Astrolab

200 38 6
                                    

Gemuruh tepuk tangan menyambut berakhirnya pertunjukan Arimbi. Aku yang merasa telah mengacaukan segalanya tak merasa begitu gembira. Wajah-wajah tegang di belakang layar akhirnya bisa sumringah setelah sempat sejenak melotot semua ke arahku.

"Apa yang kau lakukan, Lima?"

"Ya Tuhan, kamu hampir saja mengacaukan semuanya."

"Lima. Kamu masih ngantuk?"

Kurang lebih pandangan mata mereka seperti itu. Syukurlah ... Danu, tokoh Werkudara yang merupakan anak kelas akhir di golongan kelas reguler elit berotak encer. Tidak seencer Fandi tapi setidaknya dia mampu merubah kekonyolanku menjadi eksplorasi tanpa batas yang menakjubkan. Karena dia juga aku berhasil menemukan jawaban soal Fandi.

Dia, menyatakan perasaannya kepadaku berkali-kali baik dengan ucapan maupun sikapnya tapi tak kuperdulikan. Tapi Fandi menganggap bahwa simbol-simbol matematis di otaknya adalah penerjemah perasaannya maka aku mempercayainya. Sayangnya aku ... terlambat.

Sejak selesainya pementasan hingga bulan berikutnya aku tak lagi menemukan sosoknya. Fandi pergi. Dia memutuskan menjauh dari kehidupanku.

***

Semenjak mengikuti teater Lurik dan menjadi salah satu tokoh sentral di sana aku mulai menemukan denyut kehidupan kembali. Dengan jaminan prestasi dalam dunia teater ini, sekolah masih memberikan beasiswa kepadaku hingga tamat sekolah. Bahkan, di kampungku aku sudah terkenal bak artis besar saja. Gara-garanya, pamflet pendaftaran yang disebar sekolah memajang fotoku mengenakan kostum Arimbi dan menaruhnya di bagian paling depan dan besar.

"Biasanya sih ikonnya Fandi, ya Say." Senja membuatku teringat kembali akan senyuman Fandi yang terpajang di pamflet pendaftaran tahun lalu. Aku masih menyimpannya di salah satu buku harianku.

"Cie, sekarang kau yang melejit." Senja terkikik dan mencubiti pipiku.

"Eh, iya. Sudah hampir akhir sekolah ini. Kita bakal masih sama-sama enggak, Lima?" Aku menatap wajahnya sendu. Seperti halnya aku yang akan kesepian tanpa Senja, ia pun sama. Kami berdua kemudian berpelukan. Senja yang selalu gila dengan segala tingkah lakunya menangis di pelukanku. Sifat nyelenehnya tersalurkan lewat teater dan membuatnya tak lagi dipandang sebelah mata.

"Tenang. Aku nanti akan sering-sering mengirimimu surat."

Senja mengangguk.

"Kamu juga boleh main ke gunung, ke tempatku."

Senja mengangguk lagi. Benar apa yang dikatakan ibuku saat itu. Layaknya pasangan hidup, berkawan juga memiliki jodohnya sendiri-sendiri.

***

Dua bulan setelah acara pelepasan sekolah. Suasana kampungku menggigil dengan curah hujan yang kian tinggi. Bahkan, es muncul di atas pucuk-pucuk daun di sekitar ladang kami.

Iya, aku sudah kembali ke kampung halaman. Beasiswa mewakili teater Lurik kepada salah satu perguruan tinggi negeri di tanah air sudah dilayangkan pihak sekolah tetapi belum ada jawaban, maka aku memilih pulang kembali ke rumah, di kaki gunung Sumbing.

Rumah kami terletak paling ujung dengan jarak bukit yang menjadi pembatas desa kami itu sangat dekat. Dari atas bukit itulah setiap malam saat aku kembali ke kampung kuhabiskan waktuku memandangi bintang-bintang yang nampak di kala langit tidak tertutup kabut atau saat tidak hujan.

Namun, hanya hitungan hari saja suasana kampung bisa cerah, selebihnya ... kami lebih memilih berada di dalam rumah, menyalakan api pawon-sejenis kompor tradisional dari tanah- kemudian menyantap singkong bakar hangat. Rumah ibu yang kecil dan mungil membuat kami semua, lima anak dan ibu bisa lebih akrab. Meskipun, beberapa saudaraku sudah berkeluarga tapi kami tetap menyempatkan diri saling bercengkrama. Sesuatu yang akan menjadi mahal jika tinggal di kota seperti apa yang dikatakan Fandi. Orang tuanya lebih memilih perjalanan bisnis daripada duduk bercengkrama dengannya. Matematika adalah teman terbaiknya, dengan memikirkan memecahkan rumus matematika dia melupakan kesepiannya.

Aku menepuk wajahku sendiri dan meringis mengingatnya.

Kamu sekarang di mana, Fan ...?

Kerinduanku kepada Fandi membuatku teringat tentang astrolab yang selalu diceritakannya.

"Aku lebih memilih mantai daripada ke gunung," katanya waktu itu. Kami duduk di lapangan futsal dan menyeruput es coklat kacang kesukaannya.

"Kenapa?" tanyaku ingin tahu. Kedua kakiku bergerak-gerak dan sesekali menabrak ujung kakinya yang memakai sepatu olahraga berwarna putih kehitaman.

"Karena aku ingin melihat bagaimana astrolab bekerja."

Aku yang memiliki kapasitas otak terbatas ini mengernyit tanda sedang berpikir keras. Dengan ujung gelas es coklat, Fandi menepuk dahiku.

"Ilmu membaca bintang saat kita di laut, Lima." Dia mencubit pipiku dan membuat wajahku bersemu merah.

"Makanya sesekali pinjam buku Senja dan bacalah apa yang tertulis di sana."

Wew, dia tidak tahu bahwa buku Senja itu isinya puisi semua. Aku enggak bakat jadi ahli bucin seperti dia.

"Meskipun buku itu buku puisi tetap saja, ada filosofi makna di sana." Aku sungguh terkejut. Fandi sepertinya mampu membaca pikiranku.

"Astrolab juga digunakan untuk membaca arah angin, mengetahui titik perhentian sebuah tempat serta kapan kapal layak memulai pelayaran kembali." Aku memandang Fandi dengan takjub. Kenapa Tuhan tidak memberikan nol koma sekian saja isi otak Fandi kepadaku?

"Yang lebih dahsyat lagi adalah ... dengan membaca bintang di angkasa, kita akan tahu bagaimana menyimpan rindu di dalam hati dan menumbuhkan harapan akan sebuah pertemuan kembali. Karena ... itulah semangat para pelaut zaman dulu. Mereka seringkali menitipkan bisikan cinta kepada angin agar disampaikan kepada para pecintanya yang sedang menanti."

"Namun, tak jarang pula, kabar yang diembuskan adalah ... kabar kasih yang tak bisa lagi diteruskan."

Seperti sekarang.

Seperti hatiku saat ini.

Apakah angin dan bintang mampu menyampaikan pesan kepada Fandi?

Bahwa aku ... sekarang ... merindunya lebih dari seorang kawan merindu sahabatnya.

My Mathematics Man (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang