Sin Cos Tangen

227 38 3
                                    

Selama menunggu pembukaan pendaftaran teater keren milik sekolah yang bernama Lurik, aku diam-diam mendatangi aula pertunjukan hampir setiap sore setelah mengerjakan tugas matematika bersama Fandi. Iya, aku terpaksa menjadi dekat dengan Fandi karena ... dia sangat bisa diandalkan dalam mengerjakan matematika dan soal logika lainnya. Fandi selalu memperlakukanku dengan baik.

Adakalanya dia menungguku di dekat ruang les menjahit yang kuikuti dengan hanya lima peminat saja. Siapa sih yang mau jadi penjahit kecuali memang berbakat dalam mendesain pakaian, sementara aku hanya ingin menghindari Fandi agar tidak terlalu banyak menghabiskan waktu dengannya. Menghabiskan sebentar waktu dengannya saja hatiku sudah deg-degan tak menentu apalagi ... kalau lama. Biasanya dia akan membawakan satu cangkir es teh campur daun mint kesukaanku di tangannya, ditambah senyuman manis di wajahnya, ah ... percayalah. Banyak gadis lain akan antri untuk menggantikanku menerima perlakuan ini.

Lain waktu, Fandi akan membawaku ke lapangan futsal favoritnya kemudian menyuruhku menendang bola ke arahnya. Dia berperan sebagai penjaga gawang. Satu gol saja yang bisa kumasukkan maka ... dia akan menggantikanku mengerjakan semua PR yang ada. Menarik, sih. Sayangnya ... aku gagal terus. Penaltinya ... aku harus menjawab satu pertanyaan matematika setiap gagal memasukkan bola.

Hingga tak terasa ... kami sudah memasuki kelas kedua. Berkat intensitas pelajaran privat matematika dengan cowok terhits satu sekolah ini aku berhasil mempertahankan beasiswaku dengan nilai mentok di pelajaran matematika dengan nilai tujuh puluh lima. Tidak jelek sebenarnya mengingat aku belajar dengan berdarah-darah eh ... tidak juga sih, sebaliknya Fandi memperlakukanku dengan sangat manis, berusaha menemani seseorang mengembalikan mantra rumusnya kembali agar tidak kehilangan kemampuan jelas beban tersendiri karena aku merasa bersalah telah menyumpahinya sengsara di awal perjumpaan kami.

Satu-satunya hal membahagiakan sekarang adalah ... Fandi sudah mulai bisa mengerjakan soal tanpaku. Aku sedang menunggu tes masuk teater saat Pak Joko memberikan hasil tugas Fandi sebagai persiapan mengikuti olimpiade Matematika. Ketika kutanyakan kapankah dia mengerjakan tugas itu, Pak Joko mengatakan bahwa tugas itu dikerjakannya baru saja, karena satu dan lain hal beliau tidak bisa langsung memberikan nilai. Nah, karena beliau bertemu denganku maka Pak Joko memintaku memberikannya kepada Fandi.

Satu hal yang kurasakan setelah menerima hasil penilaian itu, aku merasa tertipu. Nilai Fandi sempurna tak ada cela. Sejak kapan dia mendapat kemampuannya kembali? Mungkinkah dia ... sengaja menipuku? Aku mencoba menepis kecurigaan yang menggelitik di bawah kakiku. Rasanya ingin sekali melihat wajah Fandi dan menelisik kebenaran di matanya. Hingga, aku tak sadar kalau suara panggilan di sebut atas namaku.

"Lima!" Namaku di sebut, Senja menyemangatiku dan kusembunyikan hasil kerja Fandi di dalam tas Michael Learn to Rock milikku.

Urusan Fandi ... aku yakin bisa menunggu. Sedangkan teater adalah ... mimpiku yang ingin kuwujudkan menjadi nyata.

***

Aku sudah pernah bahkan sering mencuri masuk ke aula pertunjukan jadi aku sudah tidak takjub dan terbengong saat melihat keindahan bagian dalamnya. Kali ini, perhatianku fokus pada tiga juri di depan panggung. Ada Mr. Jay penulis skenario kenamaan, Mas Bambanglipuro artis termahal sekarang dan Mbak Joshua salah satu pengurus dan pelakon kawakan teater Lurik. Meskipun hanya teater sekolah tapi Lurik berhasil menyabet banyak penghargaan di luaran. Tak heran, semua pendukungnya adalah bintang-bintang TOP yang bersinar setelah berlakon di gedung pertunjukan ini.

Mereka menyuruhku menangis sebagai salah satu adegan pembuka.

Oh, tidak ... aku lupa kapan terakhir kali aku menangis. Aku tak yakin bisa sukses dengan adegan ini. Hingga ... bayangan itu berkelebat di otakku saat Ibu dihina Juragan Siti di kampung dulu.

Kala itu ... juragan Siti menuduh Ibu menyembunyikan daun bawang seikat hasil panen di ladangnya. Sebagai seseorang yang jujur Ibu menolak mengakui kejahatan yang tidak dilakukannya. Ibu bersikukuh, beliau memberontak dan ... Juragan Siti menarik ujung belakang kerudungnya dan membuat ibu terjerembab di tanah berlumpur.

Aku menangis di dekat sadel sepeda butut milik ibu sambil merutuki nasib kenapa mereka yang berkuasa selalu harus bersikap semena-mena.

"Dalam hitungan mundur, kau siap beraksi?" Mbak Joshua menanyakan hal itu kepadaku. Cantik wajahnya membuatku bersemangat karena auranya memancarkan kebahagiaan.

"Siap!" teriakku sebagai sebuah jawaban. Dan ... mengalirlah anak sungai dari celah mataku, bayang-bayang rinduku kepada ibu menari di pelupuk mata. Sudah berapa kali liburan aku tak pulang ke kampung halaman karena tak memiliki biaya.

Ibu ... Lima rindu ....

***

Aku ternyata bisa menangis. Bayangan kesedihan sewaktu di kampung masih menyisakan luka di dada saat Ibu diperlakukan tidak sewajarnya oleh mereka para juragan wanita kaya raya yang terhormat. Di kampung, juga mengalami kesenjangan yang nyata. Beberapa bahkan saling mengejek dengan terbuka. Karena itu aku tak menjadikan kota dan kampung sebagai sebuah perbedaan dalam hal akhlak. Sepertinya dimanapun sekarang sama saja. Akhlak terpuji kebanyakan hanya berlaku sesama komunitas.

Semua tangisku sekarang kutujukan untuk ibu, untuk semua peluh dan keringatnya dalam memberiku pelajaran berharga. Menyemangati sekolahku, bahkan memberikan aku bibit-bibit mimpi yang disemainya dengan subur di bawah kalbuku.

"Jika bukan dengan pendidikan, kamu mau make apa supaya terlihat berbeda di dunia ini?"

"Kita bukan kaum berpunya, Lima. Maka, cerdaslah di sekolah, gemilanglah di pekerjaan dan welas asihlah kepada sesama manusia."

Ibu ... Lima rindu.

My Mathematics Man (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang