Temani Aku

281 50 5
                                    

Suasana kelas sudah sepi. Fandi mencegahku keluar dari kelas karena merasa ada sesuatu yang harus kami perbincangkan. Dia sudah memberikan isyarat sejak awal kelas kalau kami butuh saling bicara.

Duh, aku bingung. Sepanjang hari ini dia mengatakan kutukan, kutukan dan kutukan. Entah apa maksudnya.

Kukira dia ... menemukan kutuku yang lama. Ups.

Beberapa anak yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler terdengar riuh berteriak dari bawah karena ada pertandingan persahabatan basket. Sebenarnya aku penasaran ingin melihat ke sana karena ada Jimmy atlit basket sekolah idolaku. Dia bak Lee Minho versi muda yang macho.

Namun, gara-gara dia nih. Batal sudah. Fandi sudah menghadang jalan keluar buatku, tak ada celah untuk melarikan diri.

"Lo pake mantra apa coba? Kenapa semua ingatanku tentang matematika hilang semua?" Dia berkata sambil mondar-mandir Sementara aku diberinya permen karet sebagai sogokan agar mengaku. Jika aku bisa memecahkan masalahnya, dia akan memberikan imbalan lebih banyak.

Aih, dikiranya aku ini seorang pemburu hadiah. Enak saja.

"Helo ...." Aku meminta perhatiannya.

"Fan, kamu kalau mondar-mandir kayak begitu bisa ambruk bangunan ini." Fandi segera berhenti.

"Tuh, tu ... hati-hati sama omonganmu. Terakhir kali Lo sumpahin gue apa, coba?"

"Ya elah. Fan. Nyumpahin kamu? Emang aku punya kekuatan apa sampe bisa buat begitu?"

Kemudian kami saling terdiam saat papan tulis di depan kelas tiba-tiba jatuh tanpa sebab. Aduh, kami terkejut. Fandi melotot ke arahku.

"Tuh, kamu sakti. Mana ada coba papan tulis bisa jatuh sendiri kecuali kamu mantrai."

"Ayo keluar! Ntar bangunan ini ambruk lagi." Antara iya atau tidak. Aku segera berlari mengikuti Fandi dan menutup mulut agar tidak mengeluarkan umpatan. Mendengar ucapan Fandi tadi bulu romaku berdiri dan aku merasa ngeri.

Kami terus berlari menjauhi kelas, kemudian juga menjauhi gedung sekolah. Ketika sampai di pelataran futsal, Fandi akhirnya bertanya sekali lagi.

"Kamu penyihir, ya?"

Apa? Dia bertanya aku siapa tadi? Penyihir? Terus nyihir dia biar bisa jatuh cinta sama aku? Omo.

"Cenayang?" Dih, dia mengacau lagi. Memangnya aku punya kekuatan bulan untuk bisa jadi cenayang? Kalau iya, keren dong. Aku bisa balik kampung dan mengalahkan para dukun itu.

"Apa kamu ... seseorang yang dimasuki arwah penasaran?"

Kurasa Fandi sedang kebanyakan berfantasi.

"Helo! Jangan kebanyakan berimajinasi. Bisa, kan?" Aku memprotesnya karena sebal.

"Lalu ini semua apa?" Fandi bertanya kepadaku, lha ... mana aku tahu.

"Apanya yang apa? Coba jelaskan kepadaku secara jelas dan gamblang, satu persatu."

"Kamu mencuri kemampuan matematikaku." Dengan wajah serius dia mengucapkan itu.

Kukira sudah mencuri hatinya. Uwu.

"Gini, deh. Fandi ganteng. Kalau aku ngambil isi otak Lo perihal matematika, hasil ulanganku enggak bakal stop di angka 18. Betul?" Dia mengernyit mencoba mentolerir pendapatku.

"Tunggu sebentar. Tadi Lo ngomong apa?" Fandi main sela padahal aku masih ingin berargumentasi.

Hah?

"Yang mana?"

"Barusan itu. Kamu bilang aku ganteng? Begitu?"

Gubrak, deh. Aku memilih duduk di lantai lapangan futsal dan menata ritme napasku yang masih terengah-engah karena tadi berlari takut gedung sekolah beneran ambruk.

My Mathematics Man (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang