12 - Matilah ia!

828 124 20
                                    

Tok...Tok...Tok.

"Nada, boleh Mama masuk?"

Sedikit tergesa Nada turun dari ranjang saat suara Irene terdengar di depan pintu kamarnya. "Kamu sudah mau tidur?"

"Nggak kok. Masuk Ma ada apa?" Nada membuka pintu lebar-lebar. Lalu duduk di sofa yang ada di kamarnya. Kamar yang ia tempati adalah kamar Edward sudah sepatutnya serba eksklusif. Kamar mandi dan walking closet yang besar. Ditambah satu set sofa dan tv serta kulkas kecil disudut ruangan membuat gadis itu merasa tengah menginap di hotel. Bahkan rumahnya lebih kecil dari luas kamar yang ia tempati sekarang.

Jomplang sekali memang. Semakin masuk kedalam keluarga Edward. Nada semakin merasakan perbedaan yang sangat amat jauh antara dirinya dan pria itu. Rasa insecure semakin menjadi-jadi dan ia tak tahu bagaimana mensiasatinya.

"Kamarnya nyaman?" Tanya Irene pada gadis yang sedari tadi menunduk. Satu set baju tidur bermotif abstrak yang ia pesan terlihat pas ditubuh mungil Nada. Uang memang mampu mengerjakan apapun dengan maksimal. Lihatlah Nada yang tak terlihat sama sekali bahwa berasal dari kalangan bawah. Mulai dari hijab sampai baju walaupun terlihat sederhana semuanya adalah rancangan designer ternama.

Tak ada maksud apapun, Irene melakukannya agar Nada lebih percaya diri. Ia tahu betul gadis muda itu tak nyaman dengan perbedaan mencolok diantara mereka. Tapi akan sampai kapan karena mau tidak mau gadis itu harus mulai bisa beradaptasi.

"Nyaman Ma terimakasih." Walaupun masih canggung Nada mencoba membiasakan lidahnya untuk memanggil mantan ibu majikannya dengan sebutan Mama. Tadi siang Edward menegaskan jika ia bukan lagi ART pria itu. Sekarang mutlak hanya seorang calon istri dari pria bernama Edward Pranadipa.

Sekarang ia pengangguran.

"Tapi kelihatannya tidak." Irene mencoba berbicara selembut mungkin. Kesan pertama yang ia tunjukan pada gadis itu dulu tidak terlalu menyenangkan membuat Nada selalu canggung dan sesopan mungkin. Padahal ia melakukannya dulu karena sedikit terkejut gadis itu mampu membuat anaknya menjadi pribadi yang berbeda. Nada adalah orang pertama selain dirinya yang diperbolehkan menyentuh atau menata ulang barang-barang Edward tanpa harus meminta ijin.

Terlebih sebagai seorang ibu ia ingin memastikan pilihan hati anaknya tidak keliru. Walaupun Nada tidak terlihat seperti seorang gadis matre yang senang menjerat para pria kaya tetapi waspada tetap harus. Ternyata bukan ingin menarik perhatian Edward, gadis itu seolah antipati terhadap anaknya. Ini yang menarik karena belum ada wanita yang sebegitu tidak sukanya berdekatan dengan sang putra. Terlihat sekali ketidaknyamanan gadis itu karena Irene diam-diam selalu memperhatikan. Dan putranya lah yang seperti cacing kepanasan karena selalu dihiraukan.

Ahh Ed-nya sudah mau menikah.

"Hhmm mengapa Mama merestui saya untuk menjadi menantu keluarga ini? Bukankah kita tidak sederajat?" Nada memilih untuk jujur tak tahu lagi mencurahkan kegundahan hatinya pada siapa.

"Bukankah semua orang dimata Tuhan sama? Jadi dimana letak perbedaannya?" Irene balik bertanya.

Nada semakin menunduk meremas tangannya. Ia malu karena selalu berorientasi pada dunia untuk mengklasifikasikan derajat seseorang. Bukankah hanya Tuhan yang berhak menentukan itu semua. Gadis itu terlalu tenggelam dalam pemikiran negatifnya sampai melupakan bahwa apa yang dialaminya sekarang adalah takdir Tuhan. Jadi jalani saja semaksimal mungkin jangan pernah mengkhawatirkan ataupun mempertanyakan takdir yang ditentukan untuknya. Karena semuanya pasti yang terbaik.

"Nada angkat kepalamu dan lihat Mama." Nada menuruti perkataan calon Mama mertuanya.

Pandangan mereka bertemu dan untuk pertama kalinya tak ada kecanggungan yang biasa gadis itu alami.

Pra-NadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang