Pi

326 55 2
                                    

Senja setiap hari semakin eksentrik. Adakalanya dia seperti orang yang kesurupan kemudian mengetuk-ngetuk dinding kamar dan berpuisi. Terlahir di kampung lereng gunung,hal-hal seperti itu bukan masalah lagi. Banyak yang lebih wingit di kampungku jadi aku menyikapi sikap Senja biasa saja.

Adakalanya dia menangis tersedu di pojokan kamar, tangannya tergenggam dan menyisakan urat hijau di bawah kulitnya saat dia menggenggam tangannya sendiri terlalu erat. Beruntunglah aku karena datang dari lereng Sumbing di mana aku lebih sering melihat Pak Saburi tetangga dua rumah dari rumahku memakan pecahan beling hampir setiap hari. Konon, kala sudah begitu dia sedang mengemban misi dari kliennya. Dia dukun sakti di sekitar desaku tapi setiap hari dia tak berani menatap wajahku. Dulu, dia pernah hampir menggauliku tapi burungnya kutendang dengan kuat kemudian kupukul dengan galah hingga membesar sebesar bola pingpong.

Jadi, intinya ... aku sangat bisa menerima keadaan Senja yang luar biasa, bahkan menganggapnya hanya berakting saja.

"Kamu tak takut aku seperti ini setiap hari?" tanya Senja sambil mengambil krupuk udang kesukaanku sesaat setelah kami makan di ruang makan asrama.

"Enggak. Kamu masih kalah sangar sama Limbad." Dia mengangguk tanda setuju.

"Alhamdulillah, aku sekamar sama kamu, ya?" Dia terkekeh dan menepuk pundakku.

"Eh, teman-teman bilang kamu kaya raya. Apa penyakit orang kaya raya kamu ini, bisa sembuh?" Senja memakan kerupuk satu lagi kemudian menggeleng menjawab pertanyaanku.

"Entahlah. Kurasa aku depresi terlalu lama." Wajah Senja berubah sendu saat menjawab hal itu. Oh, jadi itu akibat depresi.

"Tenang saja, Sob. Kamu akan sembuh." Kami berangkulan sambil berjalan ke dalam kamar. Sejak saat pertama kali kami bersahabat kamar 12 menjadi kamar paling aneh yang terkenal di seluruh asrama.

Keanehan di kamar asrama bersama Senja, kuanggap itu makanan sehari-hari tapi ... keusilan Fandi di kelas membuatku sedikit tak nyaman. Fakta bahwa nilaiku selalu jadi yang paling buncit ditertawakannya setiap waktu. Dia bahkan selalu seperti memamerkan nilainya setiap hasil ulangan dibagikan.

Satu fakta lain yang juga baru kutahu perihal Fandi adalah ... kalau Senja anak orang kaya ke delapan belas satu sekolah, maka Fandi adalah anak orang kaya nomor pertama seantero sekolah. Namun, otaknya encer luar biasa sehingga dia bisa dihargai orang lain karena kepintarannya juga bukan hanya karena hartanya. Entahlah, sejak kecil karena menerima perlakuan tak adil para anak juragan di kampung aku jadi tidak begitu sreg melihat tingkah para anak-anak borju di sekitarku. Meskipun beberapa baik kepadaku seperti Senja.

Hanya saja, Fandi ... dia menzalimiku dengan nilai matematikanya. Dia mengatakan bahwa aku murid paling enggak bisa matematika seantero sekolah dan itu bakal membuatku didepak dari penerima beasiswa dengan segera setelah ujian semester beberapa bulan lagi.

"Tak ada kesempatan buatmu." Fandi berdiri sebentar di samping mejaku, tangannya membawa kertas ulanganku dan kepalanya menggeleng berkali-kali. Matahari di luar begitu cerah tapi moodku menguap karena hasil ulangan Senin pagi di tangan Fandi. Dia bertugas membagikan hasil ulangan kepada semua dan punyaku menjadi bulan-bulanannya.

"Sembilan belas? Cih. Memalukan." Dia mengatakan itu sambil berbisik, wajahnya sangat dekat denganku bahkan aku bisa merasakan embusan napasnya.

"Urus-urusan Lo, sendiri." Aku merebut paksa tapi ... kertas itu sobek jadi dua dan ... naasnya bagian yang ada nilainya jatuh ke bawah dan terlihat teman-teman.

"Bukan salahku. Lo sendiri, kan?"

Semua anak tertawa melihat nilaiku, termasuk seorang anak bernama Joki yang sering mendapat nilai dua puluh dalam matematika, aku kalah dua poin dengannya.

My Mathematics Man (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang