“Gue suka sama lo, Ra.”
“Maksud lo apa, Kal?”
Amara dan Haekal sama-sama menoleh ke arah pintu kelas, memandang Narendra yang melangkah cepat menuju keduanya. Terlihat jelas perasaan marah di mata Narendra sekarang.
“Lo temen gue! Dan udah lama lo tau gue suka sama Ara, harusnya lo bisa jaga perasaan lo dong, Kal!” bentak Narendra pada Haekal keras.
“Na ... udah, keluar aja yuk ...,” pinta Amara memandang lekat pada remaja yang sampai kehilangan predikat playboy-nya untuk Amara.
“Gue mengakui kalo ini salah, Dra. Tapi emangnya gue bisa ngatur perasaan gue sendiri? Enggak lah ... Dra! Harusnya lo juga sadar, kalo di luar sana mungkin bukan cuman lo yang jatuh cinta sama Amara.”
Haekal menghela nafasnya sebentar setelah bicara panjang lebar, “Sekarang lihat, Dra! Amara sukanya sama lo! Karena Amara tau meskipun katanya lo buaya, tapi nggak kalo buat dia. Lo bahkan seperti laki-laki yang lebih baik daripada laki-laki lain di mata Amara. Harusnya lo sadar itu, Dra.”
Narendra dan Amara terdiam, malah Haekal yabg memilih keluar dari kelas. Sudah cukup pernyataan perasannya, karena ia sudah tau jawabannya. Amara akan tetap memilih Narendra sampai kapanpun.
.
.
.
.
.
.
Haekal menyalakan sepuntung rokok yang ia simpan di kantung celananya. Di atap sekolah memang kadang menjadi tempatnya menyebat rokok, karena tidak ada seorang pun disana. Sedikit menenangkan pikirannya, karena semakin hari semakin berat kehidupan yang ia jalani.
Semenjak, sosok ayah di hidupnya sudah tidak berada di sampingnya. Serta, sosok sang Ibu yang juga tidak lagi membelainya, memberikan kasih sayang.
Kadang, Haekal juga menyesal hidup dengan fisik yang sempurna, kenapa bukan dia saja yang cacat seperti Dovian, agar lebih diberikan perhatian. Karena dirinya yang lahir tanpa kekurangan, ia malah kehilangan segalanya termasuk kasih sayang.
“Ayah ... Echan rindu ayah, tapi Allah belom mau mencabut nyawa Echan ... Echan capek ... bunda nggak pernah lagi peduli sama Echan, bunda udah cukup sama Mas Doy, yah ....”
Haekal terduduk, bersandar pada pembatas gedung, sambil sesekali masing menghirup puntung rokoknya. Dulu, ia bahkan begitu membenci bau rokok, tapi sekarang rasanya hanya itu yang bisa mengalihkan pikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunshine Becomes You [END]
Random"Senyum dan tawanya tidak akan pernah hilang, meski dunianya sudah kelam" Kadang memang dia menyebalkan, ibunya bilang dia merepotkan. Tapi, setidaknya dia sadar dia punya tanggung jawab, dia sadar dia satu-satunya harapan untuk keluarganya. Dia hid...