Apakah kau siap melakukan segalanya saat lelaki yang kau cintai sudah nampak di pelupuk mata?
Kata ibuku di rumah, wanita itu harus punya Anggegeni, daya tawar. Memiliki kharisma untuk dipertahankan dan memiliki kepercayaan diri untuk bisa terlihat tidak membutuhkan laki-laki.
"Jangan selamanya selalu menganggap bahwa wanita itu masyarakat kelas kedua. Nyatanya ... bapak-bapak kalau ditinggal ibu-ibu sehari saja kelimpungan. Berarti kita ini sangat penting kedudukannya." Ibu mengucapkan itu saat putra mantan kades di kampung melamarku tetapi tidak ada keseriusan.
Sekarang ... aku tahu bahwa apa yang diucapkan ibu itu benar adanya tatkala aku menanyakan kepada Fandi kenapa dia mau kembali mengejarku. Padahal ... akulah yang telah menolaknya sekian lama.
Malam yang dia janjikan, dan dia benar-benar datang menjemputku. Dia menatapku setengah takjub, duh pakai kata setengah segala soalnya sebelum sempat takjub beneran Senja sudah mengacaukan acara. Fandi menatapku memakai baju atasan pink dengan absen rempel di sepanjang leher dan melingkar di depan dada, sangat mirip dengan gambar baju yang pernah dibuat Fandi saat pelajaran Ketrampilan dan skill semasa SMA.
"Bajunya ...."
"Kau masih ingat?" tanyaku dan dia mengangguk.
Setelah berjanji kepada Senja bahwa dia tidak akan membawaku terlalu malam, kami kemudian memacu mobil di jalan raya. Duh, Senja sudah menjelma bak Emakku.
Kami memasuki sebuah restoran yang nyaman di daerah Bintaro. Entah kenapa malam itu suasana restoran begitu sepi. Ternyata aku baru tahu kalau Fandi memesan tempat itu semuanya hanya untuk makan berdua bersamaku.
Aduh. Tajir sih tajir tapi ... ini namanya pemborosan.
Dua machiato caramel kesukaanku tersaji di sana.
"Gimana? Mirip sama rasa dulu saat kita seruput di dekat lapangan futsal, kan?" Mendengar penjelasannya aku segera merasai minuman itu.
"Hum. Enaaak naan. Iya. Benar. Kok, bisa sama banget?" Aku menyeruput lagi dan lagi.
"R-H-S."
Hah? Apaan lagi itu?
"Rumus baru, Pak?" tanyaku dengan gaya centil.
"Rahasia. Itu kepanjangannya. Bukan rumus, Dear."
Ya Tuhan. Aku tergelak. Bisa aja ah, si Fandi. Apalagi itu ... embel-embelnya. Unch. Bikin aku enggak berhenti tersenyum.
Kemudian, aku mulai memancingnya.
"Dih, pakai dear segala. Emangnya kita udah resmi balikan?"
"Emangnya kita pernah jadian?" Fandi memutar pertanyaanku. Aduh, pintar amat nih kekasihku.
"Yeay. Pernah lah. Siapa yang kemarin kasih mawar dan lain-lain dulu itu." Aku mencubit hidungnya. Ups. Reflek. Aduh, aku bagaimana ini?
Kemudian Fandi memegang tanganku dan menggenggamnya.
"Karena kamu enggak butuh aku." Fandi mencium tanganku pelan.
"Aku enggak butuh kamu kok malah kau kejar?" Aku bertanya heran. Fandi melepas tanganku dan menyuruhku menyantap makanan pembuka yang disajikan.
"Karena ... kalau kamu enggak butuh aku dulu maka ... kali ini kau pasti sangat membutuhkan diriku."
Hah? What?
"Dih, kepedean."
"Iya apa enggak hayo? Ngaku?" Fandi mencubit pipiku gemas dan ... rasanya seperti sedang disayang-sayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Mathematics Man (Lengkap)
General FictionFandi, jago Matematika, tajir dan selalu menjadi idola harus ketemu sama Lima yang kemampuannya di bawah rata-rata. Anehnya, sejak pertama kali Lima duduk di depannya Fandi tak pernah bisa lagi fokus pada rumus matematika kesukaannya. Ternyata, saat...