bicara sampai selesai." Edward mengacak rambutnya frustasi kala Nada masih enggan untuk melihatnya.
"Saya tertarik dengan kamu entah sejak kapan. Yang pasti saya tertarik dan peduli dengan kamu. Lebih tepatnya saya membutuhkan kamu dihidup saya. Mungkin kamu menduga bahwa saya hanya merasa kasihan sama kamu. Tapi itu tidak benar sama sekali." Edward menjeda kalimatnya menunggu reaksi Nada. Dan sikap gadis itu masih sama.
Edward menghembuskan nafas mencoba optimis walau fakta dilapangan berkata lain. "Saya tidak tau rasanya jatuh cinta seperti apa karena saya belum pernah mengalaminya. Satu hal yang pasti saya tidak mau kehilangan kamu. Saya benci melihat kamu dekat dengan pria lain walau itu hanya sekedar duduk dan mengobrol dengan orang-orang yang saya kenal. Saya benci melihat kamu bekerja keras. Saya benci melihat kamu kesusahan. Terlebih saya benci kamu menganggap saya orang lain. Mengabaikan saya. Selalu menjaga jarak. Bahkan untuk berbicarapun susah sekali. Saya ingin perhatian kamu hanya untuk saya. Saya ingin senyum dan tawamu hadir karena saya."
Edward tersenyum kecut saat tak mendapati respon apapun. Hatinya mulai tak tenang. Berbagai kemungkinan buruk mulai bermuara dikepalanya.
Mengikuti pandangan gadis itu yang menatap hamparan laut lepas. Edward menyandarkan punggungnya mencoba bersikap tenang walau hati was-was luar biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pra-Nada
RomanceInsyira Nada dan Edward Pranadipa dua makhluk Tuhan yang seharusnya tidak pernah bersua karena perbedaan yang terlalu mencolok dalam segala hal. Hidup mereka bagai bumi dan langit dengan beribu jarak tak kasat mata. Tapi mereka bisa apa jika semesta...