Story by Putri
Rasi Bintang
Menurut KBBI, rasi bintang adalah sekelompok bintang yang berdekatan dan tampak saling berhubungan membentuk suatu konfigurasi khusus; konstelasi. Hmm, mungkin iya tapi rasi bintang yang kutahu tidak sama. Jika dipisah, rasi dan bintang adalah dua hal yang teramat berbeda. Rasi merupakan pemimpin yang dapat diandalkan, berhati lembut, tulus dan disenangi sementara Bintang adalah sebaliknya. Rasi, defenisi nyata dari sosok yang sempurna sedangkan Bintang adalah apa yang tak pernah diidamkan siapapun. Rasi dikenal sebagai sosok penurut dan tidak menyukai keributan, berbeda jauh dengan Bintang yang merupakan implementasi dari kata “pembangkang”.
Dan sialnya, rasi bintang itu kita.
Aku dan kamu, yang tampak indah terkekang waktu dan dipaksa lenyap kala malam berlalu.
“Bibin... kamu masih tidur?”
Kupikir potongan adegan antara aku dengan seorang lelaki tampan yang menyelipkan jemarinya di ruas jariku sembari berjalan di bawah langit jingga adalah nyata. Ternyata, tidak. Aku menyadari semua hal yang membuat hatiku menghangat itu hanyalah sebuah mimpi kala titik nirsadarku diinterupsi oleh sebuah suara rendah sedikit serak yang memanggil namaku.
Tunggu dulu, suara ini?
“Kamu?!” Spontan, aku berjengit ke belakang seusai melebarkan mataku dan menemui sebuah wajah familiar yang berada tepat di ujung hidungku.
Ia membulatkan mata beningnya dengan alis yang sedikit berkerut.
“Kenapa? Kamu mimpi aneh lagi?” tanyanya.
Butuh paling tidak 30 detik bagiku untuk langsung menyadari siapa sosok yang kini sudah duduk tegak di sampingku ini.
Dia Rasi, laki-laki yang beberapa menit lalu muncul di mimpiku. Laki-laki yang semenjak sebulan terakhir hidup seatap denganku. Laki-laki yang entah sejak kapan telah berhasil mengisi nyaris seluruh sudut hatiku dan entah bagaimana aku justru melupakannya untuk sesaat tadi. Bodoh sekali.
“Ah, maaf. Aku mimpi aneh tadi,” kataku beralasan.
Tapi seolah sudah terbiasa, Rasi menarik tanganku yang tadinya memijat pelipis lalu menggenggamnya lembut. Mataku beralih, menemui dua pupilnya yang menghunusku dengan sorot tulus.
“Selamat pagi,” ucapnya pelan seraya menciumi punggung tanganku lama.
Aku tersenyum kecil, memandangi laki-laki berkaos putih ini kini menarik pinggangku dan membawaku masuk ke dalam rengkuhannya. Kami saling mendekap, tenggelam dalam kasur empuk berselimut tebal yang tak kusadari entah sejak kapan Rasi telah menggantinya menjadi warna putih bersih yang selalu tak kusukai. Menurutku, warna ini terlalu mencolok dan mudah kotor. Tapi karena Rasi menyukainya, jadilah omelanku menguap begitu saja. Aku tak pernah mempermasalahkan soal ini lagi.
“Mau makan apa hari ini?” bisiknya di depan telingaku.
“Hmm, kamu punya saran?” Kali ini aku menggeser wajahku, menemui wajah Rasi yang telah tidur menyamping menghadapku. Ujung hidung kami sesekali bersentuhan.
“Nasi goreng?”
Aku menggeleng. “Kita sudah sarapan dengan itu selama seminggu lebih.”
“Hm, kalau begitu... roti tawar saja?”
Aku menepuk dadanya dan seketika ia tertawa pelan. “Kamu mau aku mual-mual? I can’t live without micinisasi.” Seperti biasa, Rasi selalu senang menggodaku.
“Ya sudah, kalau begitu kali ini aku yang request.”
“Request apaan wong kamu juga yang masak”
Lagi-lagi Rasi tertawa mendengar ucapanku. Entah dia yang terlalu receh atau memang jatuh cinta membuat apapun menjadi begitu menyenangkan.
“Memangnya, kamu pengen makan apa?” tanyaku sedikit penasaran.
“Makan kamu,” jawabnya dengan kedua mata menyipit.
“Eiiii!!!!” aku baru saja hendak mendorong dadanya ketika kecepatanku kalah telak oleh tangannya yang telah menarik tengkukku dan melayangkan sebuah kecupan singkat di bibirku.
Tak butuh waktu lama, ia pun bangkit dari tempat tidur dan sekali lagi melayangkan sebuah ciuman di pipi dan jidatku dalam satu gerakan kilat.
“Tiga kosong! Aku menang!” selanjutnya, tawa menggelegar memenuhi ruangan 5x5 meter yang kami sebut kamar ini, sebelum akhirnya ia berlari menuju pintu.
“BUBU!!!!” Aku hanya bisa memekik dan bersungut sebal sendiri seraya melayangkan bantal bersarung putih ke arah pintu. Alhasil, cepat-cepat aku turun dari tempat tidur dan memungutnya lagi. Lantai semen yang pecah-pecah ini tentu akan membuatnya kotor jika dibiarkan.
Anak itu, terkadang menyebalkan. Tapi aku tidak bisa berlama-lama memarahinya. Terlebih ketika kebiasaan marahku membuatku memanggilnya “bubu”. Sebuah panggilan yang tercipta kala tak sengaja, ketika kami masih berada di panti dan aku terjatuh tepat di depannya dengan sebelah tangan yang menggapai celananya. Aku berhasil mengekspos celana dalam bermotif tulisan bubu dan gambar babi pink di bagian pantatnya. Sejak saat itu, aku mulai suka mengejeknya bubu. Sebuah ejekan yang lambat laun bertransformasi menjadi panggilan sayangku untuknya. Panggilan sayang yang selalu berhasil membuatnya kesal.
“Kenapa ketawa?” Pertanyaan Rasi yang sedang mengaduk mie rebus di depannya berhasil menginterupsi sesi mengenangku. Well, saat ini kami sedang duduk berhadapan di sebuah meja makan “darurat” yang kami ciptakan dari bekas drom minyak yang Rasi bawa pulang entah dari mana.
“Aku sedang teringat momen tahun lalu, boxer babi pink dan Bub—“ shit! Rasi membekap mulutku.
“Makan saja atau—“
Pletak!
“Awh!!”
Lemparan sendokku mendarat mulus di jidat Rasi.
“Skor tiga sama!” pekikku puas.
“Tiga sama apaan?! Tiga satu iya!” Dengan sebelah tangan yang mengelus dahi, sempat-sempatnya Rasi komplain.
“Pukulan maut ini setara dengan tiga ciuman tadi pagi.”
“Setara dari Hongkong?!”
“Iya setara, terserah mau dari mana yang penting kita impas.”
“Gak bisa gak bisa!”
“Gak bisa apanya? Bisa-bisa aja kok.”
“Ya gak bisa gitu dong, Bin.”
“Jadi kamu mau aku ngelemparin ini tiga kali ke jidat kamu biar impas?”
Rasi memandang sendok besi yang telah kembali berada di tanganku dengan tatapan horor. “Kamu tahu gak sih yang kamu lakuin sekarang tuh bisa dikategoriin kekerasan dalam rumah tangga?”
“Tapi kita lagi gak bina rumah tangga, Bu.” Spontan saja, aku membalasnya demikian dan ucapanku tersebut berhasil membuat situasi seketika hening.
Ada sekitar nyaris lima menit aku dan Rasi terdiam. Menyelami isi kepala masing-masing dengan tatapan yang tak saling berpaut. Aku tidak tahu ia sedang memandang ke mana tapi yang kulihat sekarang adalah mangkuk besi sedikit penyok berisi mie instan yang berada di antara kedua telapak tanganku. Makanan ala kadar yang terasa begitu nikmat ini entah mengapa tampak begitu menyedihkan di mataku sekarang.
Terlebih ketika kesadaranku tersedot pada satu fakta yang selama satu bulan terakhir ini mati-matian kuhindari. Fakta bahwa aku dan Rasi tak terikat status pernikahan dan terpaksa tinggal bersama seusai keputusan besar dalam hidup kami mengantarkan kami menjadi sejoli yang terluntang lantung tak jelas. Rasi yang memilih meninggalkan kehidupan mapannya bersama keluarga kaya yang mengadopsinya hanya karena aku yang memilih pergi dari rumah megah itu. Ya, fakta mirisnya—sebelum menjadi kami yang sekarang—aku dan Rasi adalah dua orang yang tiga bulan lalu diadopsi oleh sepasang pengusaha kaya dan diniatkan menjadi saudara. Sayang, aku tidak pernah setuju dengan ide itu. Aku menyukai Rasi jauh sebelum hari itu dan bagaimana mungkin aku bisa menerima sesuatu yang tidak masuk akal tersebut? Aku setuju pergi dengan mereka karena ibu panti memaksaku tapi semakin lama, hidup sebagai anak mereka dengan keharusan menganggap dan memanggil Rasi dengan sebutan “kakak” bukanlah sesuatu yang bisa kulakukan.
Kupikir, perasaanku saat itu hanyalah rasa sepihak tak berbalas karena memang. Semenjak di panti bahkan hingga kami hidup serumah pun, Rasi tak pernah menunjukkan perasaannya. Ia bahkan menjalankan perannya dengan begitu baik sebagai kakakku. Kakak yang selalu kubenci karena perasaanku sendiri. Sampai akhirnya, malam itu menjawab semuanya.
Malam di mana aku memutuskan pergi dan Rasi menyusulku. Malam di mana ia memilih jalan untuk bersamaku seusai meluapkan seluruh perasaannya yang berhasil membuatku menganga.
Ia bahkan, sudah menyukaiku sejak pertama kali kami bertemu. Sejak aku masihlah gadis 20 tahun yang tak berhenti menangis ketika seorang polisi mengantarkanku ke sebuah panti—tempat yang mempertemukan kami.
“Bibin, bukankah lebih baik kalau kamu kembali ke rumah—“
“Kalau kamu menyesal, kamu aja yang balik ke rumah itu,” selaku cepat seraya mengangkat wajahku dan membuat pandangan kami bertemu.
“Gak gitu, Bin—“
“Aku tahu, kamu nyesel kan ikut pergi dari rumah itu? Kita hidup kaya gini dan aku ngerepotin kamu terus. Kamu pasti mikir, harusnya kamu bertahan di sana dan fokus kerja di perusahaan mereka biar kamu bisa punya posisi bagus dan punya masa depan yang cerah. Iya, aku tahu. Sejak awal orang kaya kamu gak seharusnya ada di sini. Sejak awal, tempat kamu memang di sana tapi kenapa? Kenapa kamu mutusin hal bodoh dan...” kurasa dadaku sangat sesak sekarang.
“Karena aku sayang sama kamu.”
Bibirku kelu. Aku meremat mangkok besi di tanganku lalu memutuskan untuk bangkit dan bergegas pergi. Tapi belum jauh aku berjalan, aku berhenti sejenak dengan isi kepala yang runyam dan mata panas yang rasanya sewaktu-waktu akan meledak.
Ada satu kalimat yang ingin kuucapkan tapi rasanya, sakit sekali.
“Rasi... kurasa, sekarang belum terlambat.”
Aku tidak mendengar jawaban apapun dari sosok yang kupunggungi itu.
“Kudengar mereka masih mencarimu dan mereka pasti menerimamu kembali jadi...” dapat kurasakan satu tetes air mata sudah membasahi pelupuk mataku. “Jadi pergi—“ Ucapanku menggantung di tenggorokan kala kurasakan sepasang lengan kekar telah melilit pinggangku. Tak butuh waktu lama, bahuku merasakan sebuah kepala yang disandarkan di sana. Lalu, sebuah isak begitu pelan menyadarkanku.
Rasi... menangis?
Tapi kenapa?
“Bintang, _please stop._ ”
Aku terlalu terkejut untuk membalas suara parau bercampur isak yang terdengar jelas begitu tertahan tersebut.
“Berhenti minta aku buat pergi dari kamu.”
Dapat kurasakan, rengkuhan Rasi di pinggangku kian dalam. Aku tidak tahu apakah perkataanku memang terdengar semenyedihkan itu di telinganya atau dia memang merasakan kesakitan yang sama?
“Rasi...”
“Please...”
“I-iya... aku... aku tarik kata-kataku tapi kamu jangan nangis.” Aku membalik tubuhku menghadapnya. Menemui mata indah yang biasa berbinar itu kini tampak redup lalu menyeka sedikit air mata yang membasahi pipinya. Melihat Rasi seperti ini, justru kini giliranku yang menangis. Cengeng sekali.
“A-aku minta maaf... sudah... jangan seperti ini...” tangisku semakin menjadi. “Aku gak pernah lihat kamu nangis kaya gini tapi kenapa tiba-tiba seperti ini? Aku juga ngomong gitu gak sungguh-sungguh. Kalau kamu beneran pergi, kayanya aku bakal lari dan nyusul kamu buat mohon-mohon biar kamu tetap tinggal... aku... gak tahu bakal gimana kalau gak ada kamu.”
“Hei, kenapa malah kamu yang jadi nangis?” Rasi menangkup wajahku, membuatku kini dapat melihat ke sepasang matanya yang tak lagi berlinang.
“Habis kamu kenapa mendadak cengeng?!”
Lalu tiba-tiba saja Rasi tertawa sendiri. Semakin membuat air mataku terkuras keluar.
“Rasi!!! Kok malah ketawa?!!!” aku bersungut dengan hidung berair dan mata basah.
“Ya Tuhan,” kulihat ia tak menggubris pukulan pelanku di dadanya dan malah menyeka air mata di sudut matanya yang tampak berbinar. Rasi... kini kembali.
“Gimana aku gak ketawa kalau kamu begini? Tadinya marah, pas aku nangis malah lebih nangisan kamu.”
“Ih rese!!”
“Udah, jangan nangis lagi.” Rasi menarik tubuhku masuk dalam dekapannya.
“Habisnya kamu ngapain pake nangis kaya tadi?!”
“Aku cuma bercanda.”
“Air mata buaya?!!”
Rasi terkikik seraya mengeratkan pelukannya ketika aku baru saja hendak berontak dan menyemprotnya lagi. Tapi, ya begitulah. Kalau sudah begini, menciumi aroma tubuh Rasi yang sangat kusukai ini adalah sesuatu yang selalu berhasil menenangkanku.
Rasi, entah apa yang akan terjadi padaku jika dia tidak ada di sini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Me and My Idol
Short StoryBagaimana jika idolamu terasa sangat dekat denganmu? Bahkan, bisa berinteraksi secara langsung. Bukankah sudah pasti menyenangkan?