Icang terengah menatap nanar ruangan yang dulu hampir seumur hidupnya ia habiskan di dalamnya, bertumpu pada kedua tangan dan kakinya. Mencoba menahan semua rasa nyeri di sekujur tubuhnya saat ini.
Perabotnya memang sudah banyak berubah daripada 35 tahun yang lalu, saat ia pertama kali masuk, melahap sepiring makanan dan segelas susu coklat.
Yang tak berubah adalah orang yang duduk di balik meja itu. Meski perawakannya sedikit berubah karena usia, namun itu masih Raul yang sama. Orang yang sangat ia kagumi dan hormati.
Icang tak bisa terus-terusan seperti ini. Ia memang pantas mati bila itu yang dikehendaki Raul atas semua yang ia perbuat pada Mauren.
Ya Tuhan, bagaimana bisa ia lepas kendali dan menciumi Mauren seliar itu. Untung akal sehatnya segera kembali sebelum ia makin tak bisa mengendalikan apapun. Ia bisa saja menyakiti gadis itu lebih dalam lagi. Ia akan merenggut semuanya bila ia tak segera melepaskan diri.
Ia terbenam dalam mimpi erotis setiap malam sejak saat pertama kali Mauren menyatakan cinta. Bagaimana kaki jenjangnya itu seakan melingkari tubuhnya, dan wajah halus yang malam itu ia telusuri seakan masih terasa di ujung jemarinya. Membuat Icang membiarkan diri menggila di alam mimpi.
Ia memang pantas mati di tangan Raul, karena dengan kurang ajarnya berfantasi tentang anak gadis mantan atasannya tersebut. Dan babak belur tubuhnya saat ini masih jauh dari kata cukup untuk membalas perbuatannya.
"Setelah ini kamu mau kemana?" suara berat itu terdengar lemah, antara belas kasih, dan penuh kekhawatiran. Icang merasa tak pantas menerima semua ini.
Harusnya nada itu terdengar mencemooh atau dingin. Itu lebih baik. Namun mengapa Raul tak memberikannya untuknya. Icang semakin rendah diri.
"Tolong, Tuan... Jangan gunakan nada itu lagi pada saya. Saya bersalah, Tuan. "
"Abang..." potong Raul.
"Apa?" sahut Icang bingung.
"Kenapa kamu panggil aku Tuan lagi? Kamu sudah bukan anak buahku lagi, Cang.."
Icang semakin merunduk.
"Ini semua bukan kehendakmu. Aku sangat mengenalmu dan Mauren. Tapi bagaimanapun juga aku harus menghajarmu untuk menepati janjiku sendiri. Siapapun yang telah menyakiti hati putriku, aku akan menghajarnya."
Icang mengangguk pada dirinya sendiri. Sumpah itu juga ia tanamkan. Karena dialah yang membuat Mauren menangis malam itu, ia dengan sukarela mendatangi Raul dan meminta dirinya dihajar.
Icang bisa melihat wajah tenang Raul sedikit terkejut dengan pengakuan Icang tadi. Icang dengan jujur menceritakan semua yang telah ia perbuat pada Mauren. Tanpa menyinggung hal yang dilakukan Mauren. Dan menerima semua pukulan Raul tanpa membalas sekalipun.
"Apa kamu mencintainya?"
"Saya tidak pantas..."
"Apa kamu mencintainya,Cang..."
"Ya, Bang... Saya mencintainya... Tapi saya tidak bisa, Bang... "
"Kenapa?"
Icang tak habis pikir dengan pertanyaan Raul. Icang tak tahu harus menjawab apa. Apa ini semacam uji kelayakan apakah jawabannya mempengaruhi nasibnya nanti. Sungguh ia hanya ingin terbebas dari urusan ini. Tak tahukah Raul bagaimana tersiksanya Icang saat ini.
"Saya tidak yakin bisa membahagiakannya, Bang. Mauren layak mendapat yang terbaik. Saya hanya Icang. Bahkan untuk hidup saya bergantung pada anda. Bagaimana mungkin saya berani mengharapkan Mauren."
"Bagiku yang terpenting adalah kebahagiaan Mauren... Kalau dia bahagia sama kamu, aku hanya akan menurutinya."ucap Raul muram.
"Jangan...Ada banyak laki-laki yang lebih dari mampu untuk mencintai dan membahagiakan dia daripada saya, Bang. Hanya tinggal membiarkan Mauren untuk mengenal dunia selain berada di sekitar saya. Saya akan menjauh agar dia bisa memahami perasaannya selama ini."

KAMU SEDANG MEMBACA
About Our Heart
Storie breviSetelah kenekatan konyolnya tak berbalas, membuat Mauren menjauhi Om Icang tersayangnya. Dirinya bukan lagi anak kecil yang bisa bermanja-manja pada lelaki itu, meskipun lelaki itu masih saja menganggapnya anak kecil kesayangannya. Kapan sih, Om Ica...