14 - Alasan itu pergi

760 123 8
                                    

Haiii...

Selamat natal bagi yang merayakan.

Sorry lama bnget updatenya, gua banyak kerjaan banget. Part ini nggak gua edit sama sekali jadi sori klo banyak typo.

Enjoy.

----

Tak ada yang bersuara selama perjalanan menuju lokasi kejadian. Suasana didalam mobil sunyi senyap hanya suara deru halus mesin mobil mahal Edward yang terdengar. Hari ini pria itu memutuskan memakai sopir untuk mengantarkan mereka ke lokasi. Ia ingin fokus menemani Nada yang keadaannya sedang kacau.

Edward menatap sisi tubuh Nada yang dari awal sampai sudah setengah perjalanan terus menatap jendela mobil. Pria itu tahu gadisnya bukan sedang menikmati pemandangan yang hari ini kelabu. Tatapan gadis itu kosong, walau tangisannya tak sehisteris tadi tapi sudut mata itu masih meneteskan air mata.

Tangan mereka saling bertaut, tepatnya Edward yang tak pernah melepaskan genggaman. Tak ada dekapan erat seperti di kampus tadi karena saat masuk mobil gadis itu menolak dan ia mencoba memahami.

"Hey." Ujar Edward saat Nada bak seperti patung yang bernafas hanya duduk diam menyamping.

"Sayang." Panggilnya lagi kala tak kunjung mendapat tanggapan. Gadis itu masih setia menatap jalanan.

"Nada." Dengan lembut Edward membalikkan tubuh Nada agar menghadapnya. Ia bukan tak terima saat gadis itu mengabaikannya. Ia hanya lebih suka Nada menangis meraung-raung mengeluarkan isi hatinya daripada hanya diam seperti orang mati. Jelas membuat pria itu khawatir setengah mati.

Tatapan mata itu kosong. Wajahnya pucat tidak seperti tadi pagi saat mengantarkan ke kampus yang begitu manis dengan rona merah alami di bibir dan pipi. Tak kuasa dengan pemandangan didepannya, Edward langsung mendekap Nada dengan erat. Sebuah ungkapan tersirat bahwa gadis itu mempunyainya untuk segala keluh kesah dan kesedihan.

"Mas selalu ada untuk kamu." Edward tak bisa mengatakan semuanya baik-baik saja hanya untuk sekedar menghibur Nada. Karena fakta dilapangan tak seindah basa basinya. Menurut orang kepercayaan pria itu yang sudah lebih dulu sampai disana diduga ibu dan adik-adik Nada tertimbun tanah longsor. Tidak tahu apakah mereka masih hidup atau tidak.

Gadisnya yang malang.

Edward semakin mengeratkan dekapan saat tubuh Nada bergetar karena tangis. Tangan gadis itu mencengkram kemeja bagian depannya bahkan sesekali memukul dada Edward seolah tengah melampiaskan duka yang hari ini begitu mengejutkan.

Edward tak masalah menjadi pelampiasan kesedihan Nada saat ini karena dengan begitu ia sedikit berguna. Daripada hanya duduk diam menyaksikan gadis itu seperti mayat hidup.

"Mama dan adik-adikku Mas." Ujar Nada pilu merebahkan kepalanya did ada Edward.

Jika tak sadar dirinya harus kuat untuk Nada, Edward hampir saja ikut meneteskan air mata. Dirinya bukan orang yang sentimetil karena kesedihan orang lain. Tapi dengan Nada, ia ikut merasakan apa yang gadis itu rasakan. Ia ikut sedih bahkan teramat. Mama dan adik-adik baru yang seharusnya hari ini ia jumpai tak pasti keadaannya apakah mereka masih hidup atau skenario terburuk sudah tak bernyawa tertimbun lelongsoran tanah. Semoga ia masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan keluarga calon istrinya. Terlebih Edward tak kuasa melihat Nada yang kacau dan terus bersedih jika skenario terburuk benar terjadi.

"Seburuk apapun nanti kamu punya Mas. Mas akan selalu ada disisi kamu." Edward mencium puncak kepala Nada. Tangannya melingkari tubuh ringkih gadisnya.

Pelukan Edward semakin mengerat kala gadisnya kembali menangis tersedu-sedu. Ia pria realistis dalam keadaan sedih sekalipun. Maka dari itu ia tak ingin menenangkan Nada dengan kata-kata yang diluar ekspektasinya. Ia tak ingin kesedihan gadis itu ditambah dengan kekecewaan atas perkataannya yang membual.

Pra-NadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang