Sepulangnya Fandi setelah menemuiku sebentar secepat kilat itu, sambil mencangkul tanah di taman Senja aku mengingat-ingat cara menghitung angka yang disertai variabel.
1a+2b+b sama dengan. Ah, hal-hal semacam itu.
Aduh. Aku bisa botak mendadak ini karena tiba-tiba belajar matematika lagi setelah sekian lama. Jika aku bisa menjawab benar pertanyaan Fandi maka kami akan jadian lagi, kalau salah aku akan jadi bulan-bulanan rumusnya. Uwa ... aku harus bagaimana?
Kenapa dia harus datang sih. Padahal aku sudah mulai ikhlas kalau dia sama si Fanny. Eh, tapi bohong deh. Aku menggeleng dan teringat mataku sembab sembari mengendarai mobil ketika pulang. Mendapati cinta pertamamu bersanding dengan yang lain itu menyesakkan. Senja bahkan tidak bisa dengan mudah menenangkanku.
Eh, kemarin dia datang. Menyatakan perasaannya kembali dan membuat pipiku bersemu merah.
Rasanya dipertahankan kembali itu seperti ini, ya? Aih ... senangnya hatiku. Tapi kenapa kok pakai kunci sandi segala. Aduh, rumus apa itu?
Aku kembali mencangkul tanah dengan sebal.
"Kalau mau balik, balik aja. Enggak pakai rumus segala. Aah." Dan tepukan pelan di pundakku mampu mengagetkan.
"Uwa! Astaghfirullah," ucapku sambil terlonjak.
"Aduh, Beb. Kamu sepertinya sakit beneran ya?" Ternyata itu Senja. Dia kemudian memegang dahiku.
"Panas."
"Tentu saja panas. Seharian di luar ruangan kan?" Dia terkikik.
"Kupanggilkan Fandi saja biar bisa mengobati sakitmu yang menghawatirkan ini." Senja mengatakan itu sambil ikutan berjongkok.
"Enggak usah. Doi udah datang barusan."
"Apa?" Bujubune. Teriakan Senja memekakkan telingaku.
"Dia kemari?" Aku mengangguk.
"Ngapain?" Senja memberondong dengan banyak pertanyaan.
"Sama siapa? Sendiri?"
"Doi ngomong apa aja?"
Terakhir ....
"Kalian jadian lagi?"
Aku kemudian menjawab, "Belum. Doi ngasih pertanyaan matematika sebelum kami bisa baekan."
"Hah?" Senja bak aktris lucu dengan ekspresi kagetnya yang lucu. Matanya melotot dan wajah imutnya itu semakin menggemaskan.
***
"Balikan ya balikan aja kali. Jangan pake rumus segala." Senja menggerutu. Malam telah tiba saat aku baru sempat duduk tenang dan menuliskan rumus pertanyaan itu di atas kertas.
Aku berubah seolah menjadi Lao Tze yang sedang menghadapi ribuan tentara negara Api yang hendak menyerang. Mempersiapkan strategi agar bisa menang dalam perang. Halah. He ... he ... he ....
"Sudah. Kalau memang kamu bosan di sini, kencan saja. Aku bisa kok ngerjain sendiri." Senja kemudian mendekat ke wajahku dan menatapku dengan seksama.
"Cie ... yang hatinya bersemi kembali," selorohnya.
"Bahkan, lautan api akan kuseberangi," lanjutnya meledekku.
Kami kemudian tertawa terbahak-bahak. Benar, Senja benar. Hatiku telah bersemi kembali. Kalau boleh memilih aku lebih memilih menyeberangi lautan api daripada rumus matematika kayak begini.
Hiks.
"Baiklah. Semangat! Aku pergi dulu kalau begitu ya, Ciin." Kami sun pipi kanan kiri kemudian Senja pamit keluar rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Mathematics Man (Lengkap)
General FictionFandi, jago Matematika, tajir dan selalu menjadi idola harus ketemu sama Lima yang kemampuannya di bawah rata-rata. Anehnya, sejak pertama kali Lima duduk di depannya Fandi tak pernah bisa lagi fokus pada rumus matematika kesukaannya. Ternyata, saat...