#Chapter 1

363 38 3
                                    

Hujan turun membasahi ranah ibu kota di senja yang muram kelabu. Seorang pria duduk di tepi jendela sebuah coffee shop sembari mengamati hiruk pikuk di jalan yang penuh dengan kehidupan.

Seorang pria tua terlihat mendorong gerobak yang sudah penuh dengan kardus yang ditutupi plastik lusuh. Memastikan hasil kerja kerasnya hari ini tidak terguyur rinai hujan.

Pengendara yang tak sabaran terlihat berusaha saling menyalip. Suara klakson pasti memekakkan telinga di luar sana.

Seorang ibu terlihat memeluk anaknya erat di bawah payung besarnya. Memastikan sang buah hati aman dari timpaan hujan.

Seorang anak kecil terlihat mengikuti seorang wanita muda yang memakai payung yang sangat tidak matching dengan stelan kantornya. Ah, pastilah ia seorang ojek payung.

Pengarah jalan liar yang memakai jas hujan kebesaran dan masih banyak lagi kehidupan yang pria itu lihat di luar sana. Kalau saja dia di luar, pasti telinganya sudah sakit mendengar pekikan klakson yang bercampur dengan tumpahan hujan deras itu. Tapi di sinilah ia. Menikmati minuman hangatnya dengan segala kenyamanan yang ada.

Pria itu meneguk lambat coffee lattenya yang masih mengepul sembari memeriksa notifikasi yang masuk ke iphone-nya. Hanya pesan-pesan yang tak ingin ia baca. Tapi kemudian, ada sebuah panggilan masuk. Untuk yang ini, dia mengangkatnya.

"Hmm, what's up bro?" Sapanya sambil terus melihat ke luar jendela coffee shop tepi jalan yang ia datangi.

"....."

"Baiklah. Datanglah ke hotel dan bawa orang EOnya. PR hotel akan membantumu."

"......"

"Ya. Aku juga dengar beritanya. Sekarang dia menetap di Prancis. Mungkin tidak akan kembali."

"....."

"Tidak semua orang seberuntung dirimu brengsek."

"....."

"Siap Pak. Apapun untuk anda dan nyonya, Tuan Bramantiyo."

Pria itu menutup panggilannya dan menghela nafas. Dari semua empat sekawan yang menjadi sahabatnya, hanya Fabian Chandra Bramantiyolah yang sudah punya pendamping saat ini. Seorang wanita jelita yang mengingatkannya akan seseorang dari masa lalunya. Seorang jelita yang mengingatkannya akan rindu yang sampai kini masih menggebu. Ia sempat terpikat dengan wanita yang kini telah menjadi istri sahabatnya itu, tapi hanya sesaat karena dia tahu, siapa yang sebenarnya telah memikat hatinya sedari dulu.

FLASH BACK ON

Tony baru saja kembali ketika dia melihat supir ibunya tengah asik menerima telepon di teras samping. Saking asiknya, dia sampai tidak menyadari kehadiran majikan mudanya. Tony yang tak ingin menganggu supir ibunya itu hendak meninggalkan sang supir, tapi mendengar kata cantik, dia menjadi penasaran dan berakhir dengan menguping pembicaraan sang supir berusia 45 tahun itu.

"Baik cantikknya ayah yang bawel. Nanti ayah bawakan pas mudik nya?"

"....."

"Iya. Neng juga jaga diri. Ati-ati kalau lagi pergi."

"......"

"Wa'alaikumus salam warahmatullah."

"Siapa mang?"

"Astagfirullah. Aden!"

"Hehe. Maaf mang." Ucapnya lalu duduk di samping sang supir, meleseh bersama di teras keramik layaknya dua orang sahabat.

Mang Dirman, supir ibu Tony memang sudah seperti sahabat bagi Tuan Muda Mahendra. Apalagi Tony kerap kali harus mendampingi ibunya dalam beberapa acara. Jadilah, Mang Dirman dan Tony terbiasa menghabiskan waktu di perjalanan dengan mengobrol. Tidak mengacuhkan ibunya yang selalu mewanti-wanti untuk menjaga jarak dengan para pekerja di rumahnya. Tony tidak pernah menganggap Mang Dirman seperti orang lain. Dia adalah orang yang selalu mendengarkan keluh kesah Tony di rumahnya yang sepi dan dingin.

"Si Cantik?" Tanya lagi Tony yang merasa pertanyaannya belum mendapat jawaban.

"Iya Den. Biasa anak perempuan. Minta dibelikan sesuatu."

"Oo, memang minta dibelikan apa mang?" Tanya Tony penasaran. Jangan heran. Tony memang suka dengan putri mang Dirman sejak lama, dia bahkan diam-diam menyimpan nomor WA dan bahkan menstalking FB si Cantik. Tanpa sepengetahuan mang Dirman tentunya.

"Namanya susah Den. Ini, biar mamang kasih liat."

"Owh, cutter serba guna

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Owh, cutter serba guna. Emang mamang tahu belinya dimana?" Tanya Tony lagi yang menikmati obrolan mereka. Apalagi kalau sudah membahas tentang putri cantik mang Dirman yang selalu membuatnya tersenyum.

"Kan di dapur ada Den. Nanti mamang tinggal tanya sama Mbok Pri beli dimana."

"Mana Mbok Pri tahu Mang. Mbok mah cuma bagian masak. Perlengkapan yang urus ibu sama orang interior waktu itu."

"Oh, Kitu. Kumaha atuh? Padahal si Cantik pengen pisan itu alat, dia mau belajar buat bento-bento apa kitu."

"Hmmm. Nanti pas saya ke swalayan saya bantu carikan ya mang. Butuh apa lagi buat si Cantik? Biar sekalian."

"Eleh Si Aden. Gak usah. Entong ngerepotin kitu atuh. Lagian, Aden kan belanjanya di emol mahal. Mamang mana kuat bayarnya. Gampang atuh Den, nanti pas Nyonya ke luar negeri, mamang cari-cari sendiri di pasar."

"Mulai deh. Mamang itu mau dukung bakat anaknya atau enggak? Cuma cutter aja diributin. Anggap saya bantu adik saya mengembangkan bakatnya. Bagaimana?"

"Nanti kalau nyonya tahu, Aden bisa kena marah."

"Kenapa juga ibu harus tahu?"

"Aden mah kitu."

Tony terkekeh penuh kemenangan. Akhirnya ia punya kesempatan memberikan sesuatu pada gadis yang selama ini diam-diam ia suka.

"Nanti tolong share nomor anaknya mamang. Saya mau pastiin beli barang yang benar." Basa-basi Tony yang sebenarnya sudah menyimpan nomor si Cantik.

"Tapi Den..itu..."

"Sekarang ya mang. Saya mau mandi dulu baru ke emol."

"Den.."

Tony terkekeh lagi. Kasihan mang Dirman, sudah terjebak akal bulus pria 22 tahun itu.

FLASH BACK OFF

CLBK sama jandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang