Sin ... Kok Kangen

207 35 1
                                    

Aku tak memberi tahu Fandi terkait mengikuti kegiatan teater. Dua kali tes dan aku dinyatakan masuk dengan penuh pujian. Sudah kubilang kepada Senja, bahwa aku bisa. Memenuhi semua jadwal latihan teater aku terpaksa menolak beberapa kali pelajaran privat matematika dengan Fandi.

Rupanya, hal ini membuat Fandi kelimpungan. Beberapa kali dia menggangguku di kelas dengan menempelkan kertas di punggung, di meja hingga di kepalaku agar aku mau memberi sedikit perhatian kepadanya.

Satu kertasnya kuambil. Tulisannya ....

Sin 90 berapa?

Huaa. Maunya apa coba? Aku enggak paham.

Dia menempel kertas lagi di dekat mejaku.

Tulisannya.

(Sin x) kuadrat ditambah (cos x) kuadrat =

Aku tambah pusing Bambang ....

Menoleh ke arahnya kemudian kukatakan, "to the point aja, Fan. Aku mumet."

"Temui aku di dekat pintu keluar nanti. Jika kau ingin tahu jawabannya."

Aku mengangguk. Baiklah.

Namun, semua ekspektasi dan bayangan kenyataanku ambyar setelahnya.

***

"Penghianat!" Fandi mengucapkan kata itu saat dengan riang aku menghampirinya.

"Lho, kok? Baru ketemu kok bilang penghianat. Memangnya aku menghianatimu dengan apa?"

"Kamu melanggar kode etik. Kan ... selama ingatanku belum kembali kamu harus konsisten menemaniku belajar termasuk ... buat kamu juga." Aku mendelik. Hih, dia belum mau mengaku kepadaku bahwa sebenarnya dia sudah hapal kembali dan menemukan rumus-rumus matematikanya kembali. Awas, ya. Akan kubongkar semuanya.

"Terus, kalau aku melanggar, kau mau apa?" Aku menantang Fandi.

"Tentu saja menghukummu dong." Apa? Fandi keterlaluan. Aku juga akan menuntut hukuman untuknya jika dia berani menghukumku.

"Baik, apa hukumannya?" Aku bertanya dengan lantang ke arahnya. Enggak papa kalau sehabis ini kami bertengkar dan akhirnya berpisah.

Eh, memangnya hubungan kami berdua apa? Kok berpisah. Dih, Lima. Kamu mengacau.

"Temani aku hari ini, tanpa syarat." Fandi kemudian memberikan sebuah jaket kain kaos kepadaku. Tulisannya sebuah rumus yang tadi ditulisnya di kertas yang ditempelkan di mejaku.

"Apa ini, Fan?" Fandi mengerling ke arahku.

"Hadiah." Singkat, padat jawabannya.

"Hadiah apa lagi? Tempo hari kau beri aku bermacam hadiah."

"Tapi, belum pernah kasih jaket, kan?" tanyanya. Kemudian aku mengangguk. Sesungguhnya aku tidak berharap banyak dapat hadiah darinya lagi dan lagi.

"Ya, tapi aku enggak mengharap juga." Aku mendekap jaket itu. Rasanya ... ada yang hangat di sana.

"Tapi aku ingin aja."

"Ta-"

"Sst! Jangan cerewet." Fandi kemudian menarik tasku dan menyuruhku menyusulnya berjalan.

Ketika sampai di dekat mobilnya dia menyuruhku masuk.

"Kemana?" tanyaku?

"Kemana saja." Dia mengerling lagi dan membuatku gemas memandangnya. Aku bisa bisa jatuh cinta jika dia selalu bersikap manis seperti ini.

"Baiklah. Asal jangan aneh-aneh."

"Kamu yang sering aneh-aneh. Aku hanya mewadahi keanehanmu." Fandi ngaco. Aku memukul lengannya pelan dan ... Fandi menatap mataku menembus ke dalam dan ... aku secepatnya menutup mata takut terkena tembakan asmara.

***

"Kamu sudah tahu tentang itu?"

Kami duduk di sebuah danau buatan yang mulai sepi di daerah Cijantung. Kaki kecilku tertarik untuk mencelupkan ke dalam air yang terasa segar itu. Aku berpura-pura cuek setelah mengatakan bahwa aku sudah tahu tentang kemampuannya mengerjakan soal matematika yang sudah kembali.

"Lima. Jangan diam saja. Tadi kau bilang aku sudah sembuh. Jadi kau selama ini sudah tahu?" Fandi mulai panik. Biasanya, jika dia panik maka dia akan melembut dan mulai merayuku.

"Sebetulnya aku ...."

"Enggak usah dibahas sekarang. Aku lagi ingin menikmati segarnya air ini." Aku menunjuk ke arah aliran air yang tenang di depanku.

"Iya, tapi ... kenapa tadi kau menyinggung?"

"Karena kau menghukumku maka itu juga hukuman bagimu." Dan Fandi tertawa terbahak-bahak.

"Ah, jadi ... aku tahu sekarang. Kamu benar-benar licik." Dia mencubit hidungku dengan cepat. Sumpah. Aku berdebar.

"Baiklah. Aku akan menghukum diriku sendiri."

"Jadi ... Kau mengakui bahwa kamu sudah berbohong?" Dia menatapku kemudian semakin mendekat dan ... aku segera mencubit pipinya menyembunyikan gemetar hatiku.

"Kau tahu kalau aku tak pernah bisa berbohong padamu, kan?" Dia menatap lagi. Aduh, Fan. Aku tuh bisa jatuh cinta jika kau seperti ini terus.

"Iya. Aku tahu. Karena itu aku menunggu niat baikmu mengatakan itu agar ... aku tidak terikat lagi denganmu." Wajah Fandi menegang.

"Ma ... maksudnya? Tidak terikat bagaimana?"

"Kau sudah tahu kalau aku sudah ikut kegiatan lain, kan?" Aku sudah tahu kalau kata-kataku akan menyinggungnya. Sengaja.

"Iya, tapi apakah karena itu kau kemudian memintaku berhenti belajar denganmu?"

"Itu bukan belajar, Fan. Aku merasa terikat denganmu."

"Ibarat kata jika aku memilih diantara kamu dan teater maka ...."

"Kau akan memilih teater, kan?" Fandi mencoba menata nada bicaranya meskipun terdengar masih ada kekecewaan di sana.

"Iya." Sebagai jawaban yang jelas atas sikapku. Aku tak ingin ada basa-basi lagi diantara kami.

"Meskipun kau tahu jika aku akan kecewa?" Fandi menanyakan dengan terbata.

"Tapi aku sejak awal memang tidak berminat kepada matematika, Fan."

"Juga kepadaku, kan?" Fandi menjauh perlahan dariku.

"Walaupun kau tahu bahwa aku begitu menyukaimu, tidakkah hatimu hingga detik ini berdebar karenaku?" Fandi menatapku sayu. Aku tahu bahwa dia begitu tulus tapi ... terlalu banyak hal yang kompleks yang membuatku menjauh darinya selama aku masih memiliki waktu untuk menjauhinya.

"Iya. Maaf, Fan. Aku akan rela melepasmu karena kutukan yang kau bilang berasal dariku itu sudah hilang." Kutatap mata Fandi yang meredup binar semangatnya.

"Aku yakin, kita akan menemukan jalan terbaik bagi masing-masing kita." Fandi menolak menatapku.

Dia kemudian mengatakan sesuatu dengan lirih.

"Sin cos tangen. Kok, belum-belum aku sudah kangen?" Fandi kemudian meminta izin pulang dan memintaku bergegas menyusulnya. Kurasa kali ini dia benar-benar merasa terhukum.

Fan ... maafkan aku, ya.

My Mathematics Man (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang