Ses Amal, begitu dia memanggil ibu asrama yang galaknya mengalahkan kepala desaku saat penduduk malas ikut kerja bakti itu melotot sampai-sampai jika itu divisualkan bak adegan dalam seri hero internasional pasti akan ada serupa cahaya laser merah yang keluar dari mata itu dan mampu membuat bolong dinding di depannya.
"Apa, Boss kecil? Pa ... Pawang-"
"Pawang ular! Ya!" Aku berseru mendahului Ses Amal. Ups ikut-ikutan Fandi.
"Maksudnya pawang ular, Bu. Kemarin di dekat lapangan futsal ada binatang serupa yang melata begitu." Kali ini aku yang melotot ke arah Fandi. Tapi, sebentar dulu. Kenapa debar jantungku mengencang?
"Sini!" Menepis debaran itu aku menarik tangan Fandi dan memberikannya cangkul yang tadi dibawa pak bun alias bapak tukang kebun.
"Dia katanya mau berguru sama saya, Bu." Wajah Ses Amal kemudian semakin merah dan marah.
"Lima! Dia ini boss kecil. Kenapa kamu beri cangkul? Mau di depak, kamu?"
Ups! Aku salah lagi.
***
Fandi mengerling ke arahku saat dia menenangkan Ses Amal.
"Bukan begitu, Ses Amal yang cantik. Lima memang mau mengajariku bahwa sistem matematika juga bisa dipakai untuk mencangkul, melempar, bahkan juga memeriksa kedalaman hati." Fandi memberi tanda jempol lewat satu tangannya yang disilangkan ke belakang.
Ya Tuhan. Sejak kapan dia juga memakai matematika untuk membuat orang lain bucin?
"Tapi ... nanti tanganmu bisa kotor, Boss?" Beliau tak rela bossnya mencangkul bersamaku.
"Kotor adalah cara lain menjadi bersih." Senyum Fandi merekah saat mengatakan itu. Ses Amal begitu percaya kemudian dia membiarkan Fandi tetap di kebun bersamaku.
Betapa sebal dan ada sedikit senang juga di hatiku. Namun, aku menampakkan wajah yang sebal.
"Dih, boss kecil." Aku menyindirnya. Bukannya marah atau merajuk, Fandi malah tersenyum menampilkan deretan gigi putih dan ratanya yang benar-benar rapi dan indah membuatku membayangkan kue salju yang nikmat yang biasanya bisa kumakan kala lebaran itupun di rumah Haji Jamari, orang kaya sekampung lereng Sumbing.
"Aduh!" teriakku saat Fandi menyentil dahiku.
"Kok malah ngelamun, Lo. Sini, katanya mau belajar matematika lewat mencangkul." Dia mengangkat cangkul itu dan meletakkannya ke atas pundak.
"Apa aku sudah mirip Bapak Tani?" Aku meringis membayangkan dia jadi pak tani. Petani yang tampan.
"Huum." Aku menjawab sambil mengambil sisa dedaunan yang tadi kucabuti. Ses Amal sudah pergi dan tinggal pandangan anak-anak asrma yang lewat lalu lalang sengaja melihat aktivitas kami.
"Lalu, siapkah kucangkul hatimu agar tumbuh cinta yang subur di sana?" Deg-degan aku dibuatnya. Kubalikkan badan kemudian menatapnya yang entah sejak kapan semakin pintar menbuat rayuan.
"Noh. Kubur noh, di sana. Biar jadi kompos. Nanti ... cintamu atas bunga akan tumbuh semakin besar." Aku menyerahkan sisa dedaunan dan rerumputan ke depan dadanya dan menarik satu lengannya yang tidak memegang cangkul untuk memeluk erat daun-daun itu.
"Sana! Ada lobang, kan? Di situ?" Kutunjukkan lobang galian untuk kompos dan mendorong tubuhnya berjalan ke sana. Fandi nyengir, hendak memprotes tapi enggak jadi.
Dia malah melakukan hal konyol sebaliknya yang membuatku tersenyum malu-malu.
"Baiklah! Nona Lima. Tunggu saja, saat humus muncul dari dedaunan ini, cintaku padamu akan semakin besar dan melebar."
"Berat badan kali, Fan," selorohku yang disambutnya dengan sikap menggemaskan. Dia berjalan sambil bersenandung, dua sisi lain yang belum pernah kutemui dari dirinya selama ini.
Saat itulah Senja melambai ke arahku dan memintaku cepat-cepat menghampiri.
"Bocah kaya itu sedang enggak sakit, kan?"
"Kenapa emangnya Senja?" tanyaku padanya sambil melihat Fandi yang mengubur sisa dedaunan.
"Karena aura jatuh cintanya padamu begitu tulus." Aha! Aku lupa, kalau Senja sama anehnya dengan Fandi.
"Dih."
"Beneran! Dia tampan Bak Romeo dan ... kesetiaannya bak Julius Caesar pada Cleopatra."
Waduh.
"Sayangnya aku ogah. Kenapa semua perumpamaan kamu orangnya bakal mati semua, sih?" Senja terdiam.
"Kamu suka baca sastra? Besok kubawakan novel terbaru yang kupunya." Bukan Senja yang menjawab pertanyaanku tapi Fandi yang sudah ada di sana.
"Tenang. Kau, temannya Lima?" Senja mengangguk dengan cepat.
"Kau juga akan kuberikan gratis," katanya membuat wajah Senja cerah bak mentari pagi.
Kemudian Senja mendekat ke arah Fandi dan mengamati wajahnya lebih seksama.
"Apa pipimu asli?"
Apa?
Fandi mengangguk.
"100 persen."
"Ah, menggemaskan. Wajahmu bak dibentuk dengan sempurna dan ... tampan."
Apa? Senja ... plis deh. Kenapa dia yang jadi ngebucin sih?
"Kalau begitu besok sekalian kutambahi coklat. Kau mau?" Tanpa menunggu lama Senja langsung mengangguk. Aih, mereka ... dua orang yang aneh akhirnya sama-sama berkumpul.
"Tapi kau harus berjanji. Bahwa Lima harus yakin atas cintaku padanya." Fandi mengatakan itu sambil berbisik di dekat Senja tapi suaranya terdengar sepuluh oktaf kerasnya. Hih, sengaja.
Senja kegirangan dan dia menarikan tarian aneh sebelum akhirnya pergi meninggalkan kami.
"Kalian klop, ya?" tanyaku sebal. Eh, dia malah balik memberikan serangan.
"Karena tadi dia sempat bilang teman sekamarmu maka ... kalianlah yang klop!" Fandi menyentuh dahiku dengan ujung telunjuknya lalu mendorongnya sedikit. Dia kemudian terkekeh dan duduk di rerumputan.
"Sini, kita belajar matematika."
"Apa?"
Hari Minggu dan ... ah, ketemu matematika lagi?
"Supaya hatiku ditambah hatimu bisa jadi hati kita berdua."
Hua ... aku celingukan pengen mencari sandal jepit yang bersih biar bisa buat nabok rayuan mautnya.
"Bercanda, Lima. Kau lupa besok ulangan? Dan aku ingin belajar di sini denganmu karena aku sudah terkena kutukan harus belajar denganmu jika tak mau rumus-rumus di kepalaku hilang." Sedikit lega mendengar ucapannya tapi sekaligus agak sedih juga. Kurasa Fandi memang benar-benar jatuh cinta padaku.
"Apakah kau benar-benar percaya kalau tanpaku rumus itu memang menghilang?" Mendengar pertanyaanku Fandi terdiam.
"Benar, Lima. Tapi sebetulnya aku lebih takut sekarang jika ...." Dia mendekat ke arahku dan aku takut dia membuat pengakuan yang aneh.
Oh, Lima ... aku lebih takut kehilanganmu. Aih, membayangkan dia mengatakan itu membuatku takut sekaligus gembira.
"Aku lebih takut jika ... nilai matematikamu kecil, nilai sejarahmu separuh yang lain bahkan nilai ketrampilanmu payah. Mau dapat beasiswa darimana lagi, Lo?"
Ya Tuhan. Ekspektasi bayanganku tidak sama dengan kenyataan. Kata-kata bijak yang barusan diucapkannya kenapa terdengar seperti celaan? Walaupun itu nyata.
"Ya sudah, kamu belajar sendiri saja."
"Stop. Lima! Jangan seperti ini lagi. Kau tahu ... setiap kau merajuk seperti itu, debar jantungku berubah tidak karuan."
Aku memilih menjauh dari Fandi cepat-cepat atau aku akan terserang gejala yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Mathematics Man (Lengkap)
Ficção GeralFandi, jago Matematika, tajir dan selalu menjadi idola harus ketemu sama Lima yang kemampuannya di bawah rata-rata. Anehnya, sejak pertama kali Lima duduk di depannya Fandi tak pernah bisa lagi fokus pada rumus matematika kesukaannya. Ternyata, saat...