Dunia di Depan Mata

0 1 0
                                    

Story by Dela

Ketika dunia yang kejam tidak lagi ditemukan.

Aku merasa begitu beruntung lahir di dunia yang serba canggih ini. Apa pun yang kumau, semua dapat terpenuhi dengan mudah, tidak perlu membuang tenaga semua sudah ada di depan mata. Kau hanya perlu membayangkannya, dan boom seketika apa yang terpikir di kepalamu sudah berada dalam genggaman.

Bukankah hidup ini terlalu mudah? Kata 'khawatir, perperangan, kehancuran, ketakutan, kriminalitas atau kejahatan, kemiskinan', dan sejenisnya itu tidak pernah dianggap nyata di dunia kami. Semua kata-kata itu hanya anggapan belaka, tak pernah dirasakan. Aku pun tak pernah merasakannya, aku menganggap dunia ini sangat menyenangkan. Dunia seakan selalu berpihak padaku.

Semua berjalan aman, tenteram, damai. Sistem pemerintahan yang luar biasa sempurna. Pemerintah begitu lihai dalam menjalankan kekuasaannya. Tidak ada yang saling berebut kekuasaan, tidak ada perang, dan lagi-lagi kata ini hanya menjadi sebuah ungkapan yang belum pernah terjadi. Anggap saja semacam teori.

Kata-kata dalam konotasi buruk yang kusebutkan tadi, itulah yang menjadi bahan penelitian oleh para kosakatawan----sebutan untuk para peneliti kata-kata tersebut, semacam ilmuwan yang meneliti fosil atau sebagainya. Kami bertanya-tanya, apakah di masa lalu memang pernah terjadi yang namanya kehancuran, perang, ketakutan, dan sebagainya itu. Kami berusaha mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepala kami.

Aku menjadi salah satu dari kosakatawan, dan aku mendapat bagian meneliti kata 'takut'. Aku tidak ditugaskan sendiri. Bersama Jeno aku memulai penelitian ini semenjak satu tahun yang lalu. Dia rekan kerja, sekaligus suamiku. Kami sudah menikah tiga bulan yang lalu dan saat ini aku tengah hamil. Ya berkat kerja keras kami. Hei, jangan ada menertawakanku! Aku tidak suka ditertawakan, rasanya aneh, dan aku tidak menyukai rasa itu.

Ah ya, aku dan Jeno, kami saling jatuh cinta sejak pertama kali bertemu tiga tahun yang lalu, waktu itu tepat di pesta perayaan tahun baru. Bisa dibilang tahun 8018 menjadi tahun yang sangat bersejarah untuk kami----bahkan, untuk urusan cinta kami sangat mudah mengatasinya. Bukankah sudah kubilang, duniaku terlalu sempurna.

"Delza, Sayang, aku tadi mencarimu, ternyata kau ada di sini. Kau sedang apa?" Jeno datang seraya membawa mug berisi susu cokelat yang aromanya begitu nikmat ketika tercium indra pembauku. Aku mengukir senyum, dan menunjuk tumpukan buku di hadapanku.

"Aku di gazebo ini sejak satu jam yang lalu," balasku.

"Ck, sudah kubilang, kau seharusnya beristirahat. Apa kau tidak ingat, di dalam perutmu sudah ada hasil kerja keras kita. Kau harus banyak istirahat, lagipula kita masih memiliki banyak waktu untuk penelitian itu," katanya disertai decakan kesal yang membuatku terkekeh. Wajah dinginnya terlihat manis ketika merajuk seperti sekarang.

Aku mencubit hidung mancungnya dengan gemas, "Aku juga sudah bilang, bahwa aku tidak apa-apa. Kau tahu, aku hanya duduk berdiam seraya membaca tumpukan buku ini. Tidak ada hal lain yang perlu dikhawatirkan."

Jeno mendudukkan dirinya di tempat kosong yang bersebelahan denganku, mug yang berada di tangannya ia sodorkan padaku. "Minum ini. Susu hangat sangat cocok untuk cuaca dingin seperti sekarang," katanya memilih membuka topik baru.

"Terima kasih Suamiku." Aku meletakkan buku bahan penelitianku ke atas meja lantas menerima mug berisi cokelat yang Jeno buatkan.

"Apa pun untukmu." Dia tersenyum hingga membuat matanya menyipit, dan itu membuat jantungku semakin berdebar kencang saat melihatnya. Huh, begitu tampannya suamiku. Bukankah aku begitu beruntung menikah dengan laki-laki yang pengertian, perhatian, dan memberiku segenap cintanya ini? Aku rasa, aku menjadi wanita yang paling beruntung di dunia.

Me and My IdolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang