Dia di Belakangku

412 60 4
                                    

Aku menelisik keramaian siswa yang ada di depanku dengan geram. Emosi menguasai tubuh dan jiwaku dan aku merasa akan meletuskan amarah ke sembarang orang jika ... tidak segera bertemu orang itu.

Sambil menyandang tas selempang dengan gambar musisi legendaris Michael Learn to Rock aku bolak-balik mencari di mana mobil tadi terparkir. Setiap anak yang bertatapan muka denganku entah kenapa begitu tidak ramah. Faktor pertama mungkin karena kami belum saling kenal, yang kedua mungkin karena seragamku berbeda dengan punya mereka. Pada mulanya aku tak tahu perbedaan itu hingga ....

"Hei. Penerima beasiswa!" Seseorang menepuk pundak belakangku. Ketika aku berbalik kulihat wajah temanku itu lucu sekali. Dua kepang di rambutnya, badan gendut seperti anak pak RT di kampungku dan ... seragamnya sama denganku. Atasan berwarna merah maroon dengan kerah bentuk jas bercorak garis-garis. Sementara mereka yang berbeda dengan seragamku memakai warna maroon semua lengkap dengan jas berwarna senada meskipun lebih gelap.

"Jangan berjalan sendiri. Kau tahu kan, kalau kita berbeda dengan mereka?" sapanya.

"Hai. Aku Silla dan sebaiknya kita sama-sama." Sejak saat itu Silla menjadi teman pertamaku. Sayangnya, kami berbeda kelas tapi tak mengapa toh, kami bisa bertemu di kantin.

Kuperhatikan ada beberapa juga memakai seragam yang sama denganku meskipun tidak banyak. Karena itulah mungkin mereka yang merasa tidak mendapatkan beasiswa terkesan tak ramah kecuali beberapa orang yang kujumpai di kelas.

Berdasarkan instruksi Bu Ajeng, guru ramah dan cantik yang menjadi Mommy Class kami, begitu mereka menyebut wali kelas, maka aku duduk di bangku nomor enam deret ke dua dari sebelah kanan. Semua juga mendapat bagian masing-masing jadi tidak boleh ada pemilihan sendiri-sendiri.

Satu kelasku berisi tiga puluh lima orang dan semua bangku sudah terisi kecuali bangku belakangku. Dari pengamatanku mereka telah saling mengetahui info siapa teman sekelas mereka satu persatu kecuali aku.

Kemudian dia datang memasuki kelas bak Raja Singa yang baru saja kembali dari medan laga mengalahkan monster. Gaya berjalannya sih, biasa saja. Tapi aku melihat pada wajah semua penghuni kelas memancarkan kekaguman yang menyinari satu demi satu langkahnya hingga menuju ke arahku.

Apa? Sebentar. Kemana? Ke arahku?

Aku sudah memasang wajah kaget di muka ini. Lelaki itu kemudian tersenyum dan berhenti di depanku.

"Kau sudah berganti baju?" bisiknya sambil menunduk ke arahku.

"Di alismu juga masih ada sisa kotoran dari percikan air tadi. Lain kali bersihkan dengan baik." Alamak. Aku terkejut. Ternyata tadi aku tak membersihkan cukup baik di toilet sekolah.

Namun, dia kemudian membuat gerakan yang ajaib. Alih-alih memberikan tisu kepadaku dia malah menempelkan kertas stiker tepat di alisku. Baru perjumpaan pertama dan dia sudah membuatku geram.

Dia ... si pemilik mobil nomor 2112. Ah, menyebalkan.

Wajah semua penghuni kelas memandangku sinis dan mencibir. Apalagi disertai kertas stiker berwarna hijau di alisku. Huft. Rasanya pengen kuajak dia smackdown di sawah. Lihat siapa yang jadi pemenangnya.

"Eh, enak aja. Apa yang kau lakukan. Harusnya kau minta maaf." Aku menghardiknya sok keren. Napasku naik turun karena berteriak di depannya. Menyebalkannya lagi dia malah dengan santai duduk di belakangku.

"Ngapain juga kau duduk di sini?" Dia berdiri kemudian.mencabut kertas stiker di alisku tadi.

"Satu. Iyuh, kotorannya sudah terangkat." Dia memperlihatkan kotoran hitam yang menempel di lem kertas stiker tadi. Itu terasa sakit saat tadi dicabut.

My Mathematics Man (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang