Putus Sementara

235 38 4
                                    

Semenjak ketidaksepakatan kami kemarin, aku dan Fandi agak jaga jarak. Biasanya dia akan usil menepuk pundakku dan menempel kertas di sana, kali ini dia hanya diam saja. Bahkan, dia memilih selalu masuk ke dalam kelas ketika bel berbunyi. Beberapa kali kudapati kalau lengan bajunya sedikit basah kemudian aku juga tahu dari penjaga sekolah bahwa Fandi lebih sering melakukan futsal sendirian sebelum masuk kelas.

Aku bahagia karena sekarang dia sudah bisa mengerjakan semua rumus matematika tanpa perlu mengeluh terkena kutukan lupa dariku. Pak Joko sudah tak risau anak emasnya bakal kehilangan mantra Phytagoras. Bahkan selama aku sibuk melatih kemampuan teatrikalku, dia sibuk membagi waktu untuk persiapan olimpiade Matematika antar sekolah elit di Jakarta. Anehnya, aku rindu semua rumus cinta yang diselipkannya kepadaku lewat rumus-rumus soal yang harus kukerjakan.

Masih ada satu rumus lagi yang belum kupecahkan.

Terlalu lelet otakku? Mungkin. Tapi aku lebih senang berlakon sekarang.

Hingga di ujung semester genap, pertunjukan teatrikal  kelompok teater kami siap dihelat.

Senja terpilih menjadi lakon Dewi Shinta dalam pagelaran Shinta mencari Cinta, sementara aku mendapat peran sebagai Dewi Arimbi, dewi penyubur Alam, istri dari Bima yang akan mementaskan lakon Werkudara pada hari berikutnya.

Senja, memberikan penampilan ciamik yang mampu memukau semua senior serta pengajar teater kami. Gadis culun dan rada gila dengan segala puisinya itu mampu menampilkan dewi Shinta yang anggun serta keteguhannya dalam mempertahankan harga diri.

Senja, bahkan memberikan garansi kepadaku, jika pada hari kedua pementasan aku kalah main cantik dibandingkan dia maka ... dia akan meminta tiga permintaan kepadaku. Sebaliknya, hal yang sama juga berlaku untukku.

Menyanggupi permintaannya yang ajaib itu maka ... aku pun terpaksa melatih ekstra keras kemampuanku.

Aku ... tak ingin kalah darinya karena aku takut tak bisa memberikan permintaannya. Siapakah aku ini? Peraih beasiswa saja kok berani macam-macam. Iya, kan?

Sungguh, jangan salahkan aku jika menjadi seseorang dengan mental yang takut akan perbedaan kasta. Nyatanya, manusia tak berpunya seringkali merasa kecil hati jika berhadapan dengan mereka yang kaya raya.

"Jangan lupa, ya. Lima! Kutunggu kekalahanmu." Senja menggodaku sambil mengibaskan rambut palsunya ala perempuan India yang sudah dijadikan kostum untuknya.

"Baiklah. Kamu tunggu saja. Jangan sampai kamu dimakan sama musuh di atas panggung." Kami tergelak sambil memegangi perut kami.

Kemudian, pertanyaannya membuatku agak berpikir tak tenang.

"Kamu sudah mengundang Fandi?"

***

Kala itu ....

"Kita putus. Sementara ...." ucapnya saat kami berselisih paham.

Wew. Memangnya kami pernah jadian?

"Kapan kita jadian?" tanyaku kepada Fandi yang wajahnya masih sebal.

"Sudah ditautkan sama garis hubung dalam matriks." Fandi enteng sekali menjawab.

"Maksudnya?"

"Aku ingin menjadi garis Y dan kamu garis X yang akan bersatu di tengah-tengah titik pertemuan gradient."

Hah? Sungguh aku tak bisa memahami. Intinya bersatu, kan?

"Tapi, kapan aku menyanggupi menjadi kekasihmu?"

Fandi mendekat kemudian mendekat ke arahku terus menowel dahiku.

"Kamu kan selalu tahu bahwa aku mencinta dan memujamu. Jadi, aku akan menunggu jika kamu memang belum membuka hati untukku." Fandi terdiam sebentar.

"Jadi ... kita putus sebentar."

Ya Tuhan. Lucu sekali.

Tanpa aku menduga, sekarang, saat aku mengingat pertemuan kami terakhir kali tawaku tersungging di pipi. Kurasa wajahku juga bersemu merah. Dan ... satu semester sudah kami tak bersapa dan semua itu ternyata membuatku rindu.

***

"Kamu sudah mengundang Fandi?" Senja menanyakan itu dengan tanpa berdosa. Aku tahu dia berusaha menjatuhkan mentalku karena pertarungan kami yang aneh. Tapi, dia benar. Coach Samu memberiku satu undangan khusus yang boleh diberikan kepada siapapun. Namun, aku belum memberikan undangan itu kepada siapapun.

Pertunjukan Senja berlangsung dengan sangat baik. Semua orang menangis saat Senja melakukan akting menjatuhkan diri di atas api demi menunjukkan kesetiaannya. Wanita zaman dulu, kenapa selalu mengenaskan nasibnya? Belum ada emansipasi dan semua akan menjadi kesalahan wanita lagi dan lagi.

Akting Senja begitu mempesona. Aku mengakui bahwa dia lawan yang sangat tangguh. Di dalam kamar asrama kami akan bertarung memperebutkan guling tapi di panggung teater kami akan memperebutkan gengsi. Bagaimanapun, aku suka jika memiliki lawan tangguh seperti Senja. Dengan itu akan memacu semangat dan mental tak menyerahku.

Namun, pertanyaannya adalah ... siapakah yang ingin aku tunjukkan kemampuanku? Kedua orang tua begitu jauh, teman-teman sekelas hanya beberapa yang menganggapku mampu sementara yang lain masih menganggapku panjat sosial karena dekat dengan Fandi. Sedangkan Fandi sendiri ....

"Aku tak suka jika kau berakting di atas panggung?" katanya kala itu.

"Kenapa?"

"Karena kau mempertontonkan kepura-puraan." Sebuah jawaban yang membuatku mengernyitkan dahi.

"Fan, teater bukan ilmu logika yang harus masuk akal. Atau ilmu matematika yang harus pasti jawabannya. Tapi teater itu menyuguhkan hiburan agar otak kita stabil antara kanan dan kiri."

"Dih, tapi kebanyakan semua kepura-puraan itu menjelma dalam kehidupan mereka. Buktinya kau. Sekarang. Kau berpura-pura tetap tidak mencintaiku, kan?"

"Ya, sudah. Kalau begitu aku sepakat. Kita putus sementara!" Kemudian aku meninggalkannya sendiri, hingga waktu berganti dan menjadi jarak diantara kami.

My Mathematics Man (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang