LULA VIVIENNE

3 2 0
                                        

Story by Lulu




"Geez, baper gue nontonnya, ih." Lula gemas melihat video yang diunggah melalui channel youtube calon imamnya. Sudah pasti hanya Lula yang mengakui hal itu. Tidak dengan lelaki berparas rupawan yang sedang bermain gitar dan meng-cover lagu dari Andmesh Kamaleng, cinta luar biasa.
"Eng, tatapannya, ih," ujar Lula dan langsung menggigit bibir penuhnya untuk meredam jeritannya. Bisa-bisa ia ditegur Mamanya karena berteriak tidak jelas saat senja menyapa. Pasti Mama akan bilang, 'Pamali, anak gadis nggak boleh jerit, mbok yo seng lemah lembut, loh.'
"Please, jantung gue jangan abnormal gini. Gue kenapa, sih? Cuma melalui layar ponsel aja udah begini, apalagi kalau langsung. Auto kejang-kejang nggak tahan pesonanya!" ujar Lula menggebu sembari asyik menikmati waktu liburannya dengan streaming semua video yang ada calon imamnya itu. Baginya tidak perlu pergi berkunjung ke tempat wisata, menghabiskan secangkir kopi di kafe, atau menikmati film melalui layar lebar. Karena tanpa menjauh dari rumah pun bersama keluarga di dalamnya sudah cukup. Tidak lupa kuota internet yang ia gunakan unlimited, membuatnya betah mengurung diri di kamar dan menjelajah dunia hanya melalui ponsel pintarnya.
Napas Lula tertahan karena ia melihat idolanya, Yohan Aditama mengedipkan mata saat mengakhiri video cover lagunya. Lula berguling di kasur berukuran single sembari memeluk guling dengan gemas dan meracau yang semuanya berisi caci maki untuk Yohan yang telah membuatnya gemetar, tidak kuat menahan pesona lelaki pemilik senyuman memukau itu.
"Huwa, Yohan ganteng banget, Ma!" Lula melupakan tata krama yang telah diajarkan sedari kecil dan memilih untuk berlari ke luar rumah, menghampiri Mamanya yang sedang merawat tanaman di halaman belakang. Dipeluknya tubuh berisi wanita berusia lima puluh tahun itu dengan erat dan tidak terlewatkan ia mengecupi pipi Mamanya berulang kali karena gemas. Anggap saja Mama itu Yohan membuatnya bebas memeluk dan mencium sebagai pelampiasan, jahat memang.
Mamanya mengerutkan dahi dan sepasang tangannya hanya menggantung tidak membalas pelukan anak gadisnya.
"Ck! Kenapa lagi?" decak Mama bertanya.
Lula melepaskan pelukannya sembari tersenyum lebar, memperlihatkan gingsulnya yang menjadi daya tarik tersendiri. "Yohan calon mantu Mama ganteng banget," jawab Lula berseri-seri.
"Ish, kamu itu. Mbok realistis jangan ngekhayal mulu." Ini pernyataan ke sekian kali dari wanita berdarah Jawa itu. Ia heran sifat Lula menurun dari siapa, anak gadisnya itu sudah sering berkata jika Yohan akan menjadi suaminya kelak.
"Doa, geh. Siapa tau beneran aku nikah sama Yohan." Lula cemberut mendengar perkataan Mamanya yang berjalan menuju kursi di beranda belakang rumahnya.
Mereka duduk sembari menikmati teh melati dan sepiring singkong goreng. "Mama cuma nggak mau kamu sakit hati kalau sama dia." Mama memiliki alasan tersendiri, apalagi jika melihat Lula serius dengan ucapannya. Beliau tidak ingin anaknya terbelenggu dalam dunia yang diciptakannya sendiri.
"Iya-iya, aku kan cuma bercanda." Lula mengambil sepotong singkong goreng dan memakannya.
"Ingat, selesaiin pendidikan kamu dulu, kalau mau pacaran jangan kelewat batas." Mama memberi wejangan dengan tatapan yang mengarah ke atas, menikmati semburat jingga yang memenuhi cakrawala.
"Tenang, Lula mau sukses dulu, tapi kalau dilamar Yohan, ya hayuk aja." Lula terkekeh sendiri dengan perkataannya.
Mama geleng kepala mendengarnya, Lula benar-benar menggilai Yohan yang ia tahu salah satu penyanyi tanah air, tetapi sering wara-wiri membintangi iklan di televisi. Semua berkat anaknya yang tiada henti bercerita tentang Yohan.
"Papa sama Resnu kapan pulang, Ma?"
"Dua hari lagi mungkin. Nunggu Kakek baikan katanya."
Lula mengangguk, Papa dan adiknya sudah tiga hari berada di Palembang mengunjungi Kakeknya, Ayah dari Papa yang sakit. Sebenarnya Lula dan Mama mau ikut sekalian silaturahmi, tetapi ada pekerjaan Mama yang berprofesi guru mengharuskannya hadir ke sekolah. Walau saat libur, terkadang ada panggilan mendadak. Entah itu mengisi absen yang belum terisi atau hal lainnya.
Mama mengajak Lula untuk lekas masuk rumah ketika mendengar suara beduk tanda waktu magrib tiba, matahari pun sudah kembali ke peraduannya digantikan gelapnya cakrawala.
Lula menggandeng lengan Mama dan bersenandung sepenggal lagu yang dinyanyikan Yohan tadi dengan suara sumbangnya. Memasuki rumah, Lula langsung ke kamar seberes mengambil air wudu untuk melaksanakan kewajibannya sebagai umat muslim begitu pun Mama.
***
Perkuliahan baru dimulai bulan Agustus, membuat maba seperti Lula mendekam di rumah tidak melakukan kegiatan berarti, hanya tidur, bangun, makan, beres-beres, nge-bucin, makan, hingga tidur lagi.
Jenuh pasti, tetapi tidak ketika Yohan menemani hari-harinya. Anggap saja ia sedang berpuas diri sebelum berkutat dengan segala urusan kuliah nanti. Mumpung liburan, kapan lagi ada waktu luang untuk memuja Yohan? Sebenarnya ada, setiap detik malah. Dasar Lula saja!
Lampung adalah kota kelahirannya, termasuk kota yang jarang dikunjungi penyanyi ibu kota. Jika ada juga itu bukan idolanya. Makanya ia sering misuh-misuh saat melihat Yohan melakukan konser atau hanya sekadar menjadi guest star di kota besar Indonesia tanpa bisa menyaksikan secara langsung.
Seperti saat ini, ia melihat insta story milik Yohan yang sedang say hi ke penggemarnya di Medan. Membuat Lula hanya bisa menggigit jemari mungilnya.
"Huwa ... kapan gue bisa temu langsung coba?" tanya Lula kepada angin malam yang membelai kulitnya.
Netranya masih betah memandangi potret terbaru Yohan yang diunggah ke instagram
sepuluh menit yang lalu. Dalam potret, Yohan berdiri di tengah jalan yang sekelilingnya dipenuhi pepohonan dan daun-daun berguguran menjadi pemandangan yang menakjubkan. Benar adanya indah itu relatif, semua kembali siapa yang dinilai dan menilai.
"Lula, tidur udah larut," ujar Mama dari luar kamar sembari mengetuk pintu kamarnya.
Lula melirik dinding dan netranya membulat melihat jarum pendek diangka sebelas. Tidak terasa dirinya sudah lama melakukan kegiatan yang tidak berfaedah sekali, mengunjungi satu-satu akun yang menandai Yohan. "Iya, Mama."
Menuruti apa kata Mama, ia bergegas mematikan ponsel dan menarik selimut untuk menghalau dinginnya malam yang menusuk hingga tulang. Tidak lupa melakukan kebiasaannya mengucapkan keinginan dalam hati dan berdoa kepada pemilik semesta sebelum terlelap berkelana alam mimpi.
***
Rutinitas Lula saat libur seberes melaksanakan kewajiban sebagai umat muslim adalah mencuci piring. Kalau bagian memasak itu Mama, karena dirinya sangat buruk berurusan dengan dapur. Seperti anak gadis pada umumnya, ia membantu Mama untuk membersihkan rumah.
Tepat pukul enam pagi, Lula mengambil sapu lidi dan ember bekas yang biasanya digunakan untuk tempat dedaunan kering. Netranya memandang pekarangan rumah yang dipenuhi rumput, terdapat pohon palem, pohon mangga, pohon jambu bol, dan berbagai tanaman hias lainnya yang memperindah rumah berkat tangan Mamanya. Beranda rumah sendiri dipenuhi beragam rona bunga yang memanjakan netra.
Lula mengucap syukur karena pagi ini tidak terlalu banyak dedaunan yang jatuh di atas rerumputan. Makanya dengan waktu singkat ia sudah selesai membersihkan pekarangan rumah. Tidak lupa ia menumpuk dedaunan di tempat pembakaran sampah yang terletak di belakang rumah seperti biasa.
"Lu, jemurin baju sana," perintah Mama kepada Lula yang baru masuk rumah.
"Oke, udah dikeringin kan, Ma?" tanya Lula sembari melangkah menuju mesin cuci yang berada di dalam kamar mandi.
"Udah, tinggal jemur aja." Mamanya baik sekali, beliau tidak menyerahkan semua pekerjaan rumah kepada Lula. Istilahnya membagi tugas, tidak semua dikerjakan satu orang. Bisa-bisa lelah menggerogoti raganya.
Sudut bibir gadis berkulit sawo matang itu tertarik ketika terik mentari pagi menyentuh kulit wajahnya. Walau udara masih terasa sedikit dingin karena saat ini masih pukul setengah tujuh pagi. Ia menikmatinya dengan penuh semangat, menjemur pakaian ditemani pujaan hati itu sesuatu yang menyenangkan dan tidak boleh terlewatkan. Walau hanya suara merdu Yohan yang menemani sudah membuatnya kegirangan tiada henti. Apalagi jika Yohan menemaninya secara langsung, bisa-bisa ia menjadi patung saking tidak percayanya.
"Apaan dah?" tanya Lula entah kepada siapa, mungkin benda mati di sekitarnya. Dahinya mengerut melihat layar ponsel yang menampilkan pesan dari sahabatnya. Netranya seketika melebar hampir keluar ketika gambar yang dikirim sudah sukses ter-download. Napasnya memburu, ia memilih duduk sejenak untuk mengembalikan kesadarannya.
"Ini serius?" Lula bermonolog.
Seakan sudah pulih Lula langsung melakukan panggilan untuk Resti, sahabat sekaligus penggemar Yohan.
"Woy, itu beneran?" tanya Lula langsung setelah panggilannya diterima.
"Assalamualaikum, Lula." Tanpa menjawab pertanyaan sahabatnya, Resti mengucapkan salam dengan nada satire.
"Waalaikumsalam, sorry gue terlalu excited," sesal Lula.
"Kebiasaan," cibir Resti di seberang.
Lula terkekeh mendengarnya. "Eh, yang lo kirim beneran?"
"Bener lah, ya kali gue edit sendiri. Tumben lo nggak update tentang Yohan?"
"Gue baru megang ponsel, dari tadi jadi calon mantu idaman dulu. Ini aja gue baru selesai jemurin."
"Astaga, gue aja masih di kasur."
"Ck! Anak gadis macam apa kau itu, Nak?" kelakar Luna.
"Bangsul! Eh, lo nonton?"
"Jelas dong, kapan lagi calon suami gue menginjak tanah Lampung ini. Eh, nanti pasti deng. Kan mau ngelamar gue," ujar Lula dengan senyuman secerah mentari pagi.
"Dih, halu. Kalo mau gercep beli tiket, biar nggak sold out."
"Bayarin ya?"
"Enak aja, gue masih pengangguran ini. Hari libur ya uang saku juga libur."
"Gue juga, Res. Gampang entar gesek aja."
"Gesek apa woy?! Ei, lo kan mbak-mbak olshop, uang lo ngalir terus walau liburan kek air terjun." Resti benar, walau liburan juga uang Lula cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Sudah tiga bulan ini ia memiliki usaha kecil-kecilan menjual kebutuhan kaum hawa. Lumayan, ia tidak sesering dahulu menengadahkan tangannya dan memberikan tatapan belas kasih kepada orang tuanya jika ingin sesuatu. Apalagi membeli tiket konser Yohan, woah yo jelas uangnya ada.
"Iya, sist. Owner kan holkay, pasti beli tiket nonton calon imam itu mudah," ujar Lula dengan jemawa.
"Geli gue, yaudah gue aja ya yang beli tiketnya. Entar lo tf ke gue. Kebetulan Bang Nichol jadi salah satu panitia penyelenggara." Sepertinya keberuntungan berpihak kepada mereka, karena kakak dari Resti mengemban posisi penting untuk bisa membantu mereka lebih dekat dengan Yohan, semoga saja bisa memiliki potret berdua. Ah, dirinya tidak sabar menunggu saat itu!
"Woah, ada orda. Semoga gue bisa ngerapihin rambutnya!!" ujar Lula dengan semangat empat lima, ia selalu berkeinginan untuk merapikan surai hitam milik Yohan yang selalu terlihat tidak disisir, tetapi itu daya tarik yang menjerat raga dan jiwa Lula untuk terus mengidolakan Yohan.
"Ish, nggak gitu juga. Ya kali lo berani, gue yakin seratus persen kalau lo mendadak jadi patung seketika deket dia." Resti tergelak membayangkannya, itu sudah pasti. Karena saat bertemu dengan sosok yang dikagumi, berada dekat dengannya sekujur tubuh mendadak kaku, bibir terkatup rapat seperti diberi lem sepatu, dan suara yang menghilang bersamaan dengan jiwa yang melayang menari-nari bebas di cakrawala akibat keberadaan orang terkasih.
"Iya-iya. Nanti chat aja kalau udah beli tiket. Eh, gue izin sama Mama dulu, ya. Walau nggak boleh juga gue tetep nekat."
"Bilang aja nonton sama gue dan Bang Nichol pasti boleh." Resti memberi saran kepada Lula agar diberi izin untuk melihat secara langsung pertunjukan calon imam sejuta kaum hawa di tanah air. Yah, walau pada akhirnya hanya milik Lula seorang. Dalam dunia utopis.
"Thank you, oke bye." Lula memutus direct line dan bergegas masuk ke rumah melewatkan rutinitasnya untuk berjemur di bawah terik mentari pagi selama liburan ini. Semua karena Yohan!

Me and My IdolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang