Happy reading😊😊
****Pesta yang dilanjutkan dengan makan malam bersama itu akhirnya selesai juga. Mauren sedikit bernafas lega. Lalu kembali muram karena menyadari sisa waktu bersama Icang tinggal menghitung hari..
Sepanjang makan malam, tatapan mata Icang tak lepas memandanginya. Sekujur tubuh Mauren merinding. Teringat apa yang tadi mereka lakukan di kamar lantai atas, di saat banyak orang yang berkumpul di lantai bawah.
Astaga, bahkan pesta ini tadi adalah pestanya. Bisa-bisanya mereka menyelinap dan berbuat hal tersebut di tengah berlangsungnya pesta. Hanya karena saat wajah Icang yang seperti terpukul dan tak percaya saat mendengar pengumuman bahwa Mauren akan berangkat ke luar negeri membuat Mauren ingin memeluk pria itu.
Belum lagi sorot tajam papanya yang juga terlihat seperti menilai-nilai. Papanya sering menatap Icang juga dirinya sepanjang sisa acara setelah mereka kembali dari kamar. Jangan bilang kalau papa sudah curiga dengan semua yang sudah ia lakukan bersama Icang tadi.
"Tiket keberangkatanmu baru saja papa reschedule, Babygirl..." ucap Raul yang tiba-tiba saja duduk di sebelah Mauren.
Tubuh Mauren mendadak kaku. Nada bicara papanya terdengar dingin. Nada yang tak bisa dibantah ataupun dibalas dengan pertanyaan juga, padahal Mauren jelas ingin mempertanyakan alasan dari ucapan Raul tadi.
Mauren sadar, papanya pasti marah oleh sesuatu.
"Pa...?" suara Mauren tercekat.
"Lusa kamu harus sudah berangkat. Untuk seminggu awal, Papa dan mama akan ikut ke sana sambil menunggu Michael datang." lanjut Raul.
Lusa...?
"Tapi, Pa... Bukannya Mauren berangkat dua minggu lagi?"
"Setelah itu, papa akan pulang dan menyelesaikan urusan yang tertinggal di sini, dan mama akan menemanimu dua minggu lagi. Baru setelah kamu benar-benar sudah terbiasa dengan rutinitas di sana mama akan pulang." lanjut Raul tak mengindahkan pertanyaan Mauren.
Mauren masih terdiam saat papanya beranjak. Tubuhnya gemetar oleh rasa takut. Sangat jarang Papanya seperti ini. Dingin dan tak bisa dibantah. Pasti,, pasti papanya mengetahui semua yang ia lakukan bersama Icang tadi.
Bodoh...
Bukankah papa selama ini memberi lampu hijau pada hubungannya Icang. Tapi saat ini, bahkan lampu kuningpun sudah diredupkan oleh papanya. Dan itu semua kesalahan Mauren. Maurenlah yang menggoda Icang pertama kali.
Mauren mencoba memahami arti dari kalimat "menyelesaikan urusan yang tertinggal di sini", Mauren bisa merasakan tubuhnya meremang oleh rasa takut. Takut bila urusan itu adalah Icang.
Mauren hendak meraih ponsel yang tadinya ia letakkan di meja di hadapannya. Namun benda pipih itu sudah tidak berada di sana lagi.
Oh tidak... Pasti Papa membawanya tadi.
Ya Tuhan, ini berarti hanya sisa sehari dia ada di sini, dan ia tak bisa menghubungi Icang sama sekali. Padahal ia sudah merencanakan kebersamaan mereka dua minggu ke depan. Namun sekarang sia-sia. Bahkan untuk mendengar suaranya saja akan mustahil bila papanya sudah turun tangan sejauh ini.
Mau tak mau Mauren beranjak ke kamar, mulai mengepak semua hal yang harus ia bawa pergi. Berusaha tidak membangun konfrontasi lebih jauh dengan sang papa, karena pasti hasilnya sia-sia.
****Raul menyerahkan ponsel Mauren saat perjalanan menuju bandara dua hari kemudian. Mauren menerimanya tanpa banyak kata dan langsung memasukkannya ke dalam tas tanpa menyalakannya. Di sebelah Mauren, Mela juga tak banyak bicara. Hanya sesekali menghela nafas dan memandang prihatin pada putrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Our Heart
Short StorySetelah kenekatan konyolnya tak berbalas, membuat Mauren menjauhi Om Icang tersayangnya. Dirinya bukan lagi anak kecil yang bisa bermanja-manja pada lelaki itu, meskipun lelaki itu masih saja menganggapnya anak kecil kesayangannya. Kapan sih, Om Ica...