Aku tahu Fandi duduk dengan diam sambil memberengut kesal di belakangku. Kaki-kakinya bergetar karena dia berusaha mengalihkan perhatiannya dari rasa marah. Tentu saja. Getaran itu membuat meja yang sudah kusambung dengan pita pink itu bergoyang-goyang. Aku kasihan padanya. Hari pertama sekolah dan seseorang sudah mengacaukan kharismanya. Namun, kuanggap itu pembalasan yang setimpal atas basahnya bajuku gara-gara dia melajukan mobilnya dengan ngawur.
"Ehem." Dia berdehem.
Dia juga mengetukkan ujung pensil di atas meja.
Duh, berisik sekali. Tidak bisakah dia memberiku ketenangan jelang setengah jam lagi sebelum waktu pulang.
Kemudian ....
"Hemm!" Dehemnya keras dan semua anak yang sedang mencatat pelajaran dari Pak Sobari menengok ke belakang. Termasuk aku.
Terus ....
Dia nyengir. Tangannya menempelkan kertas ke dahiku dan menutupi hingga hidungku. Aku ingat, kertas itu berwarna kuning.
"Teori Substitusi," ucapnya sambil bersendekap dan tersenyum jahil.
Kuraih kertas di wajahku dengan satu solasi kaca yang menempel lumayan erat di dahi dan membuat bulu halus di sana sedikit tertarik dan sakit. Kubaca lagi tulisan itu sebelum kubuang menjadi serpihan kertas kecil di dalam bak sampah pojok ruangan.
Teori Substitusi. Hih. Menyebalkan.
Aku tahu itu teori matematika tapi aku sama sekali tak paham tentang itu. Entahlah, mungkin aku masuk pada 90 koma sekian persen dari mereka yang tidak menyukai matematika. Mengingat rumus-rumusnya yang rumit bagaikan berusaha menelan pil pahit karena sakit maag, dan sekarang aku bertemu dengan seseorang yang menyebalkan dengan teeori matematikanya.
Aku bernapas panjang, mengembuskannya kemudian mencoba menetralisir moodku hari itu. Untungnya, tak lama Bapak Sobari masuk, menerangkan sebentar kemudian bel pulang berbunyi. Anak-anak kembali berwajah ceria bagai bunga sedap malam yang mekar pukul tujuh malam, ceria dan bahagia.
Satu masalah selesai, setidaknya untuk hari ini. Begitu aku berdiri sedang merapikan barangku ke dalam tas Michael Learn to Rock, cowok nyebelin itu menarik ujung rambutku.
"Minggir. Lima."
Eh, dia memanggil namaku.
"Mau kukurangi jadi empat, Lo?" lanjutnya sambil tersenyum mengejek. Menyebalkan, kan? Dia?
"Stop. Megang sehelai aja rambutku, ntar jodoh lho sama aku ...." Aku memakai taktik lama saat masih jadi anak SMP di kampung dulu.
Asyik. Dia pasti akan menyerah. Namun, apa yang kuharapkan tak terjadi. Dia malah meraih rambut panjang yang kukuncir belakang itu. Aduh, kalau doaku diamini malaikat seperti kata para Emak di kampung bagaimana? Waduh, aku yang tiba-tiba takut dengannya. Dia kemudian ... menarik rambutku dan ....
"Tali rambutmu sudah mau putus." Dia berada di belakangku sambil berbisik, kemudian menggelung rambutku menjadi sebuah simpul ikatan dan mengikatnya dengan handband yang ada di pergelangan tangannya yang berwarna hitam. Ya Tuhan, hatiku berdebar. Sepertinya ada karnaval di dalam sana dekat jantung, ramai sekali semua bersorak sorai. Hingga ....
"Sebenarnya mau kuikat sama solasi tapi kasihan. Nanti kutumu pada nempel." Dia kemudian pergi keluar kelas meninggalkan aku sendiri yang kebingungan tanpa kata-kata. Sialan. Kenapa aku tadi tersipu dibuatnya, padahal ... aih. Dia membuatku malu.
Aduh, kalau dia kelak jadi suamiku beneran, bagaimana? Teman sekampungku saja ogah kalau dijodohkan sama aku.
Aargh.
***
Berjalan menuju asrama sekolah yang terletak di bangunan sebelah bawah kompleks sekolah elit itu benar-benar menyenangkan. Sepanjang jalan banyak bunga dan pohon-pohon besar seolah berjaga di kanan-kiri jalan menyambut seorang putri. Siapa tebak putri itu?
Aku tertawa sendiri menggelengkan kepala ke kanan dan kiri karena malu.
Tentu saja ... Putrinya itu ... aku.
Sekali-kali narsis, enggak papa, kan? Kemudian aku baru menyadari ikatan rambutnya di kepalaku ternyata begitu erat. Kuraih band di rambut kemudian menariknya perlahan dan membuka simpul yang tadi diikatnya di rambutku.
Untunglah aku tadi pagi keramas jadi ... bau rambutku enggak memalukan. Malah harum. Eh, tapi sial. Dia bilang tadi apa? Kutu?
Waduh. Aku lupa. Kemarin pas dari kampung sepertinya aku masih punya kutu satu. Uwaa.
Kugerakkan kepalaku dan kugosok-gosokkan rambutku hingga memenuhi wajah dan menutupinya. Sambil berteriak-teriak aku takut membayangkan jika kutu itu terlihat olehnya. Ah, tidak.
Hingga ....
Sebuah bola terantuk dan membentur kepalaku. Lumayan sakit tapi ....
"Ya Tuhan. Lima. Kukurangi jadi seperempat, Lo. Kalau mau akting ala orang gila, jangan di sini."
Aku mengintip dari celah rambut yang memenuhi depan wajahku. Aduh, Gusti. Kenapa dia lagi ... dia lagi, sih?
"Kamu buntutin aku, ya?"
Fandi mengambil bola yang jatuh setelah membentur kepalaku lalu memukulkannya pelan ke arah dahiku.
"Hey, Teori Substitusi. Jangan ke-ge-eran. Kau itu menggantikan x dengan nilai yang salah hari ini, tau?" Kemudian dia berlalu pergi sambil berlari ke arah samping lapangan futsal yang ada di dekat gedung ruang guru.
Alamak, malunya aku. Kenapa pas rambutku kayak Nini Lampir? Tersampir ke depan bak kuntilanak. Ah, menyedihkan.
***
Sebalku karena bertemu Fandi sepulang sekolah belum usai. Untung saja teman sekamarku tidak suka berulah. Ketika aku datang dia cuma memandangku dengan pandangan tak menentu, kemudian diam dan menatap buku di pangkuannya.
Anehnya sejak kemarin kami sama-sama membersihkan kamar ini, aku belum sama sekali mengetahui siapa namanya? Setidaknya secara langsung, kalau secara tulisan sih, sudah ada di depan pintu kamar.
Kamar 12
Lima
SenjaSenja. Itu namanya.
Apa salahnya jika aku basa-basi daripada memikirkan si solasi yang menyebalkan itu?
Maka di situlah aku, di dekat ranjangnya dan mengulurkan tangan.
"Maaf, aku Lima. Dan ... kita belum berkenalan, kan?" Tanganku menggantung di udara beberapa saat. Ah, dia menolak mengenalku. Sudahlah, Lima. Orang tak punya seperti kamu di sekolah elit seperti ini, mana ada sih, yang mau kenalan.
Aku hampir berbalik saat kemudian gadis itu menyambut uluran tanganku.
"Senja. Maaf, aku tak pernah mempunyai teman sebelumnya jadi ... aku tak tahu cara berkenalan."
"Biasanya, mereka akan mengacuhkan aku dan menganggapku bagai debu saja." Senja mengakhiri perkenalan dengan mengutip sebuah puisi, kurasa.
Aku menggaruk rambutku kemudian tersenyum ke arahnya dan duduk di ranjangnya.
"Aku tak akan mengacuhkanmu." Dia menatapku saat aku berbicara.
"Aku janji. Kita ... sekamar, kan?" Dia menatapku lagi dengan tanpa berkedip. Kali ini dia menutup buku di pangkuannya.
"Insyaallah. Aku tak bisa menjanjikan apapun lagi."
Anehnya, dia kemudian tersenyum dan ....
"Apa tak pernah ada yang mengatakan bahwa matamu sangat cantik?"
Hah?
"Binar mata di situ ... sangat menampakkan kejujuran. Bagai kejernihan air di kaki pegunungan."
Fix. Aku berharap senja segera berganti malam dan aku tak mendengarkan puisinya yang membuatku berkunang-kunang.
Terima kasih Senja, karena kau satu-satunya orang aneh yang akan bisa berteman denganku.
Yip. Yip. Hore.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Mathematics Man (Lengkap)
General FictionFandi, jago Matematika, tajir dan selalu menjadi idola harus ketemu sama Lima yang kemampuannya di bawah rata-rata. Anehnya, sejak pertama kali Lima duduk di depannya Fandi tak pernah bisa lagi fokus pada rumus matematika kesukaannya. Ternyata, saat...