Setelah beberapa jam membiarkan Haekal mengistirahatkan tubuhnya yang sudah bekerja keras hari ini, Taesya dan Dokter Bayu berbincang sebentar di koridor rumah sakit. Wajah mereka yang begitu serius, seakan sama sekali tidak ada celah untuk menyatakan kabar baik disana.
"Tidak ada kemajuan, dengan kata lain kemoterapi itu tidak berhasil untuk Haekal. Kau tau sendiri kondisinya sudah separah apa." Dokter Bayu menjelaskan.
Taesya mengangguk paham, "Lalu, sekarang apa yang harus kita lakukan?"
"Mungkin sebaiknya Haekal lebih di dekatkan pada keluarganya saja, saya akan carikan kamar terbaik untuk Haekal," ujar Dokter Bayu.
Taeysa menghela nafasnya lega, "Yasudah, kalau ada VVIP sekalian. Aku akan membuatnya nyaman."
Dokter Bayu kemudian pamit duluan dari hadapan Taesya, meninggalkan pria itu sendirian dengan pikiran campur aduk. Taesya sudah terlanjur sayang dengan Haekal, masa bodoh jika nanti Haekal merasa merepotkan, yang Taesya pikirkan saat ini hanyalah kebahagiaan Haekal.
"Mas Taesya!" Pekikkan itu begitu nyaring, seakan yang berteriak sudah lupa jika ini adalah rumah sakit. Apalagi dengan derapan sepatu yang juga keras dan menggema ke seluruh ruangan.
Taesya mengernyit, tidak biasanya orang yang ada di hadapannya itu tidak segan-segan membawa serta kakak tirinya. Setidaknya, ada sedikit rasa senang kala melihat kedua orang itu disini dan yang pastinya untuk Haekal.
"Mas Taesya ...," ucap Rendhi terputus-putus, jarak bicaranya panajng hanya untuk menarik nafasnya yang memberat karena berlari sambil menarik tangan Dovian tadi, "Bunda ...."
Taesya mengernyit tidak paham, kalimat Rendhi terlalu pendek dan tidak jelas, "Nafas dulu yang bener, baru ngomong."
Rendhi akhirnya menarik nafas panjang, hingga tidak butuh berlama lagi, nafasnya sudah terdengar normal, "Bunda mau pulang ke Jakarta."
Mata Taesya membulat sempurna mendengarnya, seakan baru saja mendengar berita yang mustahil telah terjadi, "Kok bisa?"
Rendhi menggeleng, "Gue nggak tau, tapi yang pasti tadi ayah udah kabarin kayak gitu. Gue juga bawa Mas Doy sekalian kesini, siapa tau bisa ngurangin sakitnya Haekal."
Taesya tersenyum, hatinya menghangat kala tau disini bukan dirinya saja yang berjuang setengah mati untuk Haekal, "Makasih ya, Ren."
"Echan nggak akan pergi ... nggak akan," gumam Dovian, membuat Rendhi dan Taesya memadangnya.
Taesya menatap Dovian sendu, kalimat Dovian itu merupakan harapannya saat ini, "Doy, jangan lupa berdoa buat Haekal. Lo adalah kakak yang paling Haekal sayang."
Dovian memang seakan menatap Taesya, hanya saja irisnya tidak bisa fokus dengan baik. Biarpun dengan kekurangan itu, Dovian begitu mengerti setiap keadaan yang tengah terjadi, dari mulai cerita Rendhi tentang penyakit Haekal yang menurutnya parah, sampai wajah khawatir Rendhi yang menggambarkan ketakutannya akan kepergian Haekal.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunshine Becomes You [END]
Random"Senyum dan tawanya tidak akan pernah hilang, meski dunianya sudah kelam" Kadang memang dia menyebalkan, ibunya bilang dia merepotkan. Tapi, setidaknya dia sadar dia punya tanggung jawab, dia sadar dia satu-satunya harapan untuk keluarganya. Dia hid...