Aku berdiri di sini sekarang, di depan kelas Fandi. Sejak kami memutuskan pisah sementara dia memilih mengikuti kelas akselerasi. Artinya ... dia akan meninggalkanku lebih awal. Di saat aku tidak memiliki bakat matematika dan tanpanya aku memang harus bekerja keras. Arimbi menjadi tiketku untuk diakui.
Tanganku berkeringat, memberikan tiket itu kepada Fandi seperti membawa domba masuk ke kandang serigala. Sempat berpikir beberapa kali akhirnya ... aku berpikir apa harus kutinggalkan saja?
Baiklah. Satu ... dua ... tiga!
Fix. Kutinggalkan undangan itu di depan kelas. Silahkan, bagi mereka yang berkenan untuk mengambil.
Baru berjalan beberapa langkah, hatiku seperti tak rela.
Aduh, bukan ini yang kuinginkan. Bagaimanapun Fandi telah menjadi sosok penting di dekatku beberapa bulan ini. Aku berbalik dan segera mengambil lagi undangan itu. Saat tanganku hendak mencapainya sebuah kaki menginjak ujung undangan.
Geram rasa hatiku. Tak bisakah dia bersopan-santun?
Aku mendongak hendak marah saat tatapan teduh mata itu menghinpotisku seakan memberi perisai di sekitarku.
"Fan ... Fandi." Aku hampir menggigil ketakutan memanggil nama itu.
Dia berjongkok, mengambil undangan itu dan membaca. Kemudian bertanya.
"Untukku?" Dia menatapku acuh tak acuh.
"Iya. Datanglah." Aku bersemangat menjawab pertanyaannya, tak ingin dianggap setengah hati memberikan undangan itu. Wajahku bersemu merah, napasku kuatur sedemikian rupa agar dia mau melihat kesungguhan dariku.
"Enggak minat." Fandi mengambil undangan itu dan hampir membuangnya ke dalam bak sampah saat aku berhasil mencegahnya.
Tanganku memegang tangannya dan mengambil undangan itu dengan paksa. Ada air mata yang kutahan, sebegitu tidak berharganya diriku sekarang di matanya?
"Kau bisa menolak baik-baik. Tak perlu seperti ini."
"Oh, jadi sekarang salahku? Bukankah aku bilang bahwa aku tak suka dengan mereka yang mempertontonkan kepura-puraan?" Mata Fandi menatapku nyalang seperti hendak menerkam.
"Jadi, kau menganggapku hanya sebatas alat pendongkrak memorimu begitu?" Suaraku menggema. Sekeliling kami mulai ramai.
"Kau anggap aku hanya sebuah pendorong agar ingatanmu atas rumus-rumus itu kembali? Hah!" Dia tak tahu kalau orang gunung seperti aku ini juga pandai berteriak.
"Lalu apakah itu bukan pura-pura juga?" Dadaku berdesir karena marah. Rasanya aku ingin menerkam semua yang ada di depanku.
Kurobek undangan itu dan memutuskan game over.
"Dengerin ya Fandi. Jangan harap hanya orang kaya yang bisa semena-mena. Aku juga bisa bersikap sombong." Fandi hanya diam sambil menatapku.
"Kita putus hubungan." Aku berlari meninggalkannya. Dia termangu di tempatnya.
Kemudian aku kembali lagi.
"Putus hubungan selamanya. Tidak hanya sementara. Selesai! Paham?" Hanya untuk memastikan saja dan menekankan bahwa ucapanku serius. Walaupun ... dadaku sesak.
Ternyata begini ini rasanya tertolak. Rasanya begini ini rasanya tidak diharapkan. Rasanya ... rasanya ... semua perlakuan manisnya dulu hilang bagai debu di Padang Pasir. Sangat cepat ... sangat tak terkejar.
Aku terus berlari dan berlari. Menjadi Arimbi yang menahan diri dari membunuh lawan yang telah menghilangkan nyawa ayahnya ternyata berat. Dia malah menikahi lelaki itu. Aku sebal. Aku merasa seharusnya Arimbi tak seperti itu. Karena itu ... menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Mathematics Man (Lengkap)
Ficción GeneralFandi, jago Matematika, tajir dan selalu menjadi idola harus ketemu sama Lima yang kemampuannya di bawah rata-rata. Anehnya, sejak pertama kali Lima duduk di depannya Fandi tak pernah bisa lagi fokus pada rumus matematika kesukaannya. Ternyata, saat...