Rupanya, hari itu begitu panjang. Dimulai dari pengambilan rapot yang berujung pada terbaringnya Haekal di rumah sakit. Mungkin Haekal masih belum mendapatkan kasih sayang ibunya, tapi ia sudah cukup membuat Narendra, Amara, dan Taesya hampir saja terkena serangan jantung dadakan.
Awalnya, Haekal memang masih memikirkan soal gadis bernama Amara Harimurti Bramasta yang selalu datang di saat ia butuhkan, meskipun hanya sebagai penghibur bukan seorang yang bisa mengobati lukanya.
Tapi, ucapan Taesya ada benarnya, rasanya terlalu muda dirinya untuk memikirkan cinta, meskipun rasa itu tetap ada. Haekal hanya butuh satu wanita dalam hidupnya sekarang ini, ibunya, dan selalu ibunya. Bunda Zoya yang selalu ia rindukan.
"Mas ...."
Taesya yang tengah mengetik cepat di laptopnya, menghentikan aktivitasnya dan menoleh pada Haekal yang memanggilnya. Taesya memandang anak itu cukup lama, sambil menunggu apa yang akan dikatakan bocah berusia enam belas tahu itu.
"Emang kalo jomblo mesti banget malah nginep di rumah sakit?" tanya Haekal, yang berposisi duduk di ranjang pasiennya.
Taesya mengernyitkan dahinya, sedang mencerna kalimat Haekal, "Kenapa lo mau pulang?"
"Bukan gue, tapi lo."
Taesya menggeram kesal, lagi-lagi si Anak Bau Kencur itu mengatainya jomblo. Benar memang, tapi rasanya tidak elit saja, "Beneran ya lo, bukan Kali Ciliwung, entar gue lempar lo ke pantai selatan."
Haekal terkekeh, berhasil juga ia mengerjai seniornya di tempar kerja itu. Lelucon receh yang ia sajikan seperti tadi, sebenarnya hanya pelariannya dari rasa sakit. Haekal sadar kalau penyakitnya sudah meluas, bahkan rasa nyeri di perutnya tidak mau memberinya istirahat.
"Tidur aja lo, males dengerin ocehan nyebelin lo." Taesya kembali berkutat pada laptopnya.
Haekal berhenti tersenyum, raut wajah kesakitan itu yang malah menggantikannya. Haekal menggigit bibirnya kuat, menahan rasa sakit yang semakin lama semakin mencuat tinggi. Malam ini, ia masih sadar ada Taesya, jadi perlahan ia memilih membaringkan tubuhnya.
Haekal tidur memunggungi Taesya, tidak ingin pria yang lebih tua darinya itu tau kalau ia sedang menahan sakit. Haekal meremat kuat perutnya yang terasa begitu perih. Ia ingat ia bahkan tidak sanggup menelan makanan rumah sakit yang diberikan.
"Ayo ... tidur saja Echan! Biarkan sakitnya! Jangan peduli Echan!" Haekal membatin, menyemangati dirinya sendiri.
Nafasnya tercekat, Haekal juga menahan teriakan ataupun ringisan yang nanti malah keluar tanpa izin. Haekal membasahi bibirnya yang terasa kering setelah ia gigit tadi, saat itulah ia juga mengecap darah yang berasal dari bibirnya.
Haekal memejamkan matanya, sebagai pelampiasannya karena tak sanggup menahan sakit itu lagi. Hingga akhirnya Haekal benar-benar sudah tidak meremat perutnya, kegelapan telah menariknya. Membawa Haekal untuk berlari dari penatnya kehidupan, meski hanya untuk sementara.
Taesya baru saja menyelesaikan beberapa halaman skripsi yang telah ia ketik barusan. Pria itu memutuskan untuk merapihkan peralatannya dan beranjak mendekat menuju ranjang pasien Haekal. Taesya berjalan ke arah dimana Haekal memunggunginya, agar ia bisa melihat wajah anak itu.
Satu kata yang bisa Taesya deskripsikan untuk remaja di hadapannya ini. Pucat. Wajah Haekal tidak lagi ceria seperti dulu, kantung mata yang juga ikut melekat di sana. Taesya mengelus pelan surai Haekal, mencegah agar anak itu tidak terbangun.
"Gue nggak minta lebih dari lo, Kal. Gue cuman pengen lo bisa bertahan sedikit lebih lama. Gue tau pasti sakit banget, tapi Haekal yang gue tau nggak bakal gampang nyerah gitu aja. Sabar ya, Haekal. Mungkin Allah sedang menghapuskan dosa-dosa lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunshine Becomes You [END]
Random"Senyum dan tawanya tidak akan pernah hilang, meski dunianya sudah kelam" Kadang memang dia menyebalkan, ibunya bilang dia merepotkan. Tapi, setidaknya dia sadar dia punya tanggung jawab, dia sadar dia satu-satunya harapan untuk keluarganya. Dia hid...