Happy reading 😊😊
****"Pa, Ma,, Mauren nggak bisa nerusin rencana pertunangan Mauren sama Michael.. Aku ingin kita batalin rencana itu" ucap Mauren pagi itu saat mereka tengah sarapan.
Papanya hanya menatapnya sekilas, tapi Mauren yakin dia bisa melihat sudut bibir papanya terangkat naik.
Mauren menelan ludah saat menatap mamanya. Mamanya menghentikan sarapannya dan nampak syok.
"Bilang sama mama kalau kamu bercanda, Mauren sayang.." desak Mela.
"Mauren serius, Ma.."
"Tapi... Kurang tiga hari lagi, dan kamu bilang batalin. Bagaimana kalau Michael kecewa, Tante Roselyn dan Om Rafael kecewa dan malu, Ren. Undangan udah disebar."
"Belum..." suara Raul memotong ucapan Mela. Terlihat Papa Mauren itu juga menghentikan makannya.
"Apa yang Abang maksud dengan 'belum' itu, hah?" suara Mela nampak gusar.
Raul berdeham sebentar, wajahnya nampak menahan senyum. Tidak mungkin dia bisa cengar-cengir sementara istrinya siap meledak. Mauren hanya menunduk menatap piringnya, tak kuasa menatap orang tuanya yang bakal bertengkar gara-gara dirinya.
"Jelaskan, Bang... Undangan sudah aku serahkan pada Abang dan Rafael untuk dibagikan, bagaimana abang bisa bilang itu belum?"
"Karena aku dan Rafael memang sepakat tidak membagikannya, Mel..."jawab Raul.
"Kenapa?"
"Ya, karena aku dan Rafael bisa melihat anak-anak kita nggak saling cinta. Mereka sebenarnya sudah punya pilihan masing-masing. Kami hanya menunggu mereka bisa ngomong sendiri ke kami, kamu dan Roselyn. Seandainya pun pada akhirnya mereka tak ada yang berani buka suara, kita tetap merayakannya dan sepakat hanya mengundang keluarga Rafael dan keluarga si kembar.
"Lalu bagaimana dengan persiapan dengan EO yang kalian sewa?"
"Tetap kita pakai kan bisa, mungkin untuk acara kumpul-kumpul aja, gimana? Kita tetap akan mengundang keluarga Rafael dan si Kembar, sudah lama juga kan kita nggak berkumpul." usul Raul.
Mauren melihat Mamanya berdiri dan memandang gusar ke arah Mauren dan Papanya.
"Terserah kalian, Mama pusing.." putusnya lalu berlalu dari ruang makan.
Mauren masih menekuri piring di hadapannya.
"Jadi sudah bicara dengan Icang?"
Mauren mengangguk lalu meneguk ludahnya gugup. Ia masih belum berani mengatakan sejauh apa proses "bicara" yang mereka lakukan kemarin.
"Jadi, nggak perlu galau lagi, kan. Masih tetap ingin berangkat ke Inggris?" tanya papanya lagi.
Mauren tak segera menjawab. Bagaimanapun awalnya ia menghendaki pergi ke Inggris hanya karena ingin menjauh dari Icang. Sekarang mereka sudah berbaikan. Tapi mengingat sulitnya proses dan biaya yang tidak sedikit untuk memastikan dia bisa pindah kuliah ke sana, sungguh sayang bila Mauren membatalkan itu semua.
"Kalau kamu keberatan, nggak jadi berangkat juga nggak apa-apa, Sweetheart.." ucap papanya seakan tahu isi pikiran Mauren.
"Tapi, Pa, Mauren nggak mungkin membiarkan uang sebanyak itu dan proses yang rumit kemarin sia-sia. Mauren akan tetap berangkat."
"Icang setuju?"
"Ini pendidikan Mauren, Pa... Om Icang harus setuju. Nanti Mauren yang bilang ke Om Icang"
Raul hanya menggeleng tak yakin. Sebenarnya berat bila dia membiarkan Mauren tetap berangkat ke luar negeri. Jauh dari mereka. Namun memang benar kata Mauren, mereka sudah menghabiskan banyak uang dan proses yang rumit agar dia bisa memastikan Mauren bisa ke sana. Jadi sungguh sayang kalau itupun jadi sia-sia. Bisa-bisa Mela tambah mengamuk. Sudah habis uang untuk EO dan acaranya batal. Masa kuliah di Inggris juga batal.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Our Heart
Short StorySetelah kenekatan konyolnya tak berbalas, membuat Mauren menjauhi Om Icang tersayangnya. Dirinya bukan lagi anak kecil yang bisa bermanja-manja pada lelaki itu, meskipun lelaki itu masih saja menganggapnya anak kecil kesayangannya. Kapan sih, Om Ica...