Tanpa alat komunikasi di desa dan berbekal coretan spidol merah di kalender dinding pemberian KUD desa aku menunggu kabar baik. Tentang beasiswa, tentang Senja, dan ... tentang Fandi.
Namun, nihil. Hingga lembar di kalender itu habis tak ada satupun kabar baik menghampiri. Kabar baiknya adalah ... aku tidak menjadi pribadi yang sangat berambisi sehingga aku tetap bisa waras menanti kabar itu dan mengisi waktu dengan membuat pertunjukan layar tancap berdenyut lagi di desaku.
Danang, anak Pak Kades yang pernah kutaksir dulu menerima usulanku tanpa syarat dan tanpa penolakan. Ceritanya sih, cowok yang lima tahun di atasku itu pernah membuatku tersipu malu sendiri tapi ... sekarang pesonanya teralihkan dengan wajah Fandi.
Sebagai anggota karang taruna kebanggaan desa, wajib bagiku membantu dalam hal apapun selama aku mampu. Demi membuat suasana desa kembali ramai maka aku mengusulkan adanya pertunjukan layar tancap kembali dalam rapat satu bulan sekali di akhir tahun.
"Saya kira, tahun ini akan lebih baik bagi desa kita. Meskipun sekarang siapa sih yang enggak punya ponsel." Kecuali aku.
"Tapi tak semua kebahagiaan bisa didapatkan di sana." Berlagak jadi anak kuliahan aku menceramahi mereka. Padahal ada Santi, anak perguruan tinggi negeri di Jogja semester empat. Sanusi, anak Universitas Diponegoro Semarang semester akhir dan ada Ahmad, lulusan Al-Azhar Mesir yang membanggakan.
"Lah, tapi ojo film-film saru, Ma. Sing ditonton." Rahadi nyeletuk di belakang pundak Samson, anak juragan kubis. Kami semua tertawa.
"Bukane sing seneng film saru kui siro, Di." Ahmad membuat Rahadi bungkam dan kamu semua tertawa.
Akhirnya diputuskan. Pertunjukan layar tancap itu akan digelar sebulan sekali di pelataran balai desa. Semua boleh menonton gratis tanpa dipungut biaya dan pedagang malam boleh ikut meramaikan.
Apa yang akan kami tonton? Mereka menyerahkan padaku. Beruntunglah aku pernah dicekoki virus film bermutu oleh Fandi. Mulai dari Pasir Berbisik, My Name is Khan, hingga Keluarga Cemara yang melegenda. Walaupun ... aku yakin tak semuanya akan senang dengan apa yang kutayangkan tapi melihat keramaian di halaman desa tentu bukan sesuatu hal yang layak dilewatkan.
Tak sabar menunggu bulan pertama, aku berusaha menyiapkan semuanya semaksimal mungkin. Dibantu oleh Santi dan teman-teman kami menyiapkan kain putih mulus tanpa jerawat dan selulit. Maksudnya, kain harus mulus tanpa lipatan agar kualitas gambar bisa apik. Suara soundsystem juga harus bersih agar tidak mirip acara hajatan. Plus, kita harus membaca cuaca. Karena bulan pertama penayangan angin Muson Barat sudah berembus membawa curah hujan datang menyapa hari-hari kami.
Jika angin barat membawa musim penghujan maka angin timur adalah kebalikannya. Mereka membawa kemarau dan membuat kering kulit-kulit kami.
***
Bulan pertama itu akhirnya tiba. Selain menata panggung, Danang juga mengundang Kang Sarip asli Tambi untuk mengawal peredaran awan. Secara logika, seperti apa yang selalu dikatakan Fandi kepadaku bahwa tak ada manusia yang bisa memberikan perintah kepada alam. Dalam hitungan matematis satu ditambah satu harus dua, tetapi dalam rumus keluarga besar satu ditambah satu bisa menjadi sepuluh, dan dalam rumus keluarga berencana satu ditambah satu harus bisa mentok menambah dua anak saja.
Aku tersenyum mengingat guyonan Fandi saat itu. Melihatku yang senyum sendiri Kang Sarip mendekat.
"Bahkan aku bisa mengusir jin itu dari jiwamu." Dia berkata sambil memelintir kumis kucingnya dan menyeringai. Aku mendekap buku tamu yang akan kutaruh di meja resepsionis, sebagai perisai saja. Takut tiba-tiba Kang Sarip menarik paksa Jin dalam tubuhku. Aku rela jika jin ini melekat di tubuhku asal dia membawakan kenangan Fandi dalam anganku.
Halah. Kenapa aku jadi ikut-ikutan Senja ya? Aku kemudian menatap Kang Sarip dan mencoba menerka apakah dia ini hanya pawang hujan abal-abal?
Namun, ada sinar tak bisa diungkapkan dengan kata-kata yang kupercayai bahwa Kang Sarip memiliki laku tirakat yang mungkin memang bisa menundukkan alam sementara. Percayalah, ada seseorang seperti itu di dunia ini jika kita berpikir dengan hati dan tidak melulu dengan logika.
"Aih, Kang Sarip. Alih-alih ngusir jinku, mending suruh awan bawa cowok cakep kemari. Biar makin ramai lah suasana pertunjukan layar tancap malam ini."
Kang Sarip tiba-tiba melakukan gerakan menepuk kedua tangan. Duduk bersila kemudian menutup mata dan merapal mantra. Entah apa.
Sebelum aku sempat meninggalkannya dia bergumam.
"Seseorang yang bernama Senja. Akan datang."
Aku terkejut. Kang Sarip kemudian membuka mata, bangun dan nggeloyor pergi. Dia sempat bilang bahwa awan sedang menantangnya adu duel di atas bukit.
Aku mengangguk. Sepertinya kapan-kapan lakon Kang Sarip bisa kutuliskan dan kukirimkan ke teater Lurik.
Berbicara tentang buku tamu, berbekal pengalamanku dulu saat menonton layar tancap dan terhalang mereka yang bertubuh tinggi maka ... aku mengatur tempat duduk. Nah, buku tamu ini untuk memetakan warga kampung yang beraneka ragam agar bisa dipersilahkan duduk sesuai tinggi masing-masing. Tujuannya, yang depan bisa duduk dengan nyaman, yang belakangan datang juga tidak terhalang oleh mereka yang tak biasa tinggi badannya dan ... sebagai sesama warga desa kami paham dan bisa memperkirakan berapa tinggi mereka.
Semua rencana berhasil. Semua penonton sudah diatur sedemikian rupa, pedagang kacang rebus laris, penjual singkong goreng sumringah dan ... penjual pulsa sementara harus mengalah. Selama satu bulan sekali kami memutuskan hidup tanpa pulsa dan menikmati malam penayangan layar tancap tanpa dering ponsel di kampung. Kecuali, mereka yang memang tidak datang ke halaman balai desa.
Tepat saat lampu balai desa di matikan, wajah Shakhrukh Khan membuat terpana kami semua dengan film fenomenalnya My Name is Khan sebagai pembuka film pertama.
Aku menghabiskan satu tisu saat adegan Mandira menyalahpahami Khan. Bagaimana bisa Khan yang baik itu dianggap radikal? Bagaimana bisa ketidaksukaan tertentu membawa kebencian secara general. Bagaimana bisa, ketidakpercayaan mampu meruntuhkan keharmonisan keluarga yang sudah diikat dengan janji suci antara dia dan Khan.
Bagaimana dan bagaimana ... pokoknya tisuku habis menonton keluguan dan keteguhan Mr. Khan. Kecerdasannya mengingatkanku juga kepada Fandi. Itu yang kemudian membuatku semakin banjir air mata.
Hampir dua tahun lewat aku tak bertemu dengannya. Namun, malam itu angin muson barat yang berembus datang membawakan kabar gembira.
Tepat saat lampu dinyalakan kembali aku melihat seseorang masih terisak sambil berdiri di dekat gapura balai desa. Isakannya begitu lebay dan akan membuat ilfil siapa saja.
Dia, masih sama nyelenehnya dengan dulu. Senja ... gadis itu akhirnya datang ke desaku dengan penampilan barunya yang luar biasa.
Namun, kegilaannya juga bertambah konyolnya.
"Apa kabar, Lima. I miss yuu." Satu kata darinya mampu mengambil separuh rindu yang sudah kutahan sekian lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Mathematics Man (Lengkap)
General FictionFandi, jago Matematika, tajir dan selalu menjadi idola harus ketemu sama Lima yang kemampuannya di bawah rata-rata. Anehnya, sejak pertama kali Lima duduk di depannya Fandi tak pernah bisa lagi fokus pada rumus matematika kesukaannya. Ternyata, saat...