#Chapter 4

223 30 0
                                    

"Jadi suaminya sudah meninggal?" Tanya Tony tak percaya dengan apa yang baru ia ketahui.

"Hmm. Dia menjadi single parent dengan menerima pesanan katering makanan, kue dan bakery untuk menghidupi putrinya. Uff. Such a struggle woman!" Jawab Alex yang kagum dengan ketegaran wanita yang  diselidikinya.

'Aini, seberat itukah hidupmu?'

"Anyway, kau tidak berencana berurusan dengan janda beranak satu itu kan?" Tanya Alex membuyarkan lamunan sahabatnya.

"Kenapa tidak?"

"Jangan main-main Ton. Dia sahabat si Nyonya."

"Lantas?"

"Rrrr.. Kau tahu kan betapa Fabian mencintai istrinya itu. Kalau si Nyonya sampai sedih karena kau melukai sahabat yang sudah seperti kakaknya, aku rasa dia tidak akan tinggal diam. Kemarin saja dia berbohong demi melindungi sahabat istrinya itu."

"Aku tidak berencana menyakitinya. Kenapa juga semua orang berpikiran buruk padaku?"

"Excuse me Dude. Kau mungkin tidak akan menyakitinya. Tapi dia seorang janda, beranak satu pula. Apa kau pikir keluargamu akan menerimanya?"

Tony menatap Alex dengan tajam. Ya, Alex benar. Tapi...

"Dan aku yakin, dulu pun kamu berpisah karena ditentang orang tuamu kan?"

Dan Tony hanya bisa menahan kemarahannya. Alex benar, tapi, kali ini dia tidak akan tinggal diam. Dia akan membuat cinta lamanya bersemi kembali. Pasti.

***

FLASH BACK ON

Hujan turun membasahi bumi parahiyangan. Suara jatuhan rinai hujan seperti runtuhan batu yang bersusul-susulan. Aini sedang berteduh di depan sebuah ruko tempat ia kursus cake and bakery, menunggu hujan yang tak kunjung berhenti.

Sekarang pukul setengah enam sore. Semua teman-teman kursusnya sudah pulang sejak pukul empat termasuk chef pengajar yang terpaksa harus menutup kelas lebih cepat karena istrinya melahirkan.

Kalaulah Aini bukanlah satu-satunya warga desa yang jauh-jauh ke kota untuk kursus, mungkin dia bisa pulang bersama teman-temannya sejak tadi. Sayangnya, semua teman kursusnya orang kota yang rumahnya berlainan arah dengan Aini. Sebenarnya, tadi ada dua teman pria yang berbaik hati ingin mengantarnya, tapi Aini langsung menolaknya. Dia tidak pernah dekat dengan pria manapun, jadi bagaimana bisa dia menerima tawaran mereka?

Tepat di saat hujan semakin kencang dan tampiasnya mulai membasahi Aini, seorang pria dengan payung besar bercorak pelangi keluar dari sebuah mobil yang sepertinya Aini kenal. Oh, mobil si Orang kota yang menginap di rumahnya. Tony Mahendra.

"Kau tidak apa-apa? Ayo, kau menggigil."

Aini yang memang mulai kedinginan membiarkan bahunya direngkuh dan tubuhnya diarahkan masuk ke dalam mobil. Dengan cepat, pintu ditutup kembali.
Setelah itu, Aini melihat Tony berlari cepat, membuka pintu kemudinya, kemudian dengan cepat pula, menutup payung yang tidak terlalu berguna baginya.

"Shit! Hujannya membuat jalanan macet. Maaf ya, kau jadi menunggu kelamaan." Katanya sambil memindahkan payung basah ke belakang, lalu mengambil jaket jeansnya.

"Pakai." Perintah Tony yang tanpa pikir langsung dituruti Aini.

Tony melirik ke arah Aini dan mendapati rok gadis itu basah. Cih! Hujan benar-benar tak bersahabat hari ini.

*

"Hatchii!" Entah sudah ke berapa kalinya Tony bersin, yang jelas, rasanya sangat tidak nyaman.

"Ini Den. Minum dulu wedang rondenya. Maaf ya Den. Gara-gara jemput si Eneng, Aden jadi bersin-bersin."

"Gak pa pa, Bi. Terus Aini bagaimama? Apa perlu kita panggil dokter?"

"Tidak usah Den. Si Eneng memang tidak bisa kena hujan. Flu dan demam, tapi besok juga mendingan."

Tony mengangguk lalu menyuap bola-bola rondenya lalu menguyup kuahnya. Ah, rasanya nikmat sekali. Dia yakin, tanpa obat pun, dia akan lebih baik besok.

Dan ya, keesokkan harinya, Tony merasa tubuhnya lebih baik. Tapi sepertinya si Cantik masih demam karena di meja makan, dia melihat si Cantik sedang disuapi bubur oleh ibunya. Si Kolokan yang menggemaskan.

"Assalamu'alaikum." Terdengar suara dari arah pintu yang langsung disahuti Aini dan ibunya.

"Sok lanjutkan mamamnya, ibu mau lihat tamu dulu. Eh, Aden, mangga sarapan, Den, maaf Bibi ke depan dulu."

Tony hanya mengangguk lalu menghampiri meja makan tempat si Cantik sedang makan dengan ogah-ogahan.

"Bagaimana keadaanmu?" Tanya Tony setelah mendudukkan bokongnya di kursi kayu yang catnya sudah mulai terkelupas. Dilihatnya Aini menyodorkan mangkuk bubur dan mengambilkan sendok untuknya.

"Pusing." Jawabnya lebih terdengar seperti rengekan di telinga Tony.

"Kau mau aku antar ke dokter?"

Aini menggeleng lambat. "Nanti juga sembuh sendiri. Terima kasih."

Tony yang sedang menyuap buburnya berhenti. Apa tadi si Cantik baru saja mengucapkan terima kasih padanya?

"Untuk?"

"Karena sudah menjemputku kemarin."

Tony menggangguk dan tersenyum. Baru kali ini si Cantik tidak galak padanya. Jadi, mumpung gadis di hadapannya ini sedang jinak, tidak ada salahnya mencoba kan?

"So, apa sekarang kita bisa berdamai?"

Dan Aini tak menjawab apapun selain meninggalkan Tony yang terkekeh sendiri. Yah, namanya juga usaha.

FLASH BACK OFF

***

Tony sudah berada di sekitar rumah sederhana dengan pagar yang mulai berkarat selama berjam-jam. Tak bosan ia berharap seseorang yang ia rindukan akan keluar dan meyakinkan dirinya bahwa ia berada di tempat yang benar. Tapi setelah berjam-jam, masih belum ada tanda-tanda yang ia harapkan. Meski begitu, Tony tetap bersabar. Wanita itu pasti di sana. Orang suruhan Alex tidak mungkin salah. Ya, dia pasti di dalam sana.

Tak lama setelahnya, sebuah mobil sedan mewah berhenti dan seorang supir membukakan pintu penumpang. Keluarlah seorang wanita muda cantik yang tak asing bagi Tony. Si Nyonya alias istri Fabian, sahabatnya di empat sekawan.

Sang supir masuk kembali ke mobil dan pergi, sedang wanita yang biasa dipanggil Nyonya terlihat mengetuk pintu. Itu memang dia. Dia di sana. Seorang wanita yang selalu Tony simpan rapi di sudut relung jiwanya. Aini Larasati, cinta pertamanya.

'Akhirnya aku menemukanmu Aini. Ingatkah kau padaku?'

CLBK sama jandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang