Boomerang

205 35 2
                                    

Jatuh ke bawah dari atas panggung di aula pertunjukan? Jelas bukan hal keren yang harus dibanggakan bukan? Gara-gara berjalan berlenggak lenggok di depan Fandi karena membanggakan diri atas berhasilnya memecahkan teori volume balok, Tuhan menghukum kesombonganku.

Namun, hukuman itu begitu manis. Pantatku memang sakit dan kaki terkilir tapi ... digendong Fandi di punggungnya dan berjalan di koridor ruang kelas disaksikan banyak anak keren lainnya jelas itu ... sangat manis, kan? Para sosialita penggemar Fandi menatapku marah, tapi aku menikmati momen itu. Sebelum sampai ke ruangan UKS Fandi menjelaskan sesuatu tentang Boomerang.

"Boomerang."

"Apa?" Aku menyahut dari belakang punggungnya.

"Kau tadi sebelum jatuh berteriak boomerang, kan?" Fandi menanyaiku dan membuatku malu.

"Huum."

"Kenapa?" tanyanya lembut, selembut angin yang membuai wajahku saat langkah kakinya berjalan ke luar lingkungan sekolah.

"Habis aku tadi sombong atas hasil matematika tadi. Dan ... Tuhan membayarku kontan."

"Membayar kesombonganmu?" tanyanya sambil berhenti sejenak. Aku mengangguk.

"Tapi tak apa. Kelak, ini jadi pengingat bahwa kamu tak bisa sombong lagi di depanku." Aku mengangguk lagi.

"Tapi, kau tau apa itu Boomerang?" Aku menepuk pundaknya. Meskipun aku tak mahir dalam pelajaran, aku tahu apa itu Boomerang.

"Boomerang itu sih senjata khasnya suku Aborigin. Itu noh, di sono. Negeri Australia, kan?" Fandi mengangguk di depanku.

"Kau tahu bagaimana prinsip kerja Boomerang?" tanya Fandi agaknya mulai serius. Plis, deh. Tak adakah hal lain selain matematika lagi?

"Enggak tahu dan enggak mau tahu."

"Hah? Kenapa begitu?"

"Apa setiap kali makan nasi juga harus dijelaskan teori matematikanya juga? Bagaimana penggilingan padi bekerja. Bagaimana prinsip katrol. Bagaimana-" dan tawa Fandi menggelegar.

"Baiklah. Aku diam." Dia menyerah, kan? Hore! Akhirnya aku terbebas dari matematika hari ini.

"Boomerang bekerja dengan cara menjatuhkan lawan untuk kemudian kembali ke tangan pemiliknya." Fandi mengoceh lagi setelah diam sebentar.

"Kecuali pedang. Boomerang adalah senjata lain yang setia kepada tuannya. Pistol melesatkan pelurunya dan tak kembali, kan? Kalau kembali namanya serangan balasan dan itu berasal dari lawan." Fandi mencoba melucu dan aku sedikit tersenyum. Hingga kemudian ....

"Lho, kok." Fandi menurunkanku di dekat mobilnya kemudian membuka pintunya dan menyuruhku duduk di dalamnya sebelum memasang sabuk pengaman kemudian membawaku memecah keramaian jalan.

Aku ... merasa tak enak hati. Semua perlakuan Fandi padaku demi mengembalikan rumus matematika ke dalam otaknya sungguh totalitas. Aku merasa tidak nyaman karena akulah yang semakin dipintarkan olehnya sementara dia kehilangan kemampuan berhitungnya. Selain itu ....

Perlakuan Fandi membuatku terlihat sedang memanjat status sosial di depan anak-anak yang lain. Aku tak pernah memikirkan bahwa jika aku mendekat kepada Fandi maka jurang pemisah antara teman-teman sekolah dengannya akan nampak nyata. Tidak hanya sekali aku mendengar mereka mengatakan bahwa Fandi terkena sihir dan guna-guna.

Akulah tukang tenungnya, menurut mereka.

***

"Kau merasakan rumus itu sudah kembali belum?" Kami duduk di luar ruang periksa dokter menunggu giliran. Sangat berlebihan sekali jika kakiku yang terkilir ini sampai membuatnya membawaku ke rumah sakit yang megah dan besar ini.

"Kurasa ... hampir tujuh puluh persen. Beberapa kali kucoba mengerjakan soal di rumah hasilnya masih fifty-fifty." Fandi menatapku curiga.

"Kenapa? Kau mau mendepakku dengan segera setelah rumus-rumus itu kembali?"

Antara menjawab iya atau tidak, aku memutuskan menjawab iya.

"Kau tidak yakin bahwa sebenarnya aku mendekatimu karena jatuh cinta?"

Ini sudah kali kesekian dia menunjukkan kebucinan-nya tapi aku menolak mempercayai.

"Fan. Kita berdua dekat karena kutukan matematika ini. Segera, jika kau bilang kutukan ini selesai, maka perasaanmu itu akan hilang.

"Kalau enggak hilang bagaimana?" Dia mendekat ke arahku kemudian menyenggol bahuku.

"Bagaimana, hayo. Jawab," kelakarnya menggoda.

"Enggak tahu aah. Kan, aku enggak cinta sama kamu-"

"Belum." Fandi memutus ucapanku.

"Kau ... belum jatuh cinta padaku dan aku ... akan membuatmu tak bisa hidup tanpaku."

"Nona Lima." Panggilan perawat membuatku terbebas dari mengamini ucapan Fandi barusan. Tapi, entah kenapa ada yang bahagia di satu sisi hatiku.

***

"Kau bikin gempar seluruh dunia." Senja masuk ke dalam kamar dan segera mengajakku bergosip. Sudah kuduga.

"Semua mata memandang kalian, bahkan sanggup mendatangkan nyanyian rindu di hati para perindu." Mulai, deh. Senja. Aku mulai pikun jika mendengar dia mulai mengucapkan kata-kata puitis.

"Aku bersumpah, Lima. Mereka akan menjadikan kamu bahan ejekan esok hari."

"Mereka akan menerkammu bak singa yang lapar, bahkan akan menggilasmu dengan cabikan kenyinyiran dan ... menodai niat tulusmu dengan prasangka." Senja mendelik ke arahku sambil mengacungkan tangan.

"Eh, Senja. Minggu depan ikut aku tes teater yuk. Aku ingin bisa berakting sepertimu." Senja terperanjat. Sebuah pengalihan yang manjur. Sejujurnya, aku tidak takut menghadapi nyinyiran anak-anak kaya itu. Aku lebih takut dengan Senja jika sudah mulai menggila kayak barusan.

"Kau mau ikut teater. Kau bisa?"

Senja tak tahu, bahwa poster yang pertama kali kupajang di kamarku adalah posternya Sridevi artis India ternama. Dulu, aku melihatnya berakting dan menari serta bernyanyi dalam layar tancap sebulan sekali di desaku, sejak saat itu aku berani melawan Wak Sadi yang selalu ingin menonton di bagian depan. Kelemahan Wak Sadi adalah istrinya. Jika istrinya menonton di depan maka dia memilih duduk di belakang. Berbekal itulah aku rela memijat kaki istri Wak Sadi sepanjang film asal Wak Sadi duduk di bagian belakang dan tidak menghalangiku menonton Sridevi.

"Aku hanya tak bisa matematika, sejarah, biologi. Ah, Senja. Kalau berakting, kau bisa mendapatkan jaminanku."

"Berarti, kau juga bisa mendapat hati Fandi dong? Iya kan ... iya, dong."

Aku mendengkus.

"Apakah ada cara agar Fandi membenciku?" tanyaku pada Senja.

"Kau beneran tak cinta padanya?" Senja menyelidiki perasaanku.

"Bohong jika aku tak tertarik kepadanya. Aku hanya tak ingin semua orang menganggapku hanya memanfaatkannya saja."

"Kau tahu, kan. Senja. Aku bukan orang kaya seperti kalian. Beasiswa adalah keberuntunganku yang bisa membawaku ke sini." Senja kemudian memelukku dan berbisik menenangkan.

"Dan aku yakin, kau akan mendapatkan keberuntungan yang lain."

My Mathematics Man (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang