Kamu Pawangku ....

304 45 7
                                    

Fandi begitu aneh. Masak iya dia memberi ponsel mahal kepadaku? Harusnya sih, dia bilang kalau mau membelikan ponsel seharga belasan juta ini. Hitung-hitung aku bisa minta mentahnya buat buka usaha di kampung.

Ups. Diberi kok, nawar. Dasar. Menggemaskan sebenarnya, aku tak pernah menyangka dia bakal bertindak sejauh ini.

Eh, tapi ... aku harus mengembalikan ponsel mahal ini kepada Fandi. Aku harus tetap mensucikan hatiku agar tidak dipenuhi dengan keinginan korupsi atau suap menyuap atau niatan ingin mendapatkan sesuatu secara instan. Kecuali, dulu sekali saat Mamak Sapini tetangga kampungku memintaku diam saat melihat celana dalam miliknya yang bergambar kupu-kupu terbang dari jemurannya. Dia menyuapku dengan permen lolipoli besar hasil beli di Karnaval supaya aku tutup mulut dan tidak mengadukan kepada Mbak Sali, perempuan tercantik di kampungku bahwa celana dalamnya ada di jemuran Mamak Sapini dan sudah diakui sebagai miliknya. Rumah Mak Sapini dua kilometer jaraknya dari rumahnya.

Sumpah! Setelah suap lolipoli itu aku bertaubat dan tak mau lagi menerima suapan. Ponsel dari Fandi ini jangan sampai menodai tulusnya hatiku.

Namun, sayang. Jika ponsel ini kukembalikan terus dia enggak butuh, terus ... dibuang? Ah, enggak bisa seperti ini. Mending kuterima saja. Lumayan, kan. Aku jadi bisa nonton yountume sendiri tanpa harus nebeng punya Senja. Aduh. Lima. Buang pikiran kotor itu jauh-jauh.

Ngomong-ngomong tentang Senja ... kurasa dia harus kumintai saran. Orang-orang seperti dia biasanya memiliki pemikiran aneh tapi bisa juga bijak bestari.

Baiklah ... aku akan menunggu keputusan dari Senja.

Hingga ....

"Tukeran sama aku boleh?" Dengan tidak berbelas kasihan dia menawarkan ponselnya yang sudah banyak bopeng di pojokan kepadaku.

"Astaghfirullah. Senja. Kuajak kau memikirkan solusi tapi malah ngajak barter."

"Dih, katanya tadi ... enggak mau?" Senja mendekati ponsel itu dan meraba-raba kardusnya.

"Baunya masih gress." Aku mengangguk. Terang saja, baru dikasih Fandi.

"Kita seperti dibawa ke negeri yang jauh dengan aroma dataran tinggi yang menyejukkan." Aku terbawa ucapannya dan membayangkan diriku sedang naik ke puncak Sumbing dan menikmati surga dari atas puncaknya.

Aish. Kubuang jauh-jauh bayangan itu, kuberi tanda silang dalam bayanganku. Ponsel ini wajib dikembalikan. Jangan terlena.

"Bangun, woiy. Kamu hampir membuatku masuk ke dalam dunia hayalan." Aku memprotes ucapan Senja yang puitis dan dia terkekeh.

"Tenang, pren. Kita bisa berhayal itu tandanya masih waras. Karena ... memanfaatkan pemberian Tuhan dengan sebaik-baiknya."

Yup. Kuiyakan saja. Duel analisis aneh sama orang aneh maka hasilnya aku yang akan ikut aneh.

"Ada benarnya juga. Eh, balik lagi. Ponsel ini bagaimana?"

Dia menutup matanya kemudian membuka laptopnya yang girlie covernya. Mengetik nama ponsel itu di laptop dan embah Gugil memberikan sederet informasi.

"Keren. Speknya mantap Ciin. Kamu pakai aja." Dia menutup laptopnya lalu naik ke ranjangnya dan mulai semedi jelang tidur. Tak lama kemudian, dia sudah mendengkur halus dan terbuai ke alam mimpi.

Saat itulah aku memberanikan diri membuka ponsel itu yang sudah tidak tersegel. Ketika membaca cara penggunaan dan pengoperasian akhirnya aku berhasil menyalakan ponsel mahal itu.

Terkejutlah aku saat kudapat ponsel itu memakai latar belakang foto Fandi yang tampan. Alamak. Hampir saja jantungku copot karena dipandang cowok ganteng. Aih. Sadar, Lima ... kamu jangan mau diperdaya olehnya.

Siap!

***

Aku masih belum mahir mengoperasikan tapi kulihat ponsel itu langsung memberikan pesan masuk ke dalam inbox watsapp yang sudah terpasang.

Jariku menyentuh layar itu kemudian mengarah ke icon watsap dan membukanya.

Auh. Fandi ... kenapa dia lagi, dia lagi ....

Kali ini gaya coolnya memegang bola menjadi latar belakang di wall watsapp. Duh, Biyung. Bisa jatuh cinta beneran nih, aku dibuatnya.

Satu pesannya kemudian kubuka.

Tulisannya ....

[128√e980 = ....]

[Kamu tahu jawabannya?] Aduh, ini Fandi yang sedang oleng atau aku yang songong enggak ketulungan. Mengalikan bilangan ganjil aja sering salah, ini malah ... diberikan pertanyaan tentang akar bilangan? Modyar.

Ketika hendak kubalas, dia mengirim pesan lagi.

[Enggak usah dijawab]

[Nunggu kamu pintar dulu, ya]

[Ketemu besok] dia melanjutkan mengetik kemudian dia urungkan.

Kurasa dia memang lupa. Besok kan, Minggu dan ... tidak seharusnya kita bertemu. Asyik.

Biarkan saja. Besok dia akan tahu apa jawaban pertanyaannya.

Sekedar informasi, sudah tiga hari ini ponsel itu masih di tanganku dan entahlah, sepertinya dia benar-benar menolak untuk menerima ponsel itu kembali.

***

Aku memandang jendela selepas subuh. Setelah salat dua rakaat dan mendoakan kedua orang tua aku melakukan gerakan senam sederhana di dekat jendela. Sementara Senja masih terkantuk-kantuk, aku tak bisa lagi menutup mata.

Sudah menjadi kebiasaan setiap Minggu pagiku di asrama, aku akan membantu Pak Samat, tukang kebun asrama untuk membersihkan beberapa daun dan ranting pohon yang telah mati. Pada awalnya, Pak Samat menolak dan anak-anak mencibirku, karena ... mereka menganggapku masih bermental kere meskipun sudah hidup di kota.

Namun, niatku sederhana. Aku bukan kutu buku yang bisa melahap buku dalam sekian hitungan, kaya juga enggak sehingga bisa jalan-jalan berlibur sebentar dengan mereka dan terakhir, aku paling tidak bisa tidur selepas subuh memanggil. Saat mereka, para noni kaya raya masih terlelap aku akan lebih senang menyibukkan diri membantu Pak Samat. Ketika kuceritakan niatku serta latar belakang kehidupanku di kampung, akhirnya Pak Samat setuju. Ibu asrama juga setuju selama aku tidak meminta upah. Dia paling tahu aku orang yang pintar tawar menawar.

Hari Minggu itu kemudian tidak setenang biasanya. Kudengar banyak keramaian menyeruak dari gedung asrama putri tempatku bernaung. Pun, suara sorak sorai para gadis yang seolah kedatangan artis dadakan.

Anehnya, keramaian itu dilegalkan oleh ibu asrama. Dia tampak berjalan dengan tegap dan jumawa sambil membawa seseorang di belakangnya. Sementara itu ... anak-anak penghuni asrama yang lain ikut berkerumun di belakang laki-laki itu.

Stop. Laki-laki?

Aku dan Pak Samat saling pandang. Kelamaan di bawah sinar matahari menjadikan pandangan ke arah lain jadi agak gelap. Aku tak tahu itu siapa hingga ... kukenali suaranya.

"Hai, Lima. Apa kabar?" Fandi menyapaku.

"Fa ... Fa ... Fandi?"

"Jangan kaget begitu sayang. Nak Fandi ini anak donatur terbesar asrama. Dia pawang kita semua," katanya memuji Fandi yang menjadikan dia bisa masuk sebagai tamu istimewa.

"Tapi, ada yang lebih istimewa lagi, Ses Amal." Apa? Fandi memanggil ibu asrama siapa? Ses Amal? Hampir saja aku terkikik jika ucapan Fandi selanjutnya tidak terucap.

Dia mendekat ke arahku kemudian mengucapkan sesuatu dengan lantang.

"Kalau aku pawang kalian, maka ... dialah pawangku."

"Dia ... pawang hatiku." Fandi mengatakan itu dengan ekspresi bahagia dan rasanya ....

Aku mau pingsan saja.

My Mathematics Man (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang