Lima : Itu Aku

974 79 7
                                    

Hal paling menyenangkan apakah yang bisa kau lakukan saat menjadi orang gunung? Menghirup udara segar setiap pagi dan berolahraga memanjat jalan tinggi meskipun kamu sedang malas. Itu, aku.

Menurut penelitian, segarnya udara dan rajinnya berolahraga akan memudahkan sel saraf menerima asupan bergizi untuk kemudian menjadikan otak manusia encer luar biasa, jernih bagai mengaca di atas air. Hidup di lereng gunung Sumbing yang segar harusnya sih, mampu membuat otakku encer bak Einstein tapi nyatanya hingga sekolah menengah pertama berakhir, nilaiku selalu menjadi paling akhir. Baiklah, aku tak pernah menyalahkan hasil penelitian itu, mungkin sudah takdirku yang terlahir sebagai yang kelima dalam keluarga dengan jarak kelahiran antara satu dengan yang lain terlalu dekat sehingga perhatian kedua orang tuaku terabaikan terhadapku.

Bayangkan, kami tinggal di lereng gunung, kedua orang tuaku buruh tani yang adakalanya saat cuaca dingin yang menggigil kami rela dan ikhlas memakan seadanya, maka mereka akan memilih memiliki banyak pekerjaan sampingan demi dapur yang mengepul. Alhasil, kakak tertuaku mengawasi dan menggendong adik pertamanya hingga bisa bermain sendiri, kemudian kakak keduaku mengajak bermain adiknya juga, kemudian kakakku lagi mengajak bermain aku dan begitulah siklus hidup kami berlima berjalan.

Kakak pertamaku perempuan, terpaut tujuh tahun denganku. Namanya Rahmi Sari. Kakak keduaku laki-laki bernama Arya Dwi karena dia anak kedua terpaut enam lima denganku, kakak ketigaku lelaki juga bernama Anton Kusuma, jarak usia kami terpaut tiga tahun, kakak keempatku perempuan dengan nama Dini Kusumawati. Kami berjarak satu tahun kelahiran karena setelah kakak Dini berusia setahun ibu ternyata sudah hamil lagi dan begitulah seterusnya keluarga besar kami terlihat terlalu banyak anak kecil dengan pertumbuhan keluarga yang tidak bergelimang harta. Tetapi, kami hidup dengan kebahagiaan dalam kesederhanaan.

Dan ... kenapa namaku Lima? Kata ibuku, Lima adalah pilar agama kami, Islam. Lima juga menjadi penyempurna hidup dalam falsafah Jawa. Karena penyempurna maka, diriku ini menjadi penutup dari kelahiran anak-anak Ibu dan Bapak. Begitulah. Selain itu menurut desas desus di kampung kelahiranku telah membawa keberuntungan sendiri bagi kehidupanku. Dulu, aku tak mempercayainya karena ... semua manusia pasti beruntung karena masih bisa hidup dan makan dengan cukup meskipun dalam keadaan tak menentu. Namun, saat namaku menjadi nama penerima beasiswa silang salah satu sekolah menengah terbaik di Jakarta maka aku mempercayai bahwa desas desus orang kampungku benarlah adanya.

"Pak, kenapa saya bisa diterima di sana? Bukankah yah, bapak tahu sendiri bahwa ...." Aku menunjuk kepala di mana otakku berada.

"Tidak terlalu tokcer." Menggigit bibirku sendiri karena malu tapi tetap kutanyakan hal itu juga.

"Karena kamu adalah murid kami yang paling miskin maka ...." Ah, aku tahu sekarang. Beasiswa ini bagi mereka yang tidak mampu.

"Jadi, baik-baiklah di sana, jangan membuat onar dan mempermalukan semua orang di kampung Sumbing." Bapak SoFiyan Wanan kepala sekolahku mengatakan dengan tegas.

"Satu-satunya harga diri yang harus kamu jaga adalah jangan bermental miskin di sana. Kau paham?" Entah apa maksudnya perkataan itu tapi aku tak akan menjadi peminta-minta di sana. Aku akan belajar dengan sungguh-sungguh.

Keberuntunganku juga nampak makin nyata setelah semua saudaraku tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan tertinggi tapi hanya sampai SMA saja. Bahkan kak Dini dua tahun setelah SMA sudah dipinang dan menikah dengan orang lain. Setidaknya, dengan bersekolah di luar kota, aku berharap pendidikanku bisa berlanjut ke jenjang perguruan tinggi.

***

Malam hari sebelum besok keberangkatanku ke kota, ibu dan bapak duduk melingkar bersamaku di karpet lusuh satu-satunya yang kami punya. Entah apa yang ada di pikiran kami karena kami hanya saling diam dan berpegangan tangan. Kami bicara lewat mata. Bapak yang sudah terlihat kerut usianya menyeka air matanya berkali-kali sementara ibu, beliau hanya bisa mengatakan "baik-baik, Nduk." Berkali-kali tanpa redaksi kata yang lainnya.

Aku paham. Sangat paham karena kami tak terbiasa bercengkrama selama ini. Mereka datang sore hari setelah bekerja keras seharian di sawah tetangga akan memilih beristirahat selepas salat Isya'. Sementara kami masih sibuk membuat anyaman bambu untuk sejenis wadah tradisional untuk diambil tengkulak dan disalurkan ke pasar besar. Hasilnya, bisa menjadi uang jajan kami sehari-hari dari membeli kosmetik hingga membeli kebutuhan sabun dan sampo.

"Belajar jadi pintar di sana, ya?" Bapak sungguh membuatku malu. Selama ini aku menganggap tidak akan melanjutkan sekolah ke jenjang SMA bahkan aku sudah menanyakan lowongan kerja di rumah juragan Safarul yang terkenal memiliki istri banyak. Keberuntungan ternyata masih menaungi hidupku.

"Bapak cuma bisa memberimu sedikit buat pegangan di sana." Konon, aku akan berada di asrama jadi, tak akan terlalu bermasalah dengan kebutuhan makan. Aku bahkan sudah menyiapkan plan A dan B di sana. Ingat. Namaku Lima. Lima adalah sebuah tanda sempurna, semoga keberuntungan itu memang menaungiku hingga nanti.

"Satu pesanku lagi, Nduk. Jangan terlalu banyak bergaul dengan orang kaya. Kau harus ingat siapa dirimu di sana. Ya." Aku mengira kesenjangan antara kaya dan miskin ternyata ada di belahan dunia manapun.

"Sekadar berkawan. Bapak kira tidak apa-apa."

***

Pukul sembilan malam. Berbekal koper tua bekas Pak Lurah saat dinas di luar kota, aku menunggu bis malam jurusan Jakarta. Perjalanan ini adalah perjalanan terjauh yang akan kulaui. Ibu bahkan bertamu ke rumah Pak Lurah pagi-pagi dengan membawa satu karung kecil daun bawang hasil upan panennya di ladang tetangga untuk meminta pinjaman koper yang sudah tua. Pak Lurah masih ingat bahwa koper tuanya di gudang masih ada, sisa dulu mengikuti seminar kepala desa di Bandung.

Kondisinya masih sangat baik, hanya resleting saja sudah macet di sana-sini karena berkarat. Alhasil setelah berhasil menautkan resleting itu yang kemudian membuka lagi di beberapa sisi, ibu dan bapak mengaitkan tali lagi memutari badan koper dan mengikatnya. Lumayan, dengan kaki-kaki roda di koper, aku tak perlu menggendong koper itu.

Hingga sorot lampu bis besar yang mulai masuk di pelataran ruang tunggu PO. MANDALA JAYA mata ini terpesona dengan besarnya bis malam yang akan kunaiki. Uang karcis bis ini adalah hasil patungan dan sumbangan warga kampung Sumbing. Mereka membanggakan keberuntunganku dan berharap aku bisa memperbaiki nasib dengan bersekolah di sana.

Awalnya aku merasa terbebani dengan semua itu tetap saja aku merasa terharu. Beban berat itu diangkat ibu dengan mengatakan padaku bahwa di sana aku hanya perlu menuntut ilmu tak perlu memperdulikan harapan besar warga kampung. Namun, aku masih menyimpan ketakutan karena beasiswa ini harus bisa kupertahankan setahun ke depan atau aku akan kembali ke kampung sebagai seorang pecundang.

Tepat saat aku dan koperku sudah duduk manis di dalam bis dengan kursi duduk paling depan, nasib baruku akan menyambut di Jakarta. Hatiku berdebar, keringat dingin menjalar.

Namaku Lima. Aku siap menyambut hari baru.

***

Tiba di sekolah.

Sebuah mobil melaju kencang. Sambil tengak-tengok megahnya gedung sekolah aku tak memperhatikan laju mobil itu dan ....

Genangan air di sebelahku diterobos mobil itu, memuncratkan sisa genangan ke tubuhku dan basah kuyup seragamku.

Mobil dengan nomor polisi B 2112 S. Tunggu saja ya. Kau harus meminta maaf tau!

My Mathematics Man (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang