Bangun Ruang

256 40 2
                                    

Aduh, dia sudah stand by di dekat pagar. Mana banyak anak-anak keren kelas lain yang mengerubunginya. Apakah aku harus memutar jalan?

Fandi benar-benar melakukan apa yang dia ucapkan kemarin. Berbagai ide melintas di kepalaku yang berisi cara melarikan diri darinya.

Namun, terlambat. Dia sudah melambai ke arahku dan itu membuat pandangan anak-anak keren lainnya berubah. Mereka segera pamit pergi saat aku mendekati Fandi. Wajah mereka tidak bahagia dan mereka sepertinya menganggapku salah. Seperti pansos alias panjat sosial, kurasa.

Sejak kejadian di kebun asrama kemarin Fandi mulai menjadi guru privatku. Matematika terutama menjadi mata pelajaran yang memang harus kukuasai karena menurut informasi yang diberikan Fandi dia merasa tidak bisa memunculkan rumus matematika jika tidak ada aku, dan dengan pintar matematika maka beasiswaku bisa tetap lanjut.

"Hari ini, pukul satu siang, di Aula pertunjukan." Dia menyuruhku datang ke aula pertunjukan.

"Kenapa di aula?" Aku menanyakan detail kenapa dia menyuruhku ke sana.

"Kita belajar rumus cinta." Dia mengatakan seperti itu sambil lalu. Tak lupa menempelkan kertas di dahiku bertuliskan materi apa yang akan kami pelajari.

Ya Tuhan.

Kulihat punggungnya semakin jauh berjalan ke arah kelas.

Sepertinya bocah ini tidak hanya merasa kena kutukan, dia juga kesurupan jin cinta.

Aku melihat kertas yang ditempelkan di dahiku tadi.

Hah? Volume sebuah bangun ruang? Apaan itu? Tuh, kan. Aku memang payah dalam menghapal rumus matematika.

Ketika aku membuka sebentar buku matematika dan menemukan topik tadi, mataku sudah berkunang-kunang, deretan rumus dan angka di dalam buku sudah terbang melayang-layang.

Oh ... tidak.

***

Aku tidak pernah memasuki aula pertunjukan sebelumnya. Biasanya, kami dikumpulkan oleh oara guru di aula yang lain untuk mendengarkan pengumuman-pengumuman yang akhirnya hanya membuatku bosan tetapi kali ini aku merasa takjub dengan keindahan aula pertunjukan.

Ada beberapa tangga sesuai deretan tempat duduk yang kulalui sebelum sampai di panggung utama. Kalau dulu penduduk lereng Sumbing melihat pertunjukan layar tancap di tengah lapangan luas tanpa tempat duduk, di kota ternyata semua serba tertata. Dengan tempat duduk berondak, aku tak perlu berteriak menyuruh Wak Sadi duduk sambil merunduk karena aku tidak kelihatan duduk di belakangnya. Sedangkan Wak Sadi tingginya menjulang ke atas.

Saat aku sampai di bagian paling bawah, bocah tengik bin jahil bin tampan itu sudah melambai ke arahku. Panggung tempat pertunjukan itu setinggi separuh badanku dan untuk ke atas sana aku masih harus menaiki tangga. Begitu aku menaiki panggung itu dan menatap hamparan kursi penonton sebuah lukisan indah di dinding yang mengelilingi bangku penonton benar-benar memukau. Panorama alam pegunungan dan pantai bersatu padu dalam bentangan keindahan yang bisa tertangkap mata manusia. Aku ... tiba-tiba merindukan kampung halamanku.

"Lima! Lo, nangis?" Fandi menghampiri diri ini yang memandang deret bangku penonton dengan berkaca-kaca. Aku kembali teringat cita-cita lama. Menjadi pelakon pertunjukan.

"Enak aja. Siapa yang nangis?" jawabku setengah berbohong.

"Ya sudah, kalau kau tidak nangis. Ayo, cepat merapat. Aku perlu energi untuk mengingat semua kenangan. Eh, salah. Semua rumus deh." Dia terkikik. Dasar.

Kemudian Fandi menyalakan layar panggung dengan sebuah remote yang secara ajaib menampilkan apa yang baru ditulisnya di atas papan tabletnya.

"Kamu jangan terpukau. Ini semata kecanggihan teknologi saja."

My Mathematics Man (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang