Pusing di kepala Haekal mulai mencuat tinggi, namun senyumannya belum pudar untuk Amara yang berdiri di sampingnya. Haekal berusaha keras untuk terlihat baik-baik saja.
Namun, faktanya setiap manusia punya batasan, termasuk pertahanan Haekal. Remaja itu mulai merasakan ada cairan yang mengalir dari hidungnya, Haekal menyekanya perlahan, dengan takut ia memandang cairan yang rupanya begitu kental.
“Chan, itu darah!” seru Amara kala melihat jelas jemari Haekal yang habis menyeka filtrumnya.
Bruk!
Beberapa detik setelahnya, usaha Haekal hancur begitu saja, tubuhnya sudah tidak ingin mendukung pertahannya, Haekal limbung, namun dengan cepat Amara menahan kepala Haekal agar tidak membentur lantai. Amara memangku kepala Haekal di pahanya.
“Ren, tolongin!” panggil Amara saat melihat Rendhi yang baru akan menghampiri kawannya di kelas X IPS 4.
Rendhi berlari ke arah Amara yang tak jauh darinya, ia bingung setengah mati dengan Haekal yang pingsan, dan Amara yang dilanda kepanikan. Rendhi menyadari tubuhnya yang kelewat mungil ini, “Kal, bangun dong, gue nggak kuat ngangkat lo.” Rendhi tidak mungkin bisa mengangkat Haekal.
“Ren, jangan bercanda dulu dong!” balas Amara kesal.
Hingga tak berapa lama, Jehan keluar dari kelas dengan gaya maskulinnya, tapi tetap saja ikut panik kala melihat Haekal sudah terbaring tidak berdaya di lantai. Ia juga berlari menuju tempat Haekal dan Amara ditambah Rendhi sekarang.
“Sini, biar gue yang angkat,” tukas Jehan menyelesaikan masalah Amara sekaligus Rendhi.
Dengan langkah yang lumayan cepat, dan keberuntungan kelas mereka berada di lantai pertama, jadilah mereka kilat tiba di unit kesehatan sekolah. Jehan langsung membaringkan tubuh Haekal ke brankar.
“Jehan, tolong bantu saya melepas dasi, dan ikat pinggang Haekal,” perintah dokter di ruang kesehatan itu, bahkan sebelum melihat keadaan Haekal.
Jehan celingukan bingung, ia tidak tau apa yang harus dilakukan, “Bu, Haekal nggak pake dasi sama ikat pinggang.”
“Apa?!” Dokter itu langsung terkejut dan melihat tubuh Haekal yang memang tidak ada dasi dan ikat pinggangnya, matanya kini tertuju pada Jehan, “kamu juga kenapa tidak pakai dasi sama ikat pinggang.”
“Bu, tolong bu ... jangan marah-marah sekarang, Haekal butuh penanganan sekarang juga, tadi badannya juga panas banget,” lerai Amara kemudian.
Dokter jaga di sekolah itu langsung tersadar kemudian bergegas memasangkan infus pada Haekal. Namun, hal lain malah terjadi pada tubuh ringkih itu, kepala Haekal terlihat bergerak ke kanan dan kiri tidak nyaman, tubuhnya juga terlihat menggigil, bibirnya terus mendesis karena menggigil.
Manik Amara mengedar mencari apapun yang bisa menghangatkan Haekal, hingga tertuju pada tumpukan selimut yang ada di brankar lain di ruang kesehatan. Segeralah gadis itu mengambilnya dua lapis, kemudian menyelimuti Haekal dengan telaten.
“Kamu benar Amara, panasnya tinggi sekali. Kalau begini harus dibawa ke rumah sakit, sebelum dia mengalami kejang,” pinta dokter jaga tersebut.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunshine Becomes You [END]
Aléatoire"Senyum dan tawanya tidak akan pernah hilang, meski dunianya sudah kelam" Kadang memang dia menyebalkan, ibunya bilang dia merepotkan. Tapi, setidaknya dia sadar dia punya tanggung jawab, dia sadar dia satu-satunya harapan untuk keluarganya. Dia hid...