“Disini aja, Dra!” ucap Haekal, setelah mobil Narendra tiba di depan rumah Rendhi. Haekal sudah bersiap untuk keluar dari mobil, “Ra, Dra, kita carinya jalan aja, takutnya malah nggak ketemu kalo naik mobil.”
Amara dan Narendra mengangguk, kemudian mengikuti Haekal keluar mobil. Setelah keluar, barulah ketiganya melihat Rendhi dan Arshen berlari dari dalam rumah mendekati mereka.
“Kal ... gue––“
“Gue tau jagain Mas Doy itu nggak gampang, makanya bunda sering banget hukum gue kalo sekali aja lalai buat jagain Mas Doy. Di saat kayak gini, gue nggak perlu drama-drama minta maaf, mending kita cari Mas Doy langsung.” Haekal berujar cepat, memotong ucapan Rendhi sebelumnya.
Kemudian, Haekal berjalan agak cepat meninggalkan mereka. Namun, dengan segara mereka juga ikut berpencar untuk mencari Dovian. Saat itulah, Rendhi sadar tidak ada yang mengetahui Dovian sebaik Haekal. Maka, dirinya bingung saat ibu sambungnya memilih memisahkan keduanya.
Hari sudah mulai gelap, begitupun dengan jalan setapak yang dilalui Haekal. Remaja itu sudah berjalan hampir sampai pada belakang komplek yang jarang dihuni orang, dan memang hanya diberi sedikit penerangan. Haekal terus berjalan, menghiraukan penyakitnya yang mulai lagi berulah.
Haekal meremat perutnya yang kembali terasa perih, hari ini ia kembali melewatkan makan, ditambah dengan organ hatinya yang semakin hari semakin rusak. Tapi, kaki ringkihnya tak mau berhenti hingga kakaknya ketemu dengan selamat.
“Tidak! Doy nggak punya duit! Nggak punya!”
“Bos, kayak dia mah nggak usah dipalak, langsung hajar aja!”
“Woi!” Haekal berteriak menarik atensi beberapa pria dewasa di hadapannya itu.
“Waduh ... ada pahlawan kemaleman nih ....” Salah satu dari preman itu berucap asal, mungkin tidak cocok jika menyebut pahlawan kesiangan, karena hari sudah malam.
Haekal berlari menghampiri Dovian, kemudian merangkul kakaknya itu, “Mas Doy ....”
Bugh!
Tubuh Haekal limbung saat satu pukulan mendarat keras di sudut bibirnya. Haekal menatap Dovian, yang masih berdiri dengan wajah panik di sampingnya, “Lari, mas!”
Tanpa pikir panjang, Dovian berlari meninggalkan Haekal dan kerumunan preman itu. Pikiran Dovian hanya terisi oleh adiknya sekarang, tapi ia tidak bisa berbuat lebih selain panik dan menangis.
Sementara itu, Haekal masih berusaha bangkit untuk bersiap menghajar preman yang sempat akan berurusan dengan sang Kakak. Haekal terus dipukul, tapi tidak sedikit juga Haekal membalas mereka. Di keadaan genting seperti ini, lelaki mesti memaksakan bakat yang tidak tertanam dalam diri itu keluar, seperti bela diri.
Bugh!
Duakh!
Brugh!
Haekal terjatuh lagi, kali ini tubuhnya sudah benar-benar lemas, sakit di perutnya yang kambuh dari beberapa menit lalu belum juga hilang. Haekal pasrah, ia biarkan beberapa preman itu menghajarnya.
Bugh!
Duakh!
“Ergh ....” lirih Haekal, saat merasakan perutnya yang nyeri ditambah dengan tendangan keras yang mengenai sisi yang sama.
Buakh!
Kepala Haekal mulai terasa pusing, pandangannya berbayang. Sekarang ia hanya bisa melihat seorang pria menghajar preman-preman komplek tadi, bukan hanya dia, tapi ada satu remaja lagi yang ikut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunshine Becomes You [END]
Acak"Senyum dan tawanya tidak akan pernah hilang, meski dunianya sudah kelam" Kadang memang dia menyebalkan, ibunya bilang dia merepotkan. Tapi, setidaknya dia sadar dia punya tanggung jawab, dia sadar dia satu-satunya harapan untuk keluarganya. Dia hid...