Syam mendekat ke arah Fandi yang masih berdiri di ambang pintu. Dia menyalami Fandi dan mempersilahkannya masuk, sementara aku dan Senja saling melempar pandang.
Aku menggeleng. Senja menangkupkan tangan. Isyarat matanya mengatakan bahwa dia akan meninggalkan kami berdua. Aku memberikan dua kepal kepadanya, dia menangkupkan kedua tangannya lagi.
Ah, baiklah. Sebenarnya bukan karena Fandi alasannya pengen cepat pergi, mereka berdua ingin segera sayang-sayangan.
Aku mengangguk. Akhirnya ....
"Hai, Fan. Apa kabar?" Senja kemudian menghampiri Fandi dan saling bersalaman.
"Baik, Nja. Kamu baik?" Senja mengangguk dan membentuk isyarat oke dengan jarinya.
"Jadi, kalian benar-benar teman SMA?" Kali ini Syam ikut nimbrung dan Senja mengangguk.
"Iya, Beb. Doi itu temanku pas SMA tapi ... Fandi ini-"
"Hai, Fan. Apa kabar?" Aku sengaja memutus ucapan Senja. Aku tahu dia mau mengatakan apa.
"Aku ... baik. Kau?" Sumpah. Nada bicara kami canggung banget.
"Ehm, kita ngobrol di luar aja, yuk. Fan. Dua sejoli ini mau pergi." Entah apa yang merasukiku, tak enak jika Senja bercerita banyak hal tentang kami dulu di depan Syam membuatku refleks memegang lengan Fandi dan menariknya pergi.
Tepat saat kami sudah berjalan sedikit ke arah luar, Fandi berhenti dan pegangan tanganku atas lengannya terlepas.
"M ... Maaf. Aku tak bermaksud."
"Aku tahu." Dih, dia berubah sangar.
"Apa cowok tadi naksir kamu?" Pertanyaan Fandi barusan?
Ya Tuhan. Tepok jidat ah. Aku tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaannya.
"Hah. Sorry." Sambil masih tertawa cekikikan, aku meminta maaf kepadanya.
"Maaf. Fan. Sungguh. Pertanyaanmu benar-benar membuatku tertawa." Kemudian aku mencoba mencerna pertanyaan Fandi barusan.
"Apa?" Aku melihat Fandi yang begitu ekspresif menatapku. Dia seperti tak percaya.
"Hey, jangan hanya karena aku pernah naksir ahli matematika jempolan terus sekarang selera cowokku kayak Syam begitu?" Aku meninggalkan Fandi dengan perlahan dan berjalan ke arah taman hotel.
Fandi ... dia mengikutiku.
Ketika aku duduk di salah satu rumput di dekat kolam ikan, dia ikut bersamaku.
"Lalu ... tipe cowok kamu sekarang, bagaimana?" Fandi menatapku lekat. Dia seolah menelanjangiku dan aku malu untuk mengungkapkan semua kepadanya. Lima tahun lebih kami tak berjumpa, kurasa aku sudah tak berhak terlalu percaya diri untuk merasa menjadi orang dekat Fandi.
"Ada deh. Rahasia." Itu saja kataku. Akhirnya.
"Ah." Fandi hanya mengatakan itu saja kemudian kami saling diam.
Hingga ... seorang perempuan menepuk pundaknya dan tersenyum manis ke arahnya.
"Katanya nyapa kawan lama. Kok ada di sini?" Suaranya begitu lembut, wajah perempuan itu juga imut dan cantik. Dia, perempuan yang tadi menggamit lengan Fandi.
"Ah, iya. Benar." Fandi kemudian bangkit berdiri.
"Lima. Ini Fanny." Mata Fandi menatapku sebentar kemudian beralih menatap perempuan yang bernama Fanny itu.
"Dan ... Fanny. Ini ... Lima." Setelah mengucapkan itu aku mengulurkan tangan kepada wanita yang ada di dekat Fandi.
"Fanny," ucapnya pelan. Matanya tak berhenti memperhatikanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Mathematics Man (Lengkap)
General FictionFandi, jago Matematika, tajir dan selalu menjadi idola harus ketemu sama Lima yang kemampuannya di bawah rata-rata. Anehnya, sejak pertama kali Lima duduk di depannya Fandi tak pernah bisa lagi fokus pada rumus matematika kesukaannya. Ternyata, saat...