Mendes

1 3 1
                                        

Story by Febby



Ketika telah merasa terikat dengan seseorang, perlahan kita juga akan merasa tergantung. Tubuh akan selalu mencari di mana dirinya. Menjadikan dia satu-satunya orang yang memasuki dunia kita. Menempel bagai parasit, tak ingin lepas. Sebuah kebiasaan yang menjadi ketergantungan. Sebuah rasa biasa menjadi rasa cinta yang luar biasa.

Akan tetapi, bila pondasi ketergantungan itu ingin pergi karena telah menemukan hal yang jauh membuatnya nyaman, maka kesepian dan cemburu akan mengucapkan kata selamat datang. Kesepian yang membuat membenci dunia, cemburu yang membuat melakukan sesuatu, dan rasa iri yang akan menjalankan semuanya.

Dan hal itu terjadi padaku. Kami bersahabat sejak kecil, selalu bersama. Bahkan tempat belajar kami selalu sama. Mulai dari TK, SD, SMP, SMA, kampus, dan sampai tempat kerja pun sama. Semua terasa berbeda saat Nenek Lampir itu hadir di tengah aku dan Shawn.

Sejak ada dia, perhatian Shawn padaku jadi berkurang. Aku tidak menyukai perempuan itu. Namanya adalah Camila. Anak baru di Departemen J1. Awalnya biasa saja, karena aku yakin Shawn tidak akan tertarik, tetapi nyatanya semua laki-laki itu sama saja.

Lihat yang bening dikit, langsung belok. Aku yang di tempatkan pada Departemen J2, hanya bisa menghela napas saat Shawn menjemputku untuk makan siang dengan membawa Camila. Menyebalkan!

"Kenapa bawa dia mulu, sih?" bisikku pada Shawn sambil berjalan ke arah parkiran.

"Kan, biar makin banyak teman." Shawn mengelus rambutku. Aku memutar bola mata malas. Kesal sekali rasanya, apalagi Camila selalu masuk dalam obrolanku dengan Shawn.

Sok akrab!

Sebenarnya aku dan Camila tidak memiliki masalah apa-apa. Akan tetapi, aku tidak suka Camila dekat dengan Shawn. Aku hanya ingin perhatian, rasa khawatir, dan kasih sayang Shawn hanya untukku. Aku tidak ingin berbagi dengan Camila.

Perempuan itu selalu bisa merebut perhatian Shawn. Aku memiliki pesaing yang cukup hebat. Baru beberapa bulan bekerja saja, sudah berapa kali Shawn mengantar dan menjemput Camila? Shawn bahkan melupakanku. Jika dulu aku adalah prioritas Shawn, sekarang aku merasa jadi di nomor dua.

Tahukah, jika Shawn tidak pernah membuatku menangis sekali pun. Tidak pernah! Sampai suatu kejadian terjadi pada kami. Aku buru-buru ke Departemen J2 sambil membawa dokumen yang akan di tanda tangani Pak Pian. Di koridor, aku tidak sengaja mendengar obrolan anak-anak J1 mengenai Shawn dan Camila.

"Iya. Aku lihat sendiri, Shawn meluk Camila yang hampir kepeleset gara-gara lantai licin."

"Masa, sih? Tapi, itu kan Shawn juga meluknya enggak sengaja. Lagian Shawn bukannya pacar Febby anak J2?"

"Bukannya mereka cuma sahabatan? Dari kecil malah, katanya. Jadi enggak mungkin. Aku sih liatnya, Shawn tertarik sama Camila. Waktu itu, aku pernah ngeliat mereka jalan beberapa kali di luar jam kantor."

"Siapa coba yang enggak tertarik sama Camila? Udah cantik, body aduhai kayak gitar Spanyol, ramah banget lagi. Beda sama Febby, yang judes dan cuma ramah sama Shawn."

"Benar banget. Aku lebih dukung Shawn sama Camila."

Aku yang mendengar hal itu, tanpa sadar meremas dokumen yang tengah aku peluk. Sungguh, kesal sekali mendengar hal seperti itu. Orang-orang itu pikir mereka siapa? Dan apa tadi kata mereka? Camila cantik? Lalu, mereka setuju Shawn bersama Camila? Cih! Yang benar saja! Camila, perempuan itu tahu apa soal Shawn? Aku yang lebih tahu mengenai Shawn. Aku yang bersama pria itu dari dulu.

"Aku akan buat Shawn menjauhi Camila!"

•••

Dua minggu sebelum hari patah hatiku. Aku tengah bersama Shawn menikmati matahari terbenam dari atap rumahnya. Kami mengobrol mengenai masa kecil kami dulu. Lalu, aku teringat dengan percakapan teman Departeman Shawn beberapa minggu lalu.

Me and My IdolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang