Hati

0 1 0
                                    

Story by SachieFall



Kalau ditanya pertanyaan apa yang paling bikin dirinya gondok setengah mati, tentu Sasya bakal menjawab, “Sya, kok lo betah aja sih sendiri?” sambil sedikit menyinyirkan bibirnya, tanda dirinya terlampau jijik plus risi. For God Sake, Saysa selalu bertanya-tanya, apa yang salah dengan status masih sendiri? Toh meski tanpa adanya doi, hidupnya masih bisa dibilang aman sejahtera sampai sekarang ini. Meski Sasya tidak memungkiri, kehadiran Haris Azhari termasuk dalam kategori hal terpenting bagi kelangsungan hidupnya.
Benar, deh. Sasya tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya yang begitu sepi, ya enggak sepi-sepi amat, sih, soalnya Sasya punya dua abang yang ramenya ngalah-ngalahin penonton konser boy group asal Korea Selatan yang popularitasnya hampir dikenal semua umat manusia, yang setiap hari jadi objek pembicaraan teman sekelasnya. Lagi, Sasya juga enggak tahu gimana jadinya kalau Haris tidak ada dalam daftar orang-orang yang diciptakan Tuhan untuk mewarnai hari-harinya. Sasya jamin, hidupnya pasti bakal berjalan sehambar kisah cinta mang Amin, yang meskipun usianya sebenarnya sudah mumpuni untu dipanggil ‘Ki’ tapi tetap ngotot dipanggil ‘Mang’ sebab belum kunjung menemukan tambatan hati. Duh, jangan sampai Sasya ikutan begitu.
Haris atau yang lebih akrab dipanggil Ayis, sedang sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya, kelihatannya ada deadline yang harus dia kerjakan secepatnya ketika Sasya memasuki restoran cepat saji tempt mereka  iasa nongkrong menjelang sore hari. Yah, maklum. Berapa sih, jumah uang jajan anak SMA? Uang jajan Sasya saja perharinya masih kurang buat bisa membeli segelas kopi di kedai-kedai  yang lagi nge-tren di kalangan remaja seusianya.
Sasya lebih dulu membeli  es krim dengan ekstra topping oreo kesukaannya sebelum berjalan menghampiri teman seperjuangannya yang kelihatannya benar-benar sedang berjuang menaklukkan deadline. “Oit! Sibuk bener, Mas Ganteng-ku.”
Ada yang berdesir di hati Ayis. Oh, shit. Tidak bisakah, sehari saja, Sasya tidak berulah membuat dirinya sseolah terbang melayang ke angkasa?
“Ayis! Ya elah, sok sibuk banget sih lo, Bahlul.” Sasya kesal, gadis itu beranggapan jika Haris mengabaikannya. Padahal, Sasya tidak tau jika segenap jiwa raga seorang Haris Azhari sedang melakukan perpisahan pada kursi-kursi mekdi soalnya Ayis enggak tau, dia bakal bisa balik lagi atau enggak ke sini setelah serangan fajar dari Sasya yang memanggilnya “Mas Ganteng” tadi.
Cewek itu duduk, kemudian memakan es krimnya sambil memerhatikan temannya mengerjakan tugas. Ayis, jujur saja kikuk diperhatikan Sasya begini. Duh, kali ini, selain otaknya yang dipaksa bekerja cepat, jantungnya mulai ikut berdetak cepat. Salah banget tadi Ayis meminta Sasya buat datang. “Salah, tuh. Harusnya pake rumus tekanan.” Ayis kicep. Pantesan, dari tadi, dia bolak-balik menghitung tapi hasilnya tak kunjung ketemu, alias tidak ada dintara pilihan yang ada.
“Halah, lo juga salah.”
“Apa? Gue salah apa? Orang gue diem doang enggak ngerjain apa-apa dari tadi?” Sasya bertanya dengan wajah polos ke arah Ayis, aksinya bikin cowok itu makin gemas bukan main.
“Cara makan es krim-lo salah.” Sasya enggak tau kalau sedari tadi, Ayis itu mati-matian menahan diri supaya tidak tiba-tiba menjulurkan tangannya demi menghapus jejak es krim yang menghiasi sudut bibir Sasya. “Lo tuh sebenernya umur berapa sih, Sya? Makan es krim aja masih belepotan gitu. Apa perlu gue suapin?”
Sasya buru-buru mengelap bibirnya dengan kasar. Salting, bos. Kalau sedang makan sesuatu yang berkuah seperti bakso, Sasya jamin dirinya bakal tersedak heboh. Lagian, Ayis bisa-bisanya dengan enteng menawarkan diri untuk menyuapinya. Bentr, Yis. Caca belum siap, nanti aja pas resepsi kita berdua. Hehehe.
Kemudian, hening. Keduanya kembali sibuk pada urusan masing-masing. Sesekali, Ayis bakal meanyakan rumus fisika sama Sasya, jujur, dia sudah pusing membaca. Lagian Sasya dan otaknya yang gak seberapa bisa dipercaya kalau sudah urusan rumus fisika. Ayis jadi gak takut remedial untuk yang kedua kalinya.
Cowok itu menutup bukunya. Memaukkan pensil kembali ke tempatnya. “Lo gak laper, Sya?”
“Dih. Gue udah duduk di sini sejam lebih dan baru lo tawarin makan?”
“Sasya, bagian kalimat gue yang mana yang menawarkan lo buat makan? For your information, gue cuma tanya, lo laper atau enggak.”
“Laper. Tapi uang jajan Sasya abis.”
“Mau makan apa? Gue pesenin.”
“Pesen doang apa sekalian bayarin?”
“Gue pesenin dan bayarin.”
“Ih! Kenapa enggak dari tadi aja nanya lapar atau enggaknya? Kan Sasya jadi bisa makan pas nungguin Ayis nugas.”
“Gapapa. Biar makin lama aja ketemunya.”
“Hah?!” Sasya shock.
“Nanti ada futsal sama anak seblah. Mantan gue kemarin sih ikut cowoknya yang sekarang makanya gue sengaja dateng telat biar nggak perlu lama-lama liat dia.”
“Lia?” tanya Sasya hati-hati. Soalnya, Ayis kalau udah bahas masalah Lia suka tiba-tiba emosi. Sasya enggak mau, kesempatannya makan gratis hari ini hilang sebab Ayis yang berubah jadi macan.
“Ya siapa lagi.”
“Oh.” Sasya menjawab seadanya.
“Jadi mau makan apa?” Haris bangkit dari duduknya.
“Kayak biasa aja. Tapi minumnya teh aja, gue nggak mau soda.”
“Oke.”
Kemudian, Sasya ditinggal duduk sendirian. Duh, hampir aja Sasya baper pas Ayis bilang ‘biar makin lama ketemunya.’ Sasya pikir, kalimat itu dimaksudkan untuknya, eh ternyata Sasya salah kira.
Iya, sebenarnya, Sasya udah lumayan lama suka sama Ayis. Enggak tau kapan persisnya, yang pasti, Sasya suka. Bagi Sasya, Ayis adalah sosok ketiga yang paling bisa diandalkan setelah kedua abangnya dalam hal apa pun. Ayis humble seperti Abang Yuda, Ayis juga jago olahraga seperti bang Yoga. Ayis itu paket komplit, bisa jadi abang sekaligus teman yang baik.
Haris kembali dengan nampan yang disesaki dua porsi besar makanan. “Kok di up size?”
“Lo gak nyadar badan kurus krempeng gitu? Makan yang banya, tolol, biar enggak dikira orang cacingan.”
“Kok kasar?!”
Haris mengedikkan bahunya, tak peduli. Memutuskan makan duluan, toh dia tadi sudah mencuci tangan. Jujur, dia juga sudah lapar sejak tadi. Tapi ya kan, demi waktu berduaan lebih lama sama cem-ceman, Haris rela menahan rasa lapar kurang lebih dua jam.
“Geura makan, Sasya. Gue buru-buru, nih.”
“Dih. Tadi katanya gak mau cepet-cepet ketemu mbak mantan?”
“Sasya, cepetan dimakan. Bukan karena ngebet ketemu Lia, tapi kalo gak salah, tadi lo yang bilang sendiri kalo udah lapar setengah mati.”
“IYA-IYA. Ini mau cuci tangan dulu.”
Waktu sudah melewati pukul delapan malam. Sasya nggak ngerti, kenapa dia bisa sampe selama itu di mekdi. Untungnya, mereka duduk di area outdoor, jadi enggak di-salty-in sama pramusaji di sana. Sasya merasa perutnya kenyang banget, dia belum pernah makan dengan porsi sebanyak itu sebelumnya. Mata tadi Haris sempat mengiming-imingi Sasya es krim kalau dia menghabiskan makanannya. Sasya kan jadi tergoda. Dan ya, dia berakhir kekenyangan sampai rasanya tidak lagi sanggup buat berjalan sekarang.
“Ayis kalau udah buru-buru mah, duluan aja deh. Gue beneran kenyang banget.”
“Dih. Yakali gue tinggalin lo di sini.”
“Ya kan enggak apa-apa. Nanti gue pulang naik grab aja, baru diisiin ovo sama bang Yoga. Nih, kalau enggak percaya.” Sasya memperlihatkan ponselnya ke arah Haris.
“Iya, percaya. Tapi gue gak bisa, Sya, kalau disuruh tinggalin lo sendirian. Mana udah malem.”
“Bentar ya. Duh, kayaknya gue mules deh. Bentar, serius.”
Sasya pamit ke kamar mandi. Perutnya benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Masa iya, dia  bisa-bisanya mules di depan Ayis. Kan Sasya jadi malu. Yah, meski Sasya mules di depan Haris bia dibilang cukup sering, masalanya, mereka lagi berada di tempat umum. kasian Ayis kalau sampai jadi bahan perbincangan tamu-tamu yang ada.
Hampir tiga puluh menit berada di toilet, akhirnya urusan Sasya kelar juga. Haris sudah membereskan barang-barangnya, siap untuk pulang.
“Ayis maaf ya. Lo pasti udah telat deh futsalnya. Gue balik sendirian ja seriu, enggak apa-apa.”
“Justru karena gue udah telat, mending gue anterin lo balik sekalian aja, Sya. Lagian gue kayaknya udah capek banget, gak mood main futsal.”
‘Ayis, sori.”
“Lo ada salah?”
“Ada.”
“Capek, Sya. Bener deh. Pulang, yuk. Entar gue bisa digorok dua abang lo kalo pulangnya kemaleman.”
“Oke.” Sasya akhirnya menurut.
Sebelum naik ke motornya, Haris meminjamkan Sasya jaketsupaya cewek itu tidak kedinginan. “Jangan ge-er. Gue cuma gak mau lo masuk angin terus jadi sasaran amukan bang Yuda sama bang Yoga.” Terus, gue juga gak mau lo masuk angin terus gak dibolehin jalan lagi, Haris melanjutkannya dalam hati.
“Sebenernya gue udah kedinginan sejak tadi. Udah siap juga naik motor meski gak ada jaket, wong udah simulasi.” Sasya menyindir, sambil memakai jaket yang Haris berikan.
“Cepetan, ah. Dingin, gue kaosan doang nih.”
“Alah, lebay. Gue juga tadi berjam-jam biasa aja tuh.”
“Iya, Sya, iya. Sekarang naik, yuk. Gue anter bali.”
“OK!”
Hris mengendarai motornya dengan kecepatas sedang. Dia tau, Sasya tidak suka jika dia mengendarai motornya secara kebut-kebutan. Sasya bilang, gak apa-apa jalan pelan-pelan asalkan bisa sampai ke tempat tujuan seperti hubungan mereka sekarang.
Loh, memangnya, ada ya, tujuan dari hubungan mereka berdua selain mempererat ikatan pertemanan?
Ya, Haris sih, maunya ada. Capek juga dia dilang sad boy pasca putus dari Lia, satu tahun yang lalu. Tapi jangan salah, Haris memang pure suka sama Sasya, bukan hanya ingin lepas dari julukan sad boy yang teman-temannya berikan untuknya.
“Kuping gue dingin. Besok-besok, bawa helmya dua dong, Ris.” Sasya mencebikkan bibirnya.
“Iya. Besok bawa dua. Jaketnya dipake aja, sini coba deketan berdirinya.”
Sasya bingung, meski ujungnya tetap menurut juga. “Kenapa?”
Haris menggosokkan kedua telapak tangannya, kemudian menempatkannya di telinga Sasya. “Udah anget, belom?”
“Hah?”
Cowok itu melepaskan kedua tanannya sebelum mengulang pertanyaan yang sama.
“Udah.” Sasya mengangguk.
“Oke. Gue balik duluan ya, Sya. Lo masuk sana cepet, nanti masuk angin, terus kupingnya makin dingin.”
“Iya. Hati-hati ya, titip salam buat Bunda.”
“Salam aja yang dititipin?”
Sasya bingung. “Ya, emangnya apa lagi yang bisa gue titipin?”
“Hati, gitu misalnya. Bukan buat Bunda, tapi buat anaknya.”
“Oh. Ayis udah suka makan ati, sekarang?”
“Bukan hati yag itu, Sasya.”
“Yang mana atuh?”
“Sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat seegala perasaan batin dan tempat penyimpanan pengertian, perasaan, dan sebagainya. Berikut definisi hati menurut KBBI.”
“Enggak ngerti, lah. Pusing. Belibet banget.”
“Gak apa. Besok gue jelasin lagi sampe lo ngerti.”
“Kenapa emangnya harus ngerti?”
“Supaya paham sama apa yang bakal gue bilang nanti.”
“Oke.”
Lalu, mereka berpisah. Sambil berjalan masuk ke rumah, Sasya terus memikirkan maksud kata-kata terakhir Ayis barusan. Inilah, kenapa Sasya tuh gak suka baca novel  dan semacamnya, terlalu banyak kata kiasan yang artinya terlalu sulit untuk dia pahami.
Tapi kali ini, demi Ayis, Sasya bakal berusaha untuk cari tahu. Ya kan, siapa tau aja, ada maksud tersembunyi dalam kalimat cowok itu. Kalau sampai iya, duh, Sasya jadi malu. Apakah ini sebuah pertanda dia bakal lepas dari status jomlonya dan jauh-jauh dari kisah cinta Mang Amin?
Ya, mudah-mudahan aja. Mari kita lihat nanti, xixixi.

Me and My IdolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang