Story by Nanda Ramanda
Belum cukup beberapa minggu, aku mengikat tali dengan Astra, sudah pandai menilai kepribadianku. Padahal berbasa-basi panjang lebar, beraksi belum terlalu banyak ditunjukkan. Kutahu, ia pandai dalam bertutur pada semua orang, tapi jangan sampai juga menjadi penilai satu sisi.
Pertemuan remang di bawah gulita, aku dan dirinya terduduk pada sebuah kursi plastik. Tertuju pada satu tumpuan, tapi kadang buyar ketika melihat objek yang berada di belakangnya, air mancur disertai bunyi yang berdesakan.
Saat waiter membawa baki kayu, perlahan berjalan agar isi cangkir tidak tumpah. Menunduk disertai senyum seolah kami berdua orang besar. Diletakkannya dua cangkir dihadapan kami sambil berucap pamit.
Astra mengaduk minumannya, sedangkan diriku melihat di objek di belakangnya. Aku menunggu lantunan-lantunan yang dilontarkannya, tapi masih saja sibuk menikmati minumannya. Saat dehaman tak sengaja di dengarnya, pandangan tertuju ke arahku, tapi sebelum melesat ke wajahku, tembok yang dipandangi.
Aku sama sekali tidak tersinggung, tapi kuharap awal pembukanya tak berucap kalau bentukku menghampiri seperti tembok. Bibirnya mulai bergerak dan disertai tawa yang sepertinya mengejek.
“Kamu itu ...,” ucapannya yang membuatku menunggu, bahkan ketukan sandalku sudah tidak beraturan lagi nadanya. “Butuh dilenturkan, maksudku dicairkan sedikit,” lanjutnya yang membuat hentakan sandalku berkali-kali semakin tak dapat dikontrol. Meja sedikit bergoyang, tapi kuusahakan agar lututku tak tersentuh.
Yah, saat permulaan, ia memandangku dari jauh. Di sebuah kelas kuterduduk tanpa memperdulikan siapa pun, saat istirahat juga, memilih menyendiri. Itu yang membuat pandangannya janggal. Menatap mataku di saat itu berbentuk kesombongan, bahkan berani mengintip tegak tubuhku yang sengaja terlentang di jok motor. Sesama jenis tak perlu ditegur.
Astra, terlalu perhatian padaku. Saat senja ditelan gelap, aku mencoba berlari, tapi bayangku ditangkap, lalu diajak terpatung. Dialog basi sebagai kepameran dan dialek sebagai
ekspresi ciri khas. Ada yang ikut juga, hawa dingin yang membuat bulu roman serentak berteriak. Kenapa? Sengaja memancing, ingin melihat secara dekat.
Detik dihantam menit, tanpa sadar Astra mengajakku duduk bersila di lantai tegel. Entah apa maksudnya, tidak memperhatikan wajahku, tapi mengikuti ekspresi suaraku yang tertumpah-tumpah, bahkan hampir mencuri tumpahan itu sebagai alat untuk diteliti.
Tubuhnya diregangkan, satu tangannya memegang gelas untuk memastikan minumannya masih hangat. Aku harap ia tak menyentuh punyaku juga, sebab kutak mau memberikannya.
“Kau mempunyai trauma di masa lalu. Dirimu yang menjauh dari kehidupan sosial mungkin karena hatimu disakiti oleh orang yang kau percayai. Lupakan saja. Perasaanmu sudah dewasa dari saat itu.” Ia tahu, tapi ia hanya membaca dari luar. Ingin mendongengkan tapi takut dirinya tertidur di meja lalu berpindah tempat saat terbangun.
“Kau menyuruhku untuk melupakan masa lalu, yah? Lalu mengapa diriku butuh dicairkan? Aku sudah nyaman seperti ini.” Seketika Astra, menggigit bibirnya dan kebingungan mencari jawaban, agar ia terus menang, tapi sepertinya tak akan melantun lagi.
Perlahan guratan mata dan gigi yang bersinar terpampang nyata dihadapannya. Ia membuang wajahnya dengan kekalahan yang tak mau diterima. “Aku ingatkan dirimu, Astra. Jangan kau melihat satu sisi. Kau tidak beda jauh dengan mereka, yang langsung mengklaim buruk. Aku hanya mengujimu.”
Jemarinya berteriak-teriak di atas meja kayu, seakan mau menutup bibirku agar berhenti melantun. Saat detik itu juga, pancuran air mati karena gulita semakin menampakkan dirinya dan tembok yang tak jauh dari belakangku, sedang digesek angin sebagai tanda banyak makhluk yang hinggap dan menghangatkan diri.
“Aku ingatkan dirimu, ketika kau melihat sejenisku, jangan kau pandang satu sisi saja. Butuh waktu bertahun-tahun lalu dinilai secara dalam.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Me and My Idol
CerpenBagaimana jika idolamu terasa sangat dekat denganmu? Bahkan, bisa berinteraksi secara langsung. Bukankah sudah pasti menyenangkan?