“Sel kanker pada hatinya sudah meluas, jadi kami sangat menyarankan untuk langsung melakukan pengobatan. Kamu temannya yang waktu itu kan?” terka Dokter Bayu, setelah tiba-tiba mendapat kabar Haekal kembali ke rumah sakit.
Narendra hanya diam, dalam hatinya berteriak khawatir dan begitu terkejut. Ia tidak bisa membayangkan jika nanti Haekal kehilangan cerianya, ia tidak bisa kehilangan temannya.
“Hei ... kamu sendiri? Dimana wanita yang tadi bersamamu?” tanya Dokter Bayu lagi.
“Ah ... itu––guru saya dan Haekal, dia ada urusan dengan anaknya, jadi harus cepat untuk pulang,” ucap Narendra menjawab pertanyaan sang Dokter.
“Yasudah, nanti saya hubungi Taesya.”
Narendra mengangguk, kemudian bibirnya melantunkan kata permisi untuk Dokter Bayu. Remaja itu perlahan keluar dari ruangan pribadi dokternya Haekal itu.
Narendra berjalan lemas menuju bangsal Haekal, berharap jika semua hal yang ia dengar hari ini hanyalah sebuah bunga tidur baginya. Pikirannya melayang jauh, hingga tidak terasa sudah berada di depan pintu bangsal Haekal.
Sementara di dalam, rupanya manik hitam kelam milik Haekal Chandrisyi Adhitama itu membuka, menampilkan sinar yang sedikit meredup itu. Perlahan, Haekal sadar dimana ia berada saat ini, disertai dengan perih tak tertahan dari perutnya. Reflek, Haekal mencengkram kuat perutnya.
Rahang laki-laki itu mengeras, mendeskripsikan betapa besar rasa sakit yang ia rasakan saat ini. Kaki Haekal yang tertutup rapih dengan selimut itu bergerak tidak beraturan, tangannya yang lain mengacak sprei rumah sakit. Haekal tidak ingin menjalani pengobatan, tapi bukan berarti dia berniat bunuh diri.
Haekal itu mengerti, karena ayahnya selalu mengungkit soal dosa bunuh diri. Tapi bukankah ketika kita merasakan semuanya terlalu berat, ingin rasanya menyerah dan lari dari setiap kenyataan pahit yang sengaja mengiris hati. Haekal sudah memutuskan, ia akan membiarkan Yang Maha Esa sendiri yang mentakdirkan kapan ajalnya.
Haekal tidak mau ikut campur, apalagi membantu dengan berusaha bunuh diri. Haekal masih takut ditanya malaikat di alam kubur, atau disiksa di alam itu jika sengaja menamatkan riwayatnya sendiri di dunia. Haekal tidak mau jika ayahnya nanti terseret ke neraka, hanya karena ia bunuh diri.
Di saat sendirinya laki-laki itu, rupanya masih ada seseorang yang mau memandangnya yang terlihat begitu menyedihkan itu. Saking terlalu fokus pada rasa sakitnya, Haekal tidak menyadari jika pintu bangsalnya sudah terbuka, menampakkan sosok remaja seumuran dengan dirinya disertai wajah sendunya.
Kedua tungkai ramping milik Narendra itu berjalan begitu lambat menuju bangsal Haekal, rasanya ia tidak kuat ketika memandang jelas raut kesakitan Haekal. Dia mungkin hanya Narendra Arisyi Cakrashena yang berstatus sebagai teman Haekal disini, tapi entah kenapa rasanya seperti membaca buku bergenre angst, ketika ia ikut merasakan dadanya menyesak melihat Haekal yang tengah susah payah menahan perih.
“Kal ...,” lirih Narendra tertahan, malu saja dirinya jika harus menangis di hadapan Haekal.
Haekal menoleh pelan, mengangkat kepalanya demi melihat siapa yang datang. Sontak saja raut kesakitan itu menghilang sepenuhnya, Haekal tetap saja Haekal yang dulu, dirinya adalah Haekal yang baik-baik saja, bukan Haekal yang menyedihkan seperti ini.
Dengan gerakan cepat, Haekal mengganti posisi baringnya menjadi duduk, celingukan memandang Narendra dari atas hingga bawah, “Lo kesini nggak bawa apa-apa?” tanya Haekal tanpa rasa berdosa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunshine Becomes You [END]
Random"Senyum dan tawanya tidak akan pernah hilang, meski dunianya sudah kelam" Kadang memang dia menyebalkan, ibunya bilang dia merepotkan. Tapi, setidaknya dia sadar dia punya tanggung jawab, dia sadar dia satu-satunya harapan untuk keluarganya. Dia hid...