Lima tahun setelah Senja datang ....
"Hey, cantik. Kau siap tampil?" Senja sudah berdiri dengan anggun di depanku. Malam ini kami akan mementaskan naskah karyanya dalam pertunjukan teater Kenangan di salah satu aula megah hotel bintang lima di Jakarta. Tak disangka, Lima tahun sudah aku kembali menekuni pertunjukan setelah lama seperti kehilangan harapan.
Saat itu ... tepat saat aku menghabiskan satu pack tisu setelah menonton 'My Name is Khan' Senja datang. Dia membawa serta kabar bahagia bahwa beasiswa yang diajukannya untuk diterima di salah satu perguruan tinggi swasta elit di sana.
"Bagaimana dengan biaya, Nyong. Aku cuma tukang putar layar tancap ini," kataku kala itu. Seringkali kalau aku kelewat sebal sama Senja akan kupanggil dia sekenanya. Monyong, nyonyong, onyong. Pokoknya yang bisa membuat hatiku sedikit lega.
"Kau lupa, kan. Kalau aku masih hutang permintaan sama kamu." Ah,itu benar.
Aku terkejut Senja masih mengingatnya dan menganggap hal itu serius.
"Kalau gitu, kuanggap kau setuju kalau pembiayaan kuliah akan kutanggung." Agak setengah tak percaya. Memang sih, Senja adalah golongan elit di asrama saat itu tapi kukira hanya sebatas kaya biasa. Nyatanya ....
Dia membuatku terkejut. Ketika aku datang ke Jakarta bersamanya setelah berpamitan dengan semua penduduk kampung dia menampungku tinggal di rumahnya yang sebesar lapangan bola. Mungkin terlalu hiperbolis tapi aku sungguh tak bisa mengukurnya karena saking besarnya. Ayah Senja adalah pemilik perusahaan kain sutra terbesar di Jawa.
"Kau yakin kau anak kandung ayahmu?" Kami duduk di atas kasur di kamar Senja dan dia menyumpal mulutku dengan es krim cokelat kesukaanku.
"Enak aja, Lo. Emangnya gue anak pungut?" Dia menolak kuledek.
"Eh tapi beneran. Kalau lo ngaku saat itu tajir melintir pasti banyak teman kita mendekat dan akrab sama kamu."
"Tidak. Aku yakin dengan kata-katamu. Bahwa selain pasangan. Teman juga memiliki jodoh sendiri." Senja menyeruput caramel machiato dalam gelas yang cantik dan melanjutkan petuah kebijaksanaannya.
"Lagipula ... aku tak mau terjebak dalam toxic relationship kayak begitu. Apaan. Berteman kok karena kaya raya." Senja kemudian menaruh gelasnya dan memelukku.
"Setahun ini aku tersiksa. Aku bagai kau kejar-kejar dan hendak kau terkam." Tuh, kan. Dia ngebanyol tapi itu enggak lucu.
"Tapi aku tahu itu cuma mimpi. Aku murni merindukanmu my fren." Senja memelukku dan kami berpelukan. Satu hal lain yang membuatku bahagia malam itu adalah ... Senja menceritakan kabar terbaru Fandi kepadaku.
"Coba tebak siapa yang akan jadi teman sekampusmu?" Senja main tebak-tebakan buah manggis.
"Fandi. Your Mathematics Man." Mulutku sedikit terbuka, mataku menatap Senja tak percaya dan dia mengangguk.
"Sungguh. He still be the star everywhere."
"Kali ini, kau harus bisa menaklukannya, Dear. Bukankah kamu selama ini memendam rindu?" Aku mengangguk.
"Senja, gitu loh. Apa sih yang enggak kuusahain buat dirimu." Kali ini aku memeluknya dengan sangat erat. Angin muson membawanya ternyata dengan segudang kabar membahagiakan.
"Eh, tapi ... ada sesuatu yang menyebalkan juga sih." Senja membuatku penasaran.
"Katanya, semenjak kau menolak Fandi dia agak anti gitu sama cewek." Senja bangkit dan melihat penampilanku.
"Kamu perlu dipermak agar tampil menawan di depannya."
Sialan. Dikiranya aku celana jeans. Dasar Senja.
***
Hari Senin, Lima tahun lalu. Setelah bertemu dengan lelaki berambut cepak bak tentara yang baru menempuh pendidikan, wajahnya lebih tampan daripada dulu dan ... senyumannya masih menawan itu hatiku kembali dag dig dug. Ternyata ... Fandi dewasa lebih menggemaskan. Dia terlihat menyapa beberapa temannya sambil berjalan di koridor kampus yang dipenuhi tanaman sulur menjalar di atas atap yang menaunginya.
Wajah tampan itu bagai garis koordinat X dan Y yang memiliki ukuran pas saat digambar dalam vektor.
Ups. Aku ketularan Fandi. Bucin ala matematikanya masih kuingat.
Aku sudah diam menyambutnya mendekat ke arahku. Pada hitungan hatiku ke sepuluh dia berhenti. Dia melihatku. Dia ... menatapku. Kukira dia akan mendekat ternyata ... Fandi berbalik dan tidak menengokku lagi.
Detik itu aku tahu. Bahwa ... rasa sakit hatinya padaku masih ada. Dia memilih menampakkan perasaan bencinya kepadaku alih-alih menutupinya dan bersikap biasa saja.
Aku berubah dari Lima kesayangannya menjadi Lima yang dibenci. Hingga kemudian aku lulus hanya dalam hitungan jari aku bisa bertemu dengannya secara tak sengaja. Aku terlalu takut untuk mengambil inisiatif menemuinya setelah beberapa kali dia bersikap cuek luar biasa kepadaku.
Apa kata Senja saat aku kehilangan keberanianku itu?
"Nol. Untuk lima dikali nol." Senja menendang bak sampah di kamarku karena gemas melihat sikapku yang melempem.
"Kau begitu berani dulu. Kenapa sekarang kau cemen, sih. Lima?" Senja menyentuh dahiku yang mulai berkeringat.
"Karena dulu aku belum mencintainya."
"Dan sekarang ...." Senja menunggu jawabanku.
"Sekarang dia membenciku."
Kemudian langit menjadi murung, aku teringat akan Kang Sarip yang tidak bisa menghalau awan menurunkan hujan bersamaan dengan suasana hatiku yang galau.
Sejak saat itu aku memilih menyerah. Kuhabiskan waktuku dengan bermain teater, mengembangkan skillku di bidang itu dan mulai ikut audisi di beberapa rumah teater besar yang ada di ibukota. Bersama Senja aku mendapatkan peran-peran kecil sebelum akhirnya Senja melanjutkan teater Kenangan yang didirikan oleh kakeknya belasan tahun silam.
"Karena teater ini sudah usang, saya kira akan susah membuat namanya melambung kembali." Agak pesimis Senja mengatakan apa yang ada dalam pikirannya. Sedikit memikirkan promosi bagaimana yang harus kami lakukan akhirnya aku dan Senja menembusi beberapa teater besar yang tercatat pernah berguru dengan teater milik kakek Senja.
Untunglah ... dengan pendekatan personal yang ikut digawangi oleh Papa Senja, akhirnya teater kenangan bisa kembali tampil dalam sebuah pertunjukan reuni.
Sejak kesibukanku di teater kian banyak, aku benar-benar mulai bisa menata hati untuk tidak selalu memikirkan Fandi.
Adakalanya ... aku memang harus menyerah setelah mempertimbangkan bahwa untuk melangkah satu langkah saja jalanku sudah buntu.
Namun, hatiku masih penuh dengan rasa cinta untuknya. Rasa cinta yang tak mungkin kuekspresikan kembali jika bukan dia yang memulainya lagi.
***
Hari pertunjukan tiba ... Lima tahun setelah Fandi tidak menampakkan diri.
Senja berlari tergesa-gesa menyusuri lorong hotel tempat kami, para pemain dirias.
Napasnya masih berpacu saat dia berhenti di depanku.
"Apaan lagi? Kau kan baru saja lima belas menit lebih tiga detik ke sini." Aku melihat jam di layar ponsel saat Senja tiba-tiba datang lagi.
"Lima. Kamu harus kuat. Konsentrasi penuh. Jangan sampai meleng seperti dulu."
Hah? Ah, iya aku pernah salah improvisasi saat lakon Dewi Arimbi dulu.
"Tenang, Senja. Ini tentang kakekmu, maka ... aku akan bersungguh-sungguh."
"Kau yakin?" Apa sih yang dia tanyakan. Memangnya segitunya aku kelupaan dialog. Sampai diingat sepanjang masa.
"Karena Fandi datang menonton. Dia di kursi paling depan dan ... dia sponsor pertunjukan kita." Aku terkejut. Sontak tubuhku bangun dan refleks kaki ini berlari menuju belakang panggung. Kuintip wajah itu dari celah tirai yang masih terbuka. Itu ... benar-benar Fandi. Pesonanya masih memabukkan dan ... tampan.
Namun, aku sudah memilih untuk tidak mendekatinya. Aku takut, dia kembali mencampakkan aku lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Mathematics Man (Lengkap)
General FictionFandi, jago Matematika, tajir dan selalu menjadi idola harus ketemu sama Lima yang kemampuannya di bawah rata-rata. Anehnya, sejak pertama kali Lima duduk di depannya Fandi tak pernah bisa lagi fokus pada rumus matematika kesukaannya. Ternyata, saat...