Aduh. Aku tak tahu harus bagaimana ini? Teringat tadi Senja sempat menyebut tentang sponsor.
Ah, bagaimana kalau setelah ini Fandi batal mensponsori pertunjukan teater Kenangan? Aku tak bisa membiarkan kalau dia membatalkan sponsor karena ada aku di dalam personel teater Kenangan.
"Aku tak suka dengan mereka yang mempertontonkan kepura-puraan." Masih teringat kata-katanya saat itu.
"Termasuk, kamu." Dia menudingku berpura-pura terhadapnya hanya karena aku mengikuti teater Lurik.
Sudah lebih lima tahun dan ... aku masih ingat kata-kata itu. Seperti jerami yang menyimpan jarum. Meskipun tak terlihat tetapi saat kaki terkena tanpa sengaja maka akan merasakan sakit. Pun, dengan kenangan sedih itu, saat tak sengaja muncul dalam kenangan, aku tetap merasa sedih.
Saat aku kembali ke ruang tunggu pemain, Senja menghampiri dan menenangkan.
"Jangan berpikir macam-macam." Ultimatum itu dikeluarkan.
"I know you, Lima. Kamu adalah orang paling sedih dan panik jika terkait sahabat, keluarga dan ... pacarmu." Aku melotot tajam untuk kata-kata yang terakhir.
Pacar?
"Apa? Pacar? Siapa?" tanyaku bingung.
"Tentu saja, Fandi. Kau lupa?"
Aku mencoba mengingat.
"Saat kau tak menemukan dia diantara koridor sekolah?" Senja mengambil jeda sejenak.
"Apa yang terjadi?" Dia menggiringku mengingat masa lalu.
"Kamu berlari bak orang gila, sambil wajah bengep, mata sembab karena air mata dan ... seminggu kamu kehilangan selera makan."
Aku mengiyakan.
"Gitu kok, bilangnya enggak." Dia menyemangatiku dengan menceritakan masa lalu.
Senja, selalu tak ingin aku memikirkan semuanya sendiri. Dia, selalu ingin agar aku berbagi beban pikiran dengannya.
"Jadi, urusan sponsor. Itu ... bagianku."
"Kamu ... cukup berlakon yang cantik dan memukau."
Perkataannya selanjutnya membuatku nyengir.
"Aku jamin. Fandi akan berubah pikiran kali ini."
***
Lampu panggung sudah dimatikan. Kami, pelakon dalam tema panggung dengan judul 'Kenangan Abang Jago' sudah menempati posisi masing-masing. Saat musik pembuka terdengar pelan-pelan lampu panggung menyala sesuai titik-titik yang sudah direncanakan. Aku memilih fokus melanjutkan pertunjukan. Biarlah Fandi menganggapku apa. Itu, akan kuurus belakangan.
"Dena!" Abang Jago yang diperankan Nanang memanggilku di atas panggung. Aku tersipu malu ke arahnya dan dia memberikan sebuah sapu tangan yang sempat terjatuh tadi. Milikku yang berperan sebagai Dena.
Mengisahkan perjalanan cinta Abang Jago tukang sembelih ayam di pasar kota yang jatuh cinta kepada Dena, Noni keturunan Belanda yang dilihatnya pertama kali di jalan Jaga-Jaga.
Latar pertunjukan kali ini adalah antara masa Batavia awal dengan mulai berdatangannya para Jong Nusantara yang telah mendapatkan pencerahan di negara kincir angin.
Pada akhirnya, Abang Jago mengikuti para Jong terpelajar untuk bersama-sama melakukan pemberontakan kepada pemerintah Batavia dengan jalan mengobarkan semangat perjuangan. Sedangkan nasib cintanya dengan Dena ... ah. Bagai sebuah kisah kasih tak sampai yang memilukan.
Abang Jago akhirnya menghembuskan napas terakhirnya sebagai pejuang dan menyimpan semangatnya dalam surat-surat yang dikirimkannya kepada Dena yang ternyata sudah meninggal lebih dulu.
Surat Abang Jago kemudian diterima oleh sepupu Dena yang juga membalas surat-surat itu. Hingga akhirnya pertikaian mereda, Nusantara merdeka dan kisah mereka dipublikasikan oleh ahli waris keluarga Dena.
Sungguh kisah yang mengharukan.
Tepukan riuh membahana di sepanjang babak akhir pertunjukan. Semua wajah-wajah penonton puas, beberapa menyeka air mata karena sedih dan terharu sementara sisanya pasti ada yang tertidur, tidak tahu jalan ceritanya tapi terbawa euforia. Paling banyak adalah ... mereka sangat puas. Sangat-sangat puas.
Saat kami berdiri di atas panggung dan berjajar semua pemain kemudian menundukkan kepala di hadapan penonton, aku melihatnya. Dia menatapku dengan pandangan yang tak bisa kuartikan. Memakai jas hitam dengan dalaman maroon lelaki itu ikut bertepuk tangan. Wajahnya tak banyak berubah. Masih tetap tampan. Sebuah syal berwarna senada dengan baju tergantung di lehernya dan ... setelah tangannya berhenti bertepuk tangan sebuah tangan mungil dan lentik menggandeng lengannya. Fandi ... mungkinkah dia sudah memiliki kekasih lagi?
***
"Bravo!" Senja menerobos masuk ruang tunggu pemain setelah kami tak lama turun dari panggung. Aku, sama juga dengan pemain lain merasa bahagia karena sudah menyelesaikan pertunjukan dengan baik dan benar.
"Tidak ada rumus matematika di sana, kan?" ledeknya. Kemudian Senja memelukku dan membisikkan kata-kata penyemangat. Tahu, kan. Senja, selain sebagai teman baikku dia juga bak cenayang yang tahu apa yang ada di benakku.
"I know you. Matamu hampir copot kan, melihat mereka." Senja berbisik sambil memelukku dan aku mencubit pelan punggungnya.
"Aw." Dia memekik. Baru pekikan saja, Syam, kekasihnya sudah sigap datang ke sampingnya. Syam adalah pacar Senja yang pertama. Lelaki dengan kacamata tebal itu pengusaha multimedia dan design visual, sangat mandiri dan berbobot. Menyayangi Senja adalah syaratku yang pertama saat menyetujuinya menyatakan perasaannya kepada sahabatku itu.
"Kenapa, Sayang."
Duh, segitunya.
"Tenang, Sayang. Aku enggak papa. Cubitan mesra dari dia aja." Senja menowel hidungku dan aku merasa kesal karena sikap mereka kelewat mesra. Dih. Bikin malu aja sama yang jomlo ini.
Tepat saat kami saling melempar canda sebuah ketukan terdengar dari arah pintu. Senja yang masih memelukku segera melepaskan pelukannya kemudian membalikkan badanku ke arah pintu.
Dia ... lelaki itu sudah berdiri dengan santai di sana. Auranya masih sama seperti dulu. My Mathematics Man yang sama.
"Apakah aku mengganggu?"
Ampun Bang Jago ... kenapa suara Fandi sekarang ... seksi. Unch.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Mathematics Man (Lengkap)
General FictionFandi, jago Matematika, tajir dan selalu menjadi idola harus ketemu sama Lima yang kemampuannya di bawah rata-rata. Anehnya, sejak pertama kali Lima duduk di depannya Fandi tak pernah bisa lagi fokus pada rumus matematika kesukaannya. Ternyata, saat...